Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Sebuah Pertanyaan dan Jawaban Tentang Bekal Pernikahan

10 Desember 2024   05:00 Diperbarui: 13 Desember 2024   14:03 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS.com)

Tulisan ini dibuat sebagai reminder, reminder untuk selalu berpikir atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam hidup ini. Meskipun memang tidak semua pertanyaan bisa langsung dirumuskan jawabannya. Bahkan ada beberapa pertanyaan yang sampai hari ini tak bisa terjawab.

Tadi sore, ketika sedang disuruh untuk membeli minyak di supermarket. Penulis tidak sengaja pendengar percakapan antar sepasang kekasih.

Untuk mempermudah dalam memahaminya, penulis telah menerjemahkan percakapan tersebut ke bahasa Indonesia (sebelumnya bahasa makassar) sebagai berikut:

  • “Kapan kamu mau lamar aku?’;
  • “Sabar ya sayang, aku masih fokus ngumpulin uang sama bagusin karir”;
  • “Tapi sayang, kamu kan tahu sendiri umur kita udah 27, aku udah dipaksa menikah sama orang tuaku”;
  • “Iya paham kok, tapi aku mau kita menikah ketika kondisi aku udah bagus secara finansial dan karier, dan sekarang aku jelas belum mencapai hal itu”;
  • “ Terus kamu mau mengulur waktu sampai kapan? Lagian yang penting dalam pernikahan itu kan komitmen sayang”;

Itulah percakapan sekilas sepasang kekasih yang secara “tidak sengaja” penulis dengar. Sebenarnya percakapan tersebut masih berlanjut, hanya saja penulis rasa itu sudah cukup untuk menjadi pengantar.

Dari percakapan tersebut muncul pertanyaan di benak penulis, pertanyaan yang mungkin sering dipikirkan juga oleh sebagian besar laki-laki dewasa di dunia ini.

“Apa yang harus dimiliki seorang laki-laki ketika ia ingin melamar seorang wanita? Apakah ia memang wajib datang dalam keadaan yang matang?”

Pertanyaan ini punya basis sebuah peristiwa, yakni lamaran—pernikahan. Karenanya ada dua tipe orang yang bisa memberikan jawaban secara objektif.

Pertama, mereka yang sudah pernah melewati peristiwa itu. Kedua, mereka yang memang secara teori telah memahami secara komperehensif peristiwa tersebut, atau yang biasa sering kita panggil sebagai pakar. Dan apabila orang yang memberikan jawaban tidak termasuk dalam dua tipe tersebut, maka sudah pasti jawabannya akan cenderung bersubtansi subjektif.

Penulis tidak termasuk ke dalam kedua tipe tersebut. Namun tujuan penulis tetap berusaha menjawab ini adalah sebagai reminder—yang sudah disebutkan di atas. Bahwa kita harus selalu berpikir atas berbagai hal yang terjadi. Baiklah langsung saja….

Secara umum, jika membahas lamaran, maka yang terpikirkan di benak adalah suatu proses atau sebuah tindakan untuk menyatakan niat untuk meminang pasangan. Dalam budaya kita, yang menjadi aktor utama dari lamaran adalah laki-laki.

Bukan tanpa alasan, laki-laki dalam aspek sosial-budaya-agama dibebankan beban untuk bertanggung jawab dalam banyak hal, salah satunya dalam sebuah hubungan. Karena itu, merupakan sebuah fardhu a’in bagi setiap pria untuk melamar pasangannya sebagai pertanda keseriusan dan bentuk awal dalam pertanggung jawaban terhadap pasangan.

Lamaran bisa diibaratkan pondasi atau anak tangga awal dalam membangun ataupun mencapai ranah pernikahan. Sebagaimana pada umumnya, ketika ingin membangun pondasi, tentu dibutuhkan sumber daya yang memadai, untuk memastikan pondasi tersebut terbangun dengan kokoh dan bisa bertahan selamanya.

Analogi itulah yang kemudian diterapkan dalam konteks lamaran. Ketika seorang laki-laki ingin melamar wanita yang dicintainya, ia seringkali dituntut untuk datang dalam keadaan mapan, agar orang-orang, terutama keluarga pasangan bisa percaya bahwa ia memang mampu untuk menghidupi pasangannya.

