Jadi yang dimaksud ilmu pengetahuan di sini lebih mengarah pada pengetahuan terkait visi dan misi seorang pria terkait kehidupan. Tentunya, visi dan misi ini harus disertai dengan komitmen. Ya, dalam sebuah ikatan, tentu perlu komitmen untuk mencapai tujuan, mewujudkan visi dan misi. kita semua pasti menyadari akan hal itu.
Perlu untuk diketahui bahwa ilmu pengetahuan dan komitmen di sini saling terikat. Penulis meyakini bila hanya ilmu pengetahuan saja yang dimiliki tanpa disertai komitmen, maka besar peluang apa yang diimpikan sebelum pernikahan tidak tercapai, begitu pun sebaliknya. Karena itu kedua hal ini saling terikat satu sama lain.
Kedua, finansial, ekonomi yang cukup, atau bagaimanapun kita menyebutnya. Ini merupakan aspek yang paling sering memiliki bobot paling berat dalam penilaian terhadap seorang pria.
Pria terkadang dituntut untuk punya kondisi finansial yang bagus ketika ingin menikah—terkadang tuntutan ini datang dari pasangan dan keluarga pasangan. Bahkan saking berpengaruhnya finansial ini, kita pasti sering melihat seorang wanita yang menikah dengan laki-laki yang sebenarnya bisa dikatakan secara tampilan luar “tidak cocok” dengannya, namun karena kondisi finansial yang bagus—bahkan dikatakan cemerlang, maka terwujudlah pernikahan mereka. Apakah hal yang seperti itu salah? Tidak, sebab semua orang bebas memilih dalam hidupnya bukan?
Ketiga, fisik. Seringkali fisik menjadi “pemberat utama” dalam menilai pasangan. Bahkan saat ini muncul istilah “mandang fisik”. Hal tersebut wajar saja, sebab fisiklah yang paling pertama terlihat dan menjadi penilaian awal pada “pertemuan” pertama. Dan bagi sebagian orang, memiliki pasangan dengan fisik yang rupawan merupakan suatu kebanggaan tersendiri.
Terakhir, status sosial/jabatan. Ini juga merupakan hal yang seringkali menjadi penentu dalam menilai pasangan. Banyak orang yang rela mengesampingkan perasaannya hanya demi bisa menikah dengan orang yang mempunyai jabatan tinggi ataupun status sosial yang terpandang.
Alasannya? Bermacam-macam, namun yang paling umum adalah pasangan tersebut memandang pernikahan sebagai sebuah sarana untuk meningkatkan jabatan atau status sosialnya—demi mencapai dinding sosialita yang lebih tinggi.
Seperti yang sudah disebutkan di awal, bahwa diantara keempat hal tersebut, satu sifatnya wajib sementara sisanya opsional. Nah, dalam hal ini, yang termasuk hal wajib ialah ilmu pengetahuan dan komitmen. Sementara ketiga hal yang lain, finansial, fisik dan jabatan bersifat opsional.
Mengapa bisa demikian?
Kausa yang pertama, sebagaimana yang kita ketahui, bahwa setelah pernikahan—menjalani rumah tangga, seringkali muncul masalah yang bersifat kompleks. Inilah yang kemudian menjadikan ilmu pengetahuan dan komitmen sebagai hal yang wajib. Sebab guna mengatasi masalah yang kompleks tersebut jelaslah butuh pemahaman dan juga kesetiaan dari pasangan.
Urgensi inilah yang menjadikan ilmu pengetahuan dan komitmen “wajib” dijadikan pondasi dalam suatu hubungan. Apabila hanya memiliki pengetahuan tanpa disertai komitmen, maka ada kemungkinan salah satunya pergi saat ada masalah bukan? Dan apabila hanya komitmen yang dimiliki tanpa disertai pengetahuan, maka bagaimana kemudian sebuah solusi atas masalah tersebut tercipta?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!