Tapi tetap saja perutku memberontak, membuatku harus diam membungkam beberapa lama tanpa gerakan apapun, hanya demi sang perut tak mengeluarkan ‘entah apapun itu’ yang baru saja kutelan.
Sekilas kulihat agen penghubungku tertawa miris, yang baru kuketahui arti tawanya beberapa saat kemudian, ketika kudapan terakhir kembali tersaji di hadapan kami… kadal bakar.
Kugigit kadal bakar sebesar paha bayi tersebut dengan gigi gemeretak, membiarkan tekstur kasar dengan rasa agak manis bercampur kesat kembali memancing rasa mualku. Sepotong kaki kadal kembali kumasukkan ke dalam mulut. Dan ketika tinggal kepala kadal yang tersisa, saat itulah aku benar-benar merasakan, betapa amat sukarnya merealisasikan keinginan untuk memuliakan pihak lain… melalui tindakan nyata.
***
masih merah, ucapmu
pada bendera di halaman itu
walau lambungmu yang sekian hari tak bertemu isi
menghasut matamu hingga pekat
dan bersumpah bahwa itu serupa warna darah
Â
agak ragu kau pandang lagi