Tuntutan ini bisa datang dari mana saja, dari mereka yang merasa berwenang. Terkadang tuntutan tersebut datang dari keluarga pasangan, yang menuntut kita untuk mapan secara finansial. Terkadang juga datang dari keluarga sendiri, para orang tua kita sering menekankan bahwa kita harus matang secara emosional terlebih dulu.

Terkadang, tuntutan itu malah datang dari dalam diri sendiri, misteriusnya hati dan pikiran, “ah gua ga tampan, ga mapan, apa bakal diterima?”. Bahkan terkadang, kerasnya hidup turut berpastisipasi secara tidak langsung dalam pembuatan tuntutan ini.

Banyaknya pihak yang merasa berwenang dalam membuat tuntutan inilah yang kemudian menimbulkan multitafsir di masyarakat. Sebenarnya apa yang seharusnya dimiliki seorang pria ketika ingin melamar pasangannya?

Ilustrasi judul. (Sumber: Hasil Editan di canva.com)
Ilustrasi judul. (Sumber: Hasil Editan di canva.com)

Pembahasan

Penulis sendiri—meskipun belum pernah melakukan lamaran, meyakini bahwa sebenarnya seorang pria sah-sah saja ketika dia datang dalam keadaan yang belum matang. Namun, setidaknya, seorang pria harus mempunyai salah satu dari keempat hal ini. Satu sifatnya wajib sementara tiga yang lain sifatnya opsional. Mengapa hukumnya bisa begitu? Nanti akan dijelaskan.

Pertama, ilmu pengetahuan dan komitmen. Ilmu pengetahuan yang dimaksud di sini tidak mengarah pada ilmu akademik yang hanya bisa kita dapatkan di lembaga atau instansi pendidikan tertentu—gelar.

Namun, lebih pada pemahaman mendalam terkait kehidupan. Ketika seorang pria datang ingin melamar pasangannya, maka sudah pasti ia harus memiliki pengetahuan, terkait apa yang mau dia lakukan setelah menikah, bagaimana ia mencapai tujuan hidupnya bersama sang istri, bagaimana ia berkomunikasi dan menyelesaikan masalah dalam hubungan rumah tangganya, serta yang paling penting bagaimana ia kemudian menempatkan dirinya sebagai seorang kepala keluarga yang memiliki beban tanggung jawab.

Jadi yang dimaksud ilmu pengetahuan di sini lebih mengarah pada pengetahuan terkait visi dan misi seorang pria terkait kehidupan. Tentunya, visi dan misi ini harus disertai dengan komitmen. Ya, dalam sebuah ikatan, tentu perlu komitmen untuk mencapai tujuan, mewujudkan visi dan misi. kita semua pasti menyadari akan hal itu.

Perlu untuk diketahui bahwa ilmu pengetahuan dan komitmen di sini saling terikat. Penulis meyakini bila hanya ilmu pengetahuan saja yang dimiliki tanpa disertai komitmen, maka besar peluang apa yang diimpikan sebelum pernikahan tidak tercapai, begitu pun sebaliknya. Karena itu kedua hal ini saling terikat satu sama lain.

Kedua, finansial, ekonomi yang cukup, atau bagaimanapun kita menyebutnya. Ini merupakan aspek yang paling sering memiliki bobot paling berat dalam penilaian terhadap seorang pria.

Pria terkadang dituntut untuk punya kondisi finansial yang bagus ketika ingin menikah—terkadang tuntutan ini datang dari pasangan dan keluarga pasangan. Bahkan saking berpengaruhnya finansial ini, kita pasti sering melihat seorang wanita yang menikah dengan laki-laki yang sebenarnya bisa dikatakan secara tampilan luar “tidak cocok” dengannya, namun karena kondisi finansial yang bagus—bahkan dikatakan cemerlang, maka terwujudlah pernikahan mereka. Apakah hal yang seperti itu salah? Tidak, sebab semua orang bebas memilih dalam hidupnya bukan?

Ketiga, fisik. Seringkali fisik menjadi “pemberat utama” dalam menilai pasangan. Bahkan saat ini muncul istilah “mandang fisik”. Hal tersebut wajar saja, sebab fisiklah yang paling pertama terlihat dan menjadi penilaian awal pada “pertemuan” pertama. Dan bagi sebagian orang, memiliki pasangan dengan fisik yang rupawan merupakan suatu kebanggaan tersendiri.

Terakhir, status sosial/jabatan. Ini juga merupakan hal yang seringkali menjadi penentu dalam menilai pasangan. Banyak orang yang rela mengesampingkan perasaannya hanya demi bisa menikah dengan orang yang mempunyai jabatan tinggi ataupun status sosial yang terpandang.

Alasannya? Bermacam-macam, namun yang paling umum adalah pasangan tersebut memandang pernikahan sebagai sebuah sarana untuk meningkatkan jabatan atau status sosialnya—demi mencapai dinding sosialita yang lebih tinggi.

Seperti yang sudah disebutkan di awal, bahwa diantara keempat hal tersebut, satu sifatnya wajib sementara sisanya opsional. Nah, dalam hal ini, yang termasuk hal wajib ialah ilmu pengetahuan dan komitmen. Sementara ketiga hal yang lain, finansial, fisik dan jabatan bersifat opsional.

Mengapa bisa demikian?

Kausa yang pertama, sebagaimana yang kita ketahui, bahwa setelah pernikahan—menjalani rumah tangga, seringkali muncul masalah yang bersifat kompleks. Inilah yang kemudian menjadikan ilmu pengetahuan dan komitmen sebagai hal yang wajib. Sebab guna mengatasi masalah yang kompleks tersebut jelaslah butuh pemahaman dan juga kesetiaan dari pasangan.

Urgensi inilah yang menjadikan ilmu pengetahuan dan komitmen “wajib” dijadikan pondasi dalam suatu hubungan. Apabila hanya memiliki pengetahuan tanpa disertai komitmen, maka ada kemungkinan salah satunya pergi saat ada masalah bukan? Dan apabila hanya komitmen yang dimiliki tanpa disertai pengetahuan, maka bagaimana kemudian sebuah solusi atas masalah tersebut tercipta?

Karena itulah penulis membuat perumpamaan, ilmu pengetahuan tanpa komitmen itu bohong, dan komitmen tanpa ilmu pengetahuan itu buta.

Lalu apa jadinya jika hubungan tersebut hanya didasarkan pada ketiga hal yang sifatnya opsional tadi? Ketika seorang menikah hanya karena didasari ketertarikan atas harta yang dimiliki pasangannya, maka apa yang kemudian akan terjadi jika ada “ombak” yang bernama tekanan ekonomi ataupun kebangkrutan yang dialami pasangannya? Tentu besar peluang bagi si pasangan tersebut untuk pergi bukan? Meskipun dalam beberapa kasus ada yang tetap memilih bertahan.

Atau ketika seseorang menikah hanya karena faktor fisik yang rupawan. Apa yang akan terjadi jika ada “badai” yang berwujud seseorang yang lebih rupawan dari pasangan kita yang datang dalam hidup kita?

Maka lagi-lagi, hubungan tersebut berpotensi untuk runtuh. Inilah yang sering kita jumpai di masyarakat. Pasangan yang berselingkuh dengan seseorang yang ia anggap “lebih” secara penampilan fisik dari pasangannya.

Yang terakhir, ketika seseorang menikah hanya karena jabatan atau status sosial. Apa yang kemudian terjadi ketika pasangannya tersebut kehilangan jabatannya? Atau apakah yang terjadi jika ada “badai” yang berwujud seseorang yang jabatannya lebih bagus dari pasangan yang sekarang?

Sekali lagi, hubungan tersebut berpotensi runtuh. Inilah yang paling sering terjadi di kalangan politikus maupun selebritas, ketika mereka menyadari sudah tidak ada lagi dinding sosialita yang bisa dipanjat bersama sang pasangan, maka ia akan pergi mencari “tunggangan baru" yang bisa digunakan untuk mendaki dinding kehidupan yang lebih tinggi.

Namun apa yang bisa meruntuhkan hubungan yang di bangun atas dasar ilmu pengetahuan dan komitmen?

Penulis meyakini selama dalam hubungan tersebut memiliki ilmu pengetahuan dan komitmen, maka setinggi apapun ombaknya—semengerikan apapun badainya tidak akan bisa menghancurkan kapal hubungan tersebut. Keduanya merupakan komponen tak terpisahkan guna mengarungi luasnya samudera kehidupan.

Kausa yang kedua, ketiga hal tersebut, penulis kategorikan sebagai hal yang opsional sebab ketiga hal itu bisa didapatkan dalam perjalanan mengarungi samudera kehidupan. Sebab kehidupan ini bisa diibaratkan laut, tak peduli secanggih apapun teknologi hari ini, masih ada beberapa bagian di lautan yang belum terungkap. Seringkali dalam perjalanan, kita menemukan hal-hal yang menarik, selayaknya bajak laut yang menemukan harta karun.

Seperti itulah pernikahan. Dalam menjalaninya terkadang kita menemukan ataupun mencapai titik tertentu yang mungkin sudah kita duga ataupun yang kita tidak duga sebelumnya. Penemuan itulah yang berwujud harta, tahta, jabatan. Kita pasti juga menyadari, ada beberapa orang, yang sebelum menikah kehidupannya biasa-biasa saja, tetapi setelah menikah—perlahan tapi pasti mulai membaik bahkan melesat menuju titik tertentu.

Banyak pasangan yang sebelum menikah kondisi finansialnya biasa saja bahkan bisa dikatakan buruk, tetapi setelah menikah perlahan membaik. Adajuga yang secara tampilan fisik biasa saja, tetapi setelah menikah mulai “glow up”. Atau ada juga yang sebelum menikah kariernya biasa saja bahkan stuck, tetapi setelah menikah kariernya melesat.

Probabilitas seperti itu bisa terjadi karena adanya ilmu pengetahuan dan komitmen. Kedua hal tersebut lah yang menjadikan “kapal” pernikahan menjadi terarah dan bisa mencapai tujuan. Dan dalam perjalanannya itulah terkadang ditemukan hal-hal yang tidak kita duga sebelumnya, baik itu berbentuk “ujian” maupun "cobaan."

Dua kausa itulah yang kemudian menjadikan ilmu pengetahuan dan komitmen menjadi hal yang sifatnya “wajib” harus dimiliki pasangan sebelum menikah, dibandingkan ketiga hal lain yang sifatnya opsional.

Dan dalam banyak agama, hal yang sifatnya wajib jelas mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hal yang sifatnya opsional atau tidak wajib. Urgensi inilah yang kemudian menjadikan hal yang wajib tersebut sifatnya “harus dimiliki” dibandingkan ketiga hal yang lain.

Maka benarlah kemudian adagium hukum, “Lex Superio Derogat Legi Inferiori”, aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah

Dalam hal ini, eksistensi ilmu pengetahuan dan komitmen lebih kuat dibandingkan finansial, fisik rupawan maupun jabatan. Kuatnya posisi inilah yang menjadikan ilmu pengetahuan dan komitmen “setingkat” lebih tinggi dibanding ketiga hal tersebut.

Konklusi

Maka sah-sah saja, ketika seorang pria ingin melamar pasangannya, ia tidak memiliki kondisi finansial yang mapan, fisik yang rupawan, ataupun jabatan yang terpandang. Sepanjang ia memiliki ilmu pengetahuan dan mau berkomitmen maka itu sudah lebih dari cukup untuk meloloskan ia dalam proses penilaian pasangan.

Karena seperti yang sudah dijelaskan dalam dua kausa di atas, ilmu pengetahuan dan komitmen sifatnya “wajib”, sementara ketiga hal yang lain sifatnya “opsional”. Maka selama seorang pria memiliki hal yang sifatnya wajib itu, maka ia sudah cukup dalam hal persiapan “bekalnya” dalam mengarungi luas dan misteriusnya lautan kehidupan. Sekian terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun