Mohon tunggu...
Ahmad Iqbal Athok Illah
Ahmad Iqbal Athok Illah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

Pelajar SMAN 3 KOTA MOJOKERTO

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Orangtua

18 November 2024   19:33 Diperbarui: 18 November 2024   19:42 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dina duduk di meja belajarnya yang kecil, matanya terpaku pada sebuah buku catatan tua yang penuh dengan coretan. Udara pagi masih sejuk, tapi pikirannya terasa panas. Kertas-kertas bertumpuk di sebelahnya, berisi cerita-cerita pendek yang ia tulis diam-diam. Dina bermimpi menjadi penulis terkenal suatu hari nanti, tapi mimpinya terasa jauh, terlalu tinggi untuk diraih.

Di luar kamar, terdengar suara langkah-langkah cepat. Ibu Dina, yang setiap pagi sibuk menyiapkan dagangannya, tampak terburu-buru. Dina mendengar ibunya menggeser kursi di dapur, mungkin untuk mengecek sesuatu di rak atas. Tidak ada hari tanpa kesibukan bagi ibunya, tapi Dina merasa semua itu biasa saja---ia sudah terlalu terbiasa dengan pemandangan itu.

"Dina! Sarapan udah siap!" panggil ibunya dari dapur.

Baca juga: Arti Hidup

Dina tidak langsung menjawab. Ia menatap hasil tulisannya, mengernyit. Cerita itu belum selesai, tapi ia merasa tidak cukup waktu untuk menyempurnakannya. Suara panggilan ibunya terdengar lagi, kali ini lebih tegas. Dina menghela napas panjang dan menutup buku catatannya dengan kasar.

Di meja makan, ibunya menyajikan nasi goreng sederhana. Dina mengambil piring tanpa banyak bicara. Ibunya duduk di seberang, memperhatikan Dina dengan wajah lelah tapi tetap tenang.

"Kamu belakangan ini sering ngurung diri di kamar. Lagi sibuk apa?" tanya ibunya pelan.

Dina hanya mengangkat bahu. "Cuma belajar, Bu."

Ibunya mengangguk, walau raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tahu Dina menyembunyikan sesuatu. Tapi seperti biasa, ibunya memilih tidak memaksa. Dina kadang merasa lega dengan sikap itu, tapi di sisi lain, ia juga merasa jengkel. Kenapa ibunya tidak pernah benar-benar ingin tahu?

--

Setelah sarapan, Dina langsung bergegas ke sekolah. Di sana, ia bertemu dengan Rina, sahabatnya sejak kecil. Rina selalu tahu kapan Dina sedang tidak baik-baik saja.

"Dina, kamu kenapa? Mukanya kusut banget pagi ini," tanya Rina sambil melirik tas besar yang Dina bawa.

"Nggak apa-apa, cuma lagi banyak pikiran," jawab Dina singkat.

Rina mengangkat alis, tapi tidak mendesak. Ia tahu Dina butuh waktu untuk bercerita. Mereka berjalan menuju kelas bersama, obrolan ringan berganti menjadi cerita-cerita kecil tentang guru mereka yang suka bercanda di depan kelas.

Saat jam istirahat, Dina akhirnya membuka diri. Mereka duduk di bangku panjang di dekat taman sekolah. Dina mengeluarkan buku catatannya, menunjukkan beberapa tulisan kepada Rina.

"Aku pengen ikut lomba ini, Rin," katanya sambil menunjuk poster kecil yang dilipat di antara halaman buku. "Hadiah utamanya besar. Kalau aku menang, aku bisa bantu ibu."

Rina membaca poster itu dengan serius. "Ini lomba penulis cerpen, ya? Kayaknya seru. Tapi... biayanya lumayan juga, Din."

Itu adalah inti masalah Dina. Ia tahu keluarganya tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pendaftaran lomba, apalagi kalau harus pergi ke kota besar untuk finalnya. Dina merasa buntu, marah, dan kecewa, tapi tidak tahu harus melampiaskan ke mana.

---

Malam itu, saat ia pulang ke rumah, Dina menemukan ibunya sedang menghitung uang receh di meja makan. Sekilas, ibunya terlihat lelah tapi tetap sabar, seperti biasa.

"Bu, aku mau ikut lomba," kata Dina tiba-tiba.

Ibunya menoleh, sedikit terkejut. "Lomba apa, Nak?"

"Lomba penulis cerpen. Tapi biayanya mahal," Dina langsung menjelaskan dengan nada yang terdengar seperti keluhan.

Ibunya terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Ibu pikirkan dulu, ya. Kita harus lihat dulu apakah cukup."

Jawaban itu membuat Dina kesal. "Ah, sudahlah, Bu. Ibu nggak pernah ngerti, kan? Selalu bilang nanti, nanti, dan akhirnya nggak jadi apa-apa." Dina meninggalkan meja tanpa menunggu respons ibunya.

Di kamar, Dina merasa bersalah atas ucapannya, tapi ia terlalu marah untuk kembali ke ruang makan. Ia tidak tahu bahwa malam itu, ibunya tidak tidur, sibuk menghitung dan mencatat sesuatu di buku kecilnya.

---

Dina semakin hari semakin dingin kepada ibunya. Ia merasa hidupnya tidak pernah mendapat dukungan yang ia harapkan. Pikirannya selalu dipenuhi dengan poster lomba cerpen yang ditempel di dinding kamarnya. Waktu pendaftaran semakin dekat, dan Dina tahu, ia tidak akan bisa ikut jika hanya berharap.

Di sekolah, Rina mencoba menghiburnya. Saat istirahat, mereka duduk di taman sekolah, membicarakan mimpi-mimpi Dina.

"Din, aku yakin, kamu pasti bisa. Kalau bukan sekarang, masih ada kesempatan lain," kata Rina, berusaha menenangkan.

"Kesempatan lain?" Dina mendengus. "Kapan, Rin? Hidupku ini kayak nggak punya pilihan."

Rina menatap sahabatnya dengan iba. Dina memang keras kepala, tapi Rina tahu itu karena Dina ingin keluar dari kehidupan yang serba kekurangan.

"Apa kamu udah ngomong baik-baik sama ibumu?" tanya Rina.

Dina terdiam. Ia mengingat kembali percakapannya dengan ibunya beberapa malam lalu, yang berakhir dengan kemarahan. Sejak itu, Dina lebih sering menghindari ibunya, memilih untuk menghabiskan waktu di kamar atau pergi lebih awal ke sekolah.

"Ngomong untuk apa? Jawabannya pasti sama," kata Dina akhirnya.

---

Sementara itu, di rumah, ibu Dina tidak pernah berhenti memikirkan apa yang diinginkan anaknya. Malam-malam panjang dihabiskannya menghitung uang dari hasil dagangannya. Jumlahnya belum cukup untuk biaya lomba Dina, apalagi untuk transportasi ke kota besar. Tapi ia tetap mencoba mencari cara, meski tubuhnya mulai sering terasa lemas.

Suatu malam, Dina pulang lebih lambat dari biasanya. Ia membuka pintu dan melihat ibunya tertidur di meja makan, dengan buku kecil terbuka di hadapannya. Dina mendekat dan melihat angka-angka yang ditulis di buku itu. Hatinya berdesir, tapi ia buru-buru mengabaikan perasaan itu.

"Selalu sibuk sendiri," gumamnya sambil berjalan ke kamar.

---

Keesokan harinya, saat sarapan, Dina mencoba mengangkat topik tentang lomba lagi.

"Bu, jadi gimana? Aku masih mau ikut lomba itu."

Ibunya terdiam sejenak. "Ibu masih berusaha, Dina. Sabar, ya."

"Sabar? Sampai kapan, Bu? Sampai aku nggak bisa ikut?" Dina meletakkan sendoknya dengan keras. "Bu, aku ini udah kerja keras buat nulis cerpen ini. Aku cuma minta ibu dukung aku sekali aja!"

"Bukan ibu nggak mau, Dina," jawab ibunya pelan. "Tapi kita harus lihat dulu keadaan. Uang kita pas-pasan."

"Selalu alasan yang sama," Dina menjawab sinis. Ia berdiri dan meninggalkan meja makan.

Ibunya hanya bisa menatap piring kosong di depannya. Di balik wajah tenangnya, ada luka yang dalam.

---

Hari-hari berlalu, dan hubungan Dina dengan ibunya semakin memburuk. Dina tidak lagi bicara banyak, dan ibunya pun tidak memaksa. Namun, di balik diamnya, ibunya terus bekerja keras. Ia menerima pekerjaan tambahan sebagai tukang cuci di rumah tetangga, meski tubuhnya sering terasa sakit.

Di sekolah, Rina mencoba memberi semangat pada Dina.

"Din, aku tahu kamu marah. Tapi kamu nggak boleh ngomong gitu terus ke ibumu. Dia pasti punya alasan," kata Rina.

"Alasan? Alasan apa, Rin? Selalu nggak ada uang, nggak ada waktu. Aku capek dengar itu," jawab Dina tajam.

"Tapi kamu sadar, kan, dia tetap berusaha buat kamu?"

Dina terdiam. Ada bagian dalam dirinya yang tahu Rina benar, tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya.

---

Satu malam, Dina terbangun karena suara batuk keras dari arah dapur. Ia keluar dari kamarnya dan melihat ibunya bersandar di dinding, terlihat lemas.

"Bu, kenapa?" tanya Dina dengan nada khawatir.

"Nggak apa-apa, Dina. Ibu cuma kecapekan," jawab ibunya, mencoba tersenyum.

Dina memandang ibunya yang tampak semakin kurus. Ada sesuatu yang menekan hatinya, tapi ia segera mengalihkan pandangan.

"Istirahat aja, Bu," katanya pelan sebelum kembali ke kamarnya.

Namun malam itu, Dina tidak bisa tidur. Bayangan ibunya yang kelelahan terus terlintas di pikirannya.

---

Esok paginya, saat Dina bangun, rumah terasa sepi. Ia menemukan secarik kertas di meja makan.

Dina, Ibu pergi sebentar ke rumah Bu Rini. Nanti sore ibu pulang.

Dina menghela napas. Ia merasa sedikit lega karena tidak perlu menghadapi ibunya pagi itu. Tapi ketika sore tiba, ibunya tidak juga pulang. Dina mulai gelisah.

Hingga malam menjelang, Dina menerima telepon dari tetangga. Ibunya pingsan di rumah Bu Rini dan sudah dibawa ke rumah sakit. Dina panik, buru-buru pergi ke sana dengan bantuan Rina.

Di rumah sakit, Dina melihat ibunya terbaring lemah di ranjang, dengan infus di tangan. Dokter menjelaskan bahwa ibunya terlalu kelelahan dan kurang nutrisi. Dina hanya bisa diam, hatinya terasa hancur.

"Ibu... kenapa?" bisiknya pada diri sendiri.

Air mata Dina mulai mengalir. Selama ini, ibunya berusaha memenuhi keinginannya, meski harus mengorbankan kesehatan. Dina merasa sangat bersalah atas semua kata-kata kasarnya.

"Ibu..." Dina menggenggam tangan ibunya yang dingin. "Maafin Dina."

Tapi ibunya tetap terbaring, tidak menjawab apa pun.

Dina duduk di samping tempat tidur ibunya, menggenggam tangan yang tampak kurus dan dingin. Wajah ibunya pucat, dengan selang oksigen melingkar di wajahnya. Hati Dina terasa seperti terhimpit batu besar. Selama ini ia begitu sibuk dengan mimpinya hingga lupa melihat perjuangan ibunya.

Dina membuka buku kecil yang tadi ditemukan di tas ibunya. Di sana, catatan pengeluaran dan pemasukan tertulis rapi. Di bagian bawah halaman terakhir, ada satu kalimat yang membuat Dina terisak.

"Untuk lomba Dina, agar dia bisa raih mimpinya."

Dina memejamkan mata, air matanya jatuh tanpa henti. Kata-kata itu menusuk perasaannya, mengingatkan betapa keras kepala dan egoisnya ia selama ini. Ibunya telah mengorbankan segalanya, bahkan kesehatannya, untuk mendukung sesuatu yang Dina sendiri pikir ibunya tidak pedulikan.

Rina datang dan berdiri di ambang pintu. Ia membawa botol air mineral dan makanan kecil, tapi wajahnya tampak penuh rasa prihatin.

"Dina," panggil Rina pelan.

Dina menoleh, matanya merah karena menangis. "Rin, aku nggak tahu... aku nggak tahu kalau ibu selama ini melakukan semua ini buat aku. Aku pikir... aku pikir dia nggak peduli."

Rina mendekat, meletakkan tangannya di bahu Dina. "Aku tahu ini berat, Din. Tapi kamu harus kuat. Ibumu pasti nggak mau lihat kamu terus begini."

Dina hanya mengangguk kecil. Tapi di dalam hatinya, ia merasa hancur.

---

Hari demi hari berlalu. Dina tetap menghabiskan waktu di rumah sakit, menjaga ibunya yang masih belum sadar. Dokter mengatakan ibunya mengalami koma akibat kelelahan fisik yang parah, dan masa pemulihan akan sangat bergantung pada kekuatan tubuhnya.

Setiap kali Dina melihat wajah ibunya yang diam tak bergerak, ia teringat pertengkaran terakhir mereka. Kata-kata kasarnya terus terngiang di kepala, seperti sebuah beban yang tak bisa ia lepaskan.

Sore itu, Dina sedang duduk di kursi dekat jendela rumah sakit, memandangi buku catatannya yang berisi cerita pendek. Ia sudah menuliskan cerpen yang akan diikutsertakan dalam lomba, tapi ia merasa tidak pantas melanjutkan.

"Din, kamu masih mau ikut lomba itu, kan?" tanya Rina, yang datang membawa makanan.

Dina menatap temannya dengan bingung. "Gimana aku bisa, Rin? Ibu kayak gini. Aku nggak mungkin ninggalin dia."

"Tapi, bukannya ini yang ibumu mau?" kata Rina, duduk di samping Dina. "Aku yakin, kalau ibumu sadar, dia pengen lihat kamu terus maju. Dia udah berjuang keras buat kamu bisa ikut lomba itu. Jangan sia-siakan, Din."

Dina menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. Kata-kata Rina masuk akal, tapi hatinya masih penuh dengan keraguan.

"Kalau kamu menang, Din, itu bakal jadi hadiah terbesar buat ibumu. Percaya deh," lanjut Rina.

---

Akhirnya, dengan dorongan Rina, Dina memutuskan untuk tetap mengikuti lomba. Ia menyelesaikan cerpennya dengan penuh emosi, menuangkan semua rasa bersalah, cinta, dan harapannya dalam setiap kata. Cerpen itu bercerita tentang seorang ibu yang diam-diam berjuang untuk kebahagiaan anaknya, meskipun anaknya tidak pernah menyadari pengorbanan tersebut.

Hari perlombaan pun tiba. Dina berangkat ke kota besar dengan bantuan Rina, yang meminjam uang dari keluarganya untuk biaya transportasi. Hati Dina penuh dengan campuran perasaan---senang, gugup, dan sedih. Ia terus memikirkan ibunya yang masih terbaring di rumah sakit.

Ketika Dina tiba di tempat perlombaan, suasana begitu ramai. Para peserta dari berbagai daerah berkumpul, semuanya tampak percaya diri. Dina merasa kecil di tengah keramaian itu, tapi ia mencoba menguatkan dirinya.

Di atas panggung, pengumuman pemenang dilakukan dengan penuh ketegangan. Dina berdiri di antara peserta lain, menggenggam erat ujung bajunya.

"Dan pemenang lomba cerpen tahun ini adalah... Dina Ananta Putri!"

Tepuk tangan bergema di seluruh ruangan. Dina membeku, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Matanya mulai berkaca-kaca saat ia melangkah ke depan untuk menerima penghargaan.

Saat Dina memegang trofi, ia hanya memikirkan satu hal, ibunya.

---

Sepulang dari perlombaan, Dina langsung pergi ke rumah sakit dengan membawa trofi dan hadiah uang. Ia duduk di samping tempat tidur ibunya, menunjukkan trofi itu sambil berbicara dengan suara bergetar.

"Ibu... aku menang," katanya pelan. "Aku menang lomba itu. Ini semua karena ibu. Maafin Dina, Bu. Dina nggak pernah ngerti betapa besar pengorbanan ibu."

Air matanya jatuh lagi. Dina menggenggam tangan ibunya yang dingin, berharap ada respons. Tapi ibunya tetap diam, wajahnya tetap sama seperti hari-hari sebelumnya.

Rina berdiri di belakang Dina, memberikan dukungan dalam diam. Dina tahu, ini belum berakhir. Ia harus tetap kuat, untuk ibunya, untuk dirinya sendiri.

Malam itu, Dina berdoa dengan sepenuh hati, berharap ibunya akan membuka matanya dan melihat apa yang telah ia capai. Tapi untuk saat ini, Dina hanya bisa menunggu, dengan harapan besar di hatinya.

Ibu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun