Apakah mereka akan diberi rumah sakit, seperti yang telah lebih dahulu dilakukan kepada sanak mereka di Yaniruma, Mu, Basman, Manggel, Mabul dan lain-lain? Tapi efektifkah pemberian tersebut, mengingat daya tahan fisik mereka yang kuat luar biasa, hingga nyaris tak pernah mengenal apa itu sakit?
Terlintas juga dalam pikiranku untuk menyarankan kepada Presiden, agar membangun sekolah di atas tanah mereka. Setidaknya dengan cara tersebut, mereka perlahan akan mulai mengenal apa arti serta hubungan Indonesia dengan mereka yang sebenarnya.
Namun bayangan tentang ‘sekolah’ dengan segala tuntutan dan konsekuensinya, entah mengapa justru membuatku bergidik ngeri.
Alangkah membosankannya, menghabiskan begitu banyak waktu dalam ‘penjara intelektualitas’ dengan segala macam rumor tentang ‘mencerdaskan’ dan menjadikan ‘lebih berkualitas’, yang begitu kental dengan aroma tahayul itu…! Mengutak-atik segala macam rumus dan angka, yang seringkali di kehidupan nyata tidak banyak berguna. Atau menghapalkan begitu banyak teori tingkat tinggi yang bukan milik sendiri, yang jelas-jelas sering enggan berpihak pada hidup itu sendiri.
Pendidikan tentu saja amatlah penting, bathinku sambil berusaha keras mengingat-ingat perusahaan dan tempat bekerja mana saja yang telah dimasuki oleh nyaris seluruh yang kukenal seusai mereka sekolah, yang membuatku semakin paham untuk siapa dan atau pihak mana sebenarnya pendidikan itu penting.
Dan ke-amat penting-an pendidikan itu semakin aku yakini, walau mungkin dengan cara dan sikap yang ‘agak berbeda’. Terutama saat aku kerap melihat betapa dunia intelektual tersebut, telah menjadi begitu cerdasnya hingga tetap mampu menahan diri untuk tidak berbenturan dan membuat konflik kepentingan dengan para stakeholder-nya, dan memilih untuk tetap ‘cuma’ menjadi pabrik pencetak SDM. Menghasilkan out put yang 100% siap menjadi operator, mungkin juga analisator. Tergantung dari ‘titip pesan’ yang mereka terima. Tanpa pernah berkeinginan lebih untuk menjadikan lulusan yang mereka hasilkan sebagai creator, walau jelas atmosfir yang mereka miliki lebih dari cukup jika sekedar untuk mencetak barisan creature yang serupa baut dalam mesin besar dunia.
Tapi aku tetap menganggap pendidikan amat penting, sambil diam-diam berharap ada ilmu khusus yang mereka terapkan, yang barangkali mampu menjadikan Si Ino yang tukang Es Kebo mem-franchise-kan resep minuman tersebut seperti yang dilakukan Kolonel Sanders.
Atau sekedar memberi sedikit angin kepada Mpok Ipeh hingga mampu mengekspor nasi uduknya ke manca negara.
Barangkali mengotomatisasi irigasi petani hingga tak perlu lagi rebutan air sampai dini hari –yang kadang masih disertai pula dengan beberapa silat lidah dan tarian beladiri.
Juga menjadikan Si Eman yang tukang sampah: Naik status sebagai raja sampah, yang tentu saja dalam konotasi paling positif yang pernah ada!
Kuteguk cairan hitam kesat sepat di cangkir hingga tandas. Entah mengapa aku merasa separuh jiwaku tertinggal di Tanah Papua, membuatku memutuskan untuk mulai berhenti berlari, dari semua kenyataan menyebalkan yang ada di negeri ini.