Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Sebuah Pertanyaan dan Jawaban Tentang Bekal Pernikahan

10 Desember 2024   05:00 Diperbarui: 13 Desember 2024   14:03 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi judul. (Sumber: Hasil Editan di canva.com)

Bukan tanpa alasan, laki-laki dalam aspek sosial-budaya-agama dibebankan beban untuk bertanggung jawab dalam banyak hal, salah satunya dalam sebuah hubungan. Karena itu, merupakan sebuah fardhu a’in bagi setiap pria untuk melamar pasangannya sebagai pertanda keseriusan dan bentuk awal dalam pertanggung jawaban terhadap pasangan.

Lamaran bisa diibaratkan pondasi atau anak tangga awal dalam membangun ataupun mencapai ranah pernikahan. Sebagaimana pada umumnya, ketika ingin membangun pondasi, tentu dibutuhkan sumber daya yang memadai, untuk memastikan pondasi tersebut terbangun dengan kokoh dan bisa bertahan selamanya.

Analogi itulah yang kemudian diterapkan dalam konteks lamaran. Ketika seorang laki-laki ingin melamar wanita yang dicintainya, ia seringkali dituntut untuk datang dalam keadaan mapan, agar orang-orang, terutama keluarga pasangan bisa percaya bahwa ia memang mampu untuk menghidupi pasangannya.

Tuntutan ini bisa datang dari mana saja, dari mereka yang merasa berwenang. Terkadang tuntutan tersebut datang dari keluarga pasangan, yang menuntut kita untuk mapan secara finansial. Terkadang juga datang dari keluarga sendiri, para orang tua kita sering menekankan bahwa kita harus matang secara emosional terlebih dulu.

Terkadang, tuntutan itu malah datang dari dalam diri sendiri, misteriusnya hati dan pikiran, “ah gua ga tampan, ga mapan, apa bakal diterima?”. Bahkan terkadang, kerasnya hidup turut berpastisipasi secara tidak langsung dalam pembuatan tuntutan ini.

Banyaknya pihak yang merasa berwenang dalam membuat tuntutan inilah yang kemudian menimbulkan multitafsir di masyarakat. Sebenarnya apa yang seharusnya dimiliki seorang pria ketika ingin melamar pasangannya?

Ilustrasi judul. (Sumber: Hasil Editan di canva.com)
Ilustrasi judul. (Sumber: Hasil Editan di canva.com)

Pembahasan

Penulis sendiri—meskipun belum pernah melakukan lamaran, meyakini bahwa sebenarnya seorang pria sah-sah saja ketika dia datang dalam keadaan yang belum matang. Namun, setidaknya, seorang pria harus mempunyai salah satu dari keempat hal ini. Satu sifatnya wajib sementara tiga yang lain sifatnya opsional. Mengapa hukumnya bisa begitu? Nanti akan dijelaskan.

Pertama, ilmu pengetahuan dan komitmen. Ilmu pengetahuan yang dimaksud di sini tidak mengarah pada ilmu akademik yang hanya bisa kita dapatkan di lembaga atau instansi pendidikan tertentu—gelar.

Namun, lebih pada pemahaman mendalam terkait kehidupan. Ketika seorang pria datang ingin melamar pasangannya, maka sudah pasti ia harus memiliki pengetahuan, terkait apa yang mau dia lakukan setelah menikah, bagaimana ia mencapai tujuan hidupnya bersama sang istri, bagaimana ia berkomunikasi dan menyelesaikan masalah dalam hubungan rumah tangganya, serta yang paling penting bagaimana ia kemudian menempatkan dirinya sebagai seorang kepala keluarga yang memiliki beban tanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun