“Tulisan yang baik itu, Bapak Penasehat Kepresidenan, harus mampu membangkitkan pembacanya dengan harapan-harapan, dan bukannya justru membunuh mereka dengan hanya berfokus pada masalah, perbedaan atau sekedar berisi tentang ujaran kebencian.”
Aku terdiam. Bagaimana mungkin aku menulis yang indah-indah, sementara kenyataan di luar sana, bahkan jauh lebih tragis dibanding yang sempat kucatat? (Ditulis untuk menemani hari terakhir kunjungan Jokowi Sang Presiden, nun di Kupang sana…^_)
***
Cerita sebelumnya:
Dan di sinilah sekarang aku berada, memandangi hamparan salah satu tanah tersubur yang ada di negeriku dari balik lebat hutan pedalaman Papua, yang tentu saja belum pernah sekalipun mencicipi modernisasi.
Keningku sedikit mengernyit melihat pemukiman suku paling terasing yang baru ditemukan keberadaanya tiga puluh tahun lalu ini, yang kutaksir berada pada pucuk pepohonan lima puluh hingga seratus meter… dari permukaan tanah!
Kutatap agen penghubungku dengan penuh tanya. Laporan apa yang baiknya kubuat untuk Presiden, tentang komunitas suku, yang bahkan tidak mengenakan koteka ini? (#2 Dongeng untuk Jokowi).
***
tak perlu berguru puisi jika cuma untuk mengerti
bendera negeri sendiri
yang dulu begitu lantang kau teriaki
tentang merah yang berani
bertopang kesucian
yang terpancar dari warna putihnya yang menawan
dalam himne tentang negeri nan gagah rupawan
yang selalu kaunyanyikan sepenuh sungguh kala sekolah kemarin
(‘Bendera Rindu Negara Cinta’ dalam Di Bawah Kibaran Dosa)
Ini Bukan Hanya Tentang Papua, Pak…
Satu jam sejak agen penghubungku berlalu, aku masih bergeming. Laporan apa yang baiknya kuberikan kepada Bapak Presiden?
Haruskah kutulis saran yang sama, agar Bapak Presiden membangun rumah permanen untuk mereka? Lengkap dengan kompor, pakaian serta entah tetek-bengek penciri peradaban apa lagi yang lainnya, hanya demi suku tersebut mengetahui, bahwa ternyata Presiden memang benar-benar ada, peduli serta mengakui mereka sebagai bagian dari rakyat yang dipimpinnya?
Kemiskinan tak melulu mengacu kepada uang dan daya beli, Bay…
Tanpa hutan, mereka tak lagi mudah mencari kayu bakar, dan dipaksa untuk menggantinya dengan minyak tanah atau gas. Tanpa pepohonan sagu, mereka yang semula tinggal menebang dan mengolah, dipaksa untuk mencari alternatif lain pengganjal perut, yang kesemua itu melahirkan kebutuhan baru akan benda bernama: Uang.”
Dan demi kebutuhan akan uang pulalah lapangan pekerjaan wajib diciptakan, yang setelahnya segala yang tumbuh di hutan kemudian menghilang, berganti dengan tunas-tunas sawit serta pertambangan, menyeret mereka ke dalam lingkaran kebobrokan sistem ekonomi yang kita anut. Memaksa mereka yang tadinya "tinggal makan dan tidur", harus menempuh jalan yang jauh lebih berputar, hanya agar bisa makan dan tidur yang tadinya amat mudah mereka lakukan, hanya demi bisa ‘sesuai’ dengan gaya serta standar yang kita punya.
Benarkah kemiskinan serupa dengan gaya hidup, Bay, yang mesti diuji hanya melalui daya beli sebagai satu-satunya tolok ukur?
Sebelum adanya niat baik dari Presiden, mereka telah memiliki segalanya, Bay. Pasokan kayu bakar berlimpah, sagu tanpa batas, daging hewan liar hutan yang tak tersentuh mafia harga, juga rawa yang dipenuhi cadangan ikan nan amat berlebih!
Sementara kita mesti berpayah-payah menghabiskan hari, hanya demi sepiring nasi serta seketip mimpi…
Kuhembus napas kuat-kuat. Secangkir kopi telah lagi kureguk hingga kering. Namun alih-alih beroleh ilham, ingatan yang lain justru kembali hadir, menyulap benakku hingga menjadi layar pemutar adegan-adegan.
Dalam sebuah fragmen yang agak buram nun di Jawa Tengah sana, kulihat deretan perempuan muda, tengah baya juga renta berbondong-bondong melewati liuk jalan mendaki dan menurun -sambil menenteng obor sederhana- menuju tempat bekerja sebagai buruh pemetik bunga melati.
Dan kegiatan itu rutin mereka lakukan setiap hari, sejak pukul empat dini hari hingga menjelang jam dua siang, hanya demi rupiah sebesar lima sampai delapan ribu rupiah… per hari!
Dan setelahnya, tentu pula memerlukan waktu hingga sore lagi untuk mereka tiba di rumah, untuk kemudian kembali berjibaku dengan segala macam rutinitas sebagai ibu.
Tak heran Gofar kecil menjadi nakal. Tak aneh Rinto remaja menjadi berandal. Tak janggal Siti muda menjadi binal. Sebab mereka lahir dan membesar tanpa asuhan ibunya, yang sibuk mengait-ngait rambut sintetis menjadi idep (bulu mata palsu) pabrikan setempat, yang kabarnya milik putra daerah asli namun setelah dicermati hanya kaki tangan pabrikan Negara Anu. Bahkan rumah tinggal merekapun di Green Garden Jakarta sana: Datang ke Purbalingga, hanya ketika tiba saat mengambil laba ‘perusahaan’.
“Angger njiyot idep nang Rika kenang rega pira, Kang?” tanyaku pada salah satu pengepul idep yang tengah mengambil setoran pekerjaan para ibu tersebut.
“Sing seri X kenang kosi patangatus, Mas, nanging madan angel garapane. Beda karo sing seri Y kiye. Kejaba mung telungatus bisa rampung patang puluh ngasi sewidakan sedinane. Tapi ya kuwi, digarap nganti jem sepuluh wengi,” kecap si pengepul dengan bahasa ngapaknya, yang langsung membuat keningku berkerut.
Siapa bilang perbudakan telah dihapuskan? Terutama bila mengingat harga sepasang idep di Negara Anu sana, harga minimalnya bisa mencapai seribu kali lipat dari upah lini terbawah! Membuatku berpikir tak perlukah pemerintah membuat semacam holding company yang membawahi semua perusahaan tersebut? Atau setidaknya, membuat regulasi dan kebijakan yang sedikit saja lebih berpihak kepada masyarakat?
Kembali kureguk cangkir kopi yang ketiga dengan amat masygul. Entah apa yang salah dengan negeri ini. Atau benarkah kita semua memang telah terlalu bodoh hingga tak lagi mampu, walau untuk sekedar memaksimalkan potensi yang tersedia dengan begitu rayanya di sekitar kita? Tersedia dengan amat riuhnya dalam negeri, yang memang sejak dulu kita buai lewat segala macam nyanyi surgawi? Tentang negeri dimana tongkat dan kayu bahkan menjelma tanaman meski kita lempar secara asal sambil bersandar saking suburnya. Begitu juga dengan kekayaan lautnya. Atau migasnya. Udaranya. Dan sebagainya yang semakin membuatku habis daya logis buah kenyataan yang terasa amat mensterilkan semangat ini.
“Jika ada yang berminat untuk melumat masyarakat dengan cara yang amat cepat, pisahkan para ibu dari anak-anak mereka, niscaya tak akan butuh waktu lama untuk generasi penerus menjelma serigala, bagi sesama mereka…”
***
tapi lidahmu yang kian terasa ngilu
tatkala mendendangkan lagi
nada-nada tinggi
yang pernah, amat kau yakini itu
memaksamu untuk menjelma puisi
coba menerjemahkan kembali: semua nada
dengan bait dan kata-kata sendiri
Jamuan Penyambutan yang Amat Mendebarkan…
“Nati mengundang Bapak Penasehat Kepresidenan untuk menghadiri pesta ‘bakar batu’ sebagai upacara penyambutan kedatangan Bapak,” lapor agen penghubungku, membuat keningku refleks mengernyit.
Bakar batu? Apakah batu bisa empuk dan berubah rasanya menjadi pulen jika dibakar? Sakti sekali Suku Papua ini!
Setelah mempersiapkan diri, dengan adrenalin bergejolak kutiti satu demi satu ‘tangga’ dari batang pohon yang diukir berlekuk dari rumah pohon tempatku menginap, yang sekilas mengingatkanku pada kegiatan panjat dinding masa sekolah dulu. Hanya saja kali ini jauh lebih tinggi… 50 meter, dan tanpa tali pengaman!
“Apa yang beliau katakan?” bisikku pada agen penghubungku.
“Nati tengah menjelaskan kepada warganya tentang kehadiran Bapak, yang dikatakan datang dari Indonesia,” jawab agen penghubungku sambil berbisik pula.
Agak terperangah juga aku mendengar penjelasan dari agen penghubungku. Bukankah semua yang hadir dalam pesta bakar batu ini memang tengah berada di Indonesia?
Seperti memahami keherananku, agen penghubungku menggeleng prihatin, dan menjelaskan sambil tetap berbisik bahwa butuh waktu cukup lama untuk menjelaskan kepada mereka, bahkan hanya untuk menjelaskan bahwa Papuapun, masih merupakan bagian dari Indonesia juga.
“Mereka nyaris tak pernah keluar dari hutan tempat tinggal mereka, Pak. Dan di sini juga tak ada sekolah, yang mengajarkan beragam pengetahuan dasar seperti yang biasa dilakukan di tempat-tempat lain. Dan pengetahuan mereka tentang Indonesiapun hanya sebatas dari kami, yang dalam beberapa kali kunjungan selalu memperkenalkan diri sebagai utusan dari Presiden Indonesia.”
Aku mengangguk, dengan pikiran yang berkecamuk tentang tak adanya sekolah serta beberapa garis besar situasi serta kondisi yang berlaku di tempat ini.
Agen penghubungku mengangguk mahfum melihat keraguanku, membuatku secepat kilat menyuapkan ulat sagu sebesar-besar jempol itu, langsung ke ujung terdekat tenggorokanku, dan menelannya kuat-kuat sambil merapal mantra, “Ulat sagu adalah makanan penuh gizi yang mengandung saripati sagu!” secara berulang-ulang.
Tapi tetap saja perutku memberontak, membuatku harus diam membungkam beberapa lama tanpa gerakan apapun, hanya demi sang perut tak mengeluarkan ‘entah apapun itu’ yang baru saja kutelan.
Sekilas kulihat agen penghubungku tertawa miris, yang baru kuketahui arti tawanya beberapa saat kemudian, ketika kudapan terakhir kembali tersaji di hadapan kami… kadal bakar.
Kugigit kadal bakar sebesar paha bayi tersebut dengan gigi gemeretak, membiarkan tekstur kasar dengan rasa agak manis bercampur kesat kembali memancing rasa mualku. Sepotong kaki kadal kembali kumasukkan ke dalam mulut. Dan ketika tinggal kepala kadal yang tersisa, saat itulah aku benar-benar merasakan, betapa amat sukarnya merealisasikan keinginan untuk memuliakan pihak lain… melalui tindakan nyata.
***
masih merah, ucapmu
pada bendera di halaman itu
walau lambungmu yang sekian hari tak bertemu isi
menghasut matamu hingga pekat
dan bersumpah bahwa itu serupa warna darah
agak ragu kau pandang lagi
kibar di tiang halaman
barangkali cuma lusuh, keluhmu
diam-diam melepas kacamata lalu menggosoknya
berharap debu di kaca penyebab semua
tapi merah itu justru kian pekat
senada dengan warna putihnya
yang kini tak lagi serupa putih
Pendidikan yang Memang Amat Penting, Tapi untuk Siapa?
Dua hari kemudian, helikopter membawaku pergi dari hutan, menuju komplek militer yang berada di lereng pegunungan. Dari sana, masih butuh beberapa jam perjalanan darat untuk aku mencapai Jayapura, dan menginap di salah satu hotelnya. Dan hal paling penting yang langsung kulakukan beberapa detik setelah menjejakkan kaki di hotel adalah: Memesan kopi.
Otakku berdentang keras, memikirkan tentang apa yang harus diberikan negara, agar suku tersebut dapat memahami bahwa mereka adalah warga Negara Indonesia.
Apakah mereka akan diberi rumah sakit, seperti yang telah lebih dahulu dilakukan kepada sanak mereka di Yaniruma, Mu, Basman, Manggel, Mabul dan lain-lain? Tapi efektifkah pemberian tersebut, mengingat daya tahan fisik mereka yang kuat luar biasa, hingga nyaris tak pernah mengenal apa itu sakit?
Terlintas juga dalam pikiranku untuk menyarankan kepada Presiden, agar membangun sekolah di atas tanah mereka. Setidaknya dengan cara tersebut, mereka perlahan akan mulai mengenal apa arti serta hubungan Indonesia dengan mereka yang sebenarnya.
Namun bayangan tentang ‘sekolah’ dengan segala tuntutan dan konsekuensinya, entah mengapa justru membuatku bergidik ngeri.
Alangkah membosankannya, menghabiskan begitu banyak waktu dalam ‘penjara intelektualitas’ dengan segala macam rumor tentang ‘mencerdaskan’ dan menjadikan ‘lebih berkualitas’, yang begitu kental dengan aroma tahayul itu…! Mengutak-atik segala macam rumus dan angka, yang seringkali di kehidupan nyata tidak banyak berguna. Atau menghapalkan begitu banyak teori tingkat tinggi yang bukan milik sendiri, yang jelas-jelas sering enggan berpihak pada hidup itu sendiri.
Pendidikan tentu saja amatlah penting, bathinku sambil berusaha keras mengingat-ingat perusahaan dan tempat bekerja mana saja yang telah dimasuki oleh nyaris seluruh yang kukenal seusai mereka sekolah, yang membuatku semakin paham untuk siapa dan atau pihak mana sebenarnya pendidikan itu penting.
Dan ke-amat penting-an pendidikan itu semakin aku yakini, walau mungkin dengan cara dan sikap yang ‘agak berbeda’. Terutama saat aku kerap melihat betapa dunia intelektual tersebut, telah menjadi begitu cerdasnya hingga tetap mampu menahan diri untuk tidak berbenturan dan membuat konflik kepentingan dengan para stakeholder-nya, dan memilih untuk tetap ‘cuma’ menjadi pabrik pencetak SDM. Menghasilkan out put yang 100% siap menjadi operator, mungkin juga analisator. Tergantung dari ‘titip pesan’ yang mereka terima. Tanpa pernah berkeinginan lebih untuk menjadikan lulusan yang mereka hasilkan sebagai creator, walau jelas atmosfir yang mereka miliki lebih dari cukup jika sekedar untuk mencetak barisan creature yang serupa baut dalam mesin besar dunia.
Tapi aku tetap menganggap pendidikan amat penting, sambil diam-diam berharap ada ilmu khusus yang mereka terapkan, yang barangkali mampu menjadikan Si Ino yang tukang Es Kebo mem-franchise-kan resep minuman tersebut seperti yang dilakukan Kolonel Sanders.
Atau sekedar memberi sedikit angin kepada Mpok Ipeh hingga mampu mengekspor nasi uduknya ke manca negara.
Barangkali mengotomatisasi irigasi petani hingga tak perlu lagi rebutan air sampai dini hari –yang kadang masih disertai pula dengan beberapa silat lidah dan tarian beladiri.
Juga menjadikan Si Eman yang tukang sampah: Naik status sebagai raja sampah, yang tentu saja dalam konotasi paling positif yang pernah ada!
Kuteguk cairan hitam kesat sepat di cangkir hingga tandas. Entah mengapa aku merasa separuh jiwaku tertinggal di Tanah Papua, membuatku memutuskan untuk mulai berhenti berlari, dari semua kenyataan menyebalkan yang ada di negeri ini.
Kuhirup napas dalam-dalam secara amat perlahan, sebelum akhirnya aku mulai mengetik laporan, ditujukan kepada Yang Terhormat Bapak Presiden. Sebuah laporan, yang benar-benar paling singkat yang pernah ada dalam sejarah.
“Tepat saat kaki mereka berhenti berlari, semesta hening.”
ini bendera rindu
dalam tembang tanah air yang penuh cinta
walau merah di kibar atasnya
pernah menghasut matamu hingga pekat
dan bersumpah bahwa itu serupa warna darah
perlahan kau gosok kembali
kali ini sudut di mata dan hatimu
yang tergesa meneteskan gerimis
kepedihan, sebab warna putih itu
yang kini serupa abu-abu
mengingatkan pada warna nasibmu sendiri
lagi, kau pandangi kibar di halaman itu
kembali ngilu, kembali abu-abu
dan pada merah pekat yang kian berkibar itu
kau sisipkan sebaris nada, dengan bait dan kata-kata sendiri
tentang tanah air mata, dengan bendera
yang tidak lagi sama
(‘Bendera Rindu Negara Cinta’ dalam Di Bawah Kibaran Dosa)
(Bersambung ke episode berikutnya, ‘Dongeng untuk Jokowi: Sejuta Mimpi Siti’ -Kisah bocah perempuan korban trafficking dipelosok Indonