"Ibu... kenapa?" bisiknya pada diri sendiri.
Air mata Dina mulai mengalir. Selama ini, ibunya berusaha memenuhi keinginannya, meski harus mengorbankan kesehatan. Dina merasa sangat bersalah atas semua kata-kata kasarnya.
"Ibu..." Dina menggenggam tangan ibunya yang dingin. "Maafin Dina."
Tapi ibunya tetap terbaring, tidak menjawab apa pun.
Dina duduk di samping tempat tidur ibunya, menggenggam tangan yang tampak kurus dan dingin. Wajah ibunya pucat, dengan selang oksigen melingkar di wajahnya. Hati Dina terasa seperti terhimpit batu besar. Selama ini ia begitu sibuk dengan mimpinya hingga lupa melihat perjuangan ibunya.
Dina membuka buku kecil yang tadi ditemukan di tas ibunya. Di sana, catatan pengeluaran dan pemasukan tertulis rapi. Di bagian bawah halaman terakhir, ada satu kalimat yang membuat Dina terisak.
"Untuk lomba Dina, agar dia bisa raih mimpinya."
Dina memejamkan mata, air matanya jatuh tanpa henti. Kata-kata itu menusuk perasaannya, mengingatkan betapa keras kepala dan egoisnya ia selama ini. Ibunya telah mengorbankan segalanya, bahkan kesehatannya, untuk mendukung sesuatu yang Dina sendiri pikir ibunya tidak pedulikan.
Rina datang dan berdiri di ambang pintu. Ia membawa botol air mineral dan makanan kecil, tapi wajahnya tampak penuh rasa prihatin.
"Dina," panggil Rina pelan.
Dina menoleh, matanya merah karena menangis. "Rin, aku nggak tahu... aku nggak tahu kalau ibu selama ini melakukan semua ini buat aku. Aku pikir... aku pikir dia nggak peduli."