Ibunya terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Ibu pikirkan dulu, ya. Kita harus lihat dulu apakah cukup."
Jawaban itu membuat Dina kesal. "Ah, sudahlah, Bu. Ibu nggak pernah ngerti, kan? Selalu bilang nanti, nanti, dan akhirnya nggak jadi apa-apa." Dina meninggalkan meja tanpa menunggu respons ibunya.
Di kamar, Dina merasa bersalah atas ucapannya, tapi ia terlalu marah untuk kembali ke ruang makan. Ia tidak tahu bahwa malam itu, ibunya tidak tidur, sibuk menghitung dan mencatat sesuatu di buku kecilnya.
---
Dina semakin hari semakin dingin kepada ibunya. Ia merasa hidupnya tidak pernah mendapat dukungan yang ia harapkan. Pikirannya selalu dipenuhi dengan poster lomba cerpen yang ditempel di dinding kamarnya. Waktu pendaftaran semakin dekat, dan Dina tahu, ia tidak akan bisa ikut jika hanya berharap.
Di sekolah, Rina mencoba menghiburnya. Saat istirahat, mereka duduk di taman sekolah, membicarakan mimpi-mimpi Dina.
"Din, aku yakin, kamu pasti bisa. Kalau bukan sekarang, masih ada kesempatan lain," kata Rina, berusaha menenangkan.
"Kesempatan lain?" Dina mendengus. "Kapan, Rin? Hidupku ini kayak nggak punya pilihan."
Rina menatap sahabatnya dengan iba. Dina memang keras kepala, tapi Rina tahu itu karena Dina ingin keluar dari kehidupan yang serba kekurangan.
"Apa kamu udah ngomong baik-baik sama ibumu?" tanya Rina.
Dina terdiam. Ia mengingat kembali percakapannya dengan ibunya beberapa malam lalu, yang berakhir dengan kemarahan. Sejak itu, Dina lebih sering menghindari ibunya, memilih untuk menghabiskan waktu di kamar atau pergi lebih awal ke sekolah.