Karena itulah penulis membuat perumpamaan, ilmu pengetahuan tanpa komitmen itu bohong, dan komitmen tanpa ilmu pengetahuan itu buta.
Lalu apa jadinya jika hubungan tersebut hanya didasarkan pada ketiga hal yang sifatnya opsional tadi? Ketika seorang menikah hanya karena didasari ketertarikan atas harta yang dimiliki pasangannya, maka apa yang kemudian akan terjadi jika ada “ombak” yang bernama tekanan ekonomi ataupun kebangkrutan yang dialami pasangannya? Tentu besar peluang bagi si pasangan tersebut untuk pergi bukan? Meskipun dalam beberapa kasus ada yang tetap memilih bertahan.
Atau ketika seseorang menikah hanya karena faktor fisik yang rupawan. Apa yang akan terjadi jika ada “badai” yang berwujud seseorang yang lebih rupawan dari pasangan kita yang datang dalam hidup kita?
Maka lagi-lagi, hubungan tersebut berpotensi untuk runtuh. Inilah yang sering kita jumpai di masyarakat. Pasangan yang berselingkuh dengan seseorang yang ia anggap “lebih” secara penampilan fisik dari pasangannya.
Yang terakhir, ketika seseorang menikah hanya karena jabatan atau status sosial. Apa yang kemudian terjadi ketika pasangannya tersebut kehilangan jabatannya? Atau apakah yang terjadi jika ada “badai” yang berwujud seseorang yang jabatannya lebih bagus dari pasangan yang sekarang?
Sekali lagi, hubungan tersebut berpotensi runtuh. Inilah yang paling sering terjadi di kalangan politikus maupun selebritas, ketika mereka menyadari sudah tidak ada lagi dinding sosialita yang bisa dipanjat bersama sang pasangan, maka ia akan pergi mencari “tunggangan baru" yang bisa digunakan untuk mendaki dinding kehidupan yang lebih tinggi.
Namun apa yang bisa meruntuhkan hubungan yang di bangun atas dasar ilmu pengetahuan dan komitmen?
Penulis meyakini selama dalam hubungan tersebut memiliki ilmu pengetahuan dan komitmen, maka setinggi apapun ombaknya—semengerikan apapun badainya tidak akan bisa menghancurkan kapal hubungan tersebut. Keduanya merupakan komponen tak terpisahkan guna mengarungi luasnya samudera kehidupan.
Kausa yang kedua, ketiga hal tersebut, penulis kategorikan sebagai hal yang opsional sebab ketiga hal itu bisa didapatkan dalam perjalanan mengarungi samudera kehidupan. Sebab kehidupan ini bisa diibaratkan laut, tak peduli secanggih apapun teknologi hari ini, masih ada beberapa bagian di lautan yang belum terungkap. Seringkali dalam perjalanan, kita menemukan hal-hal yang menarik, selayaknya bajak laut yang menemukan harta karun.
Seperti itulah pernikahan. Dalam menjalaninya terkadang kita menemukan ataupun mencapai titik tertentu yang mungkin sudah kita duga ataupun yang kita tidak duga sebelumnya. Penemuan itulah yang berwujud harta, tahta, jabatan. Kita pasti juga menyadari, ada beberapa orang, yang sebelum menikah kehidupannya biasa-biasa saja, tetapi setelah menikah—perlahan tapi pasti mulai membaik bahkan melesat menuju titik tertentu.
Banyak pasangan yang sebelum menikah kondisi finansialnya biasa saja bahkan bisa dikatakan buruk, tetapi setelah menikah perlahan membaik. Adajuga yang secara tampilan fisik biasa saja, tetapi setelah menikah mulai “glow up”. Atau ada juga yang sebelum menikah kariernya biasa saja bahkan stuck, tetapi setelah menikah kariernya melesat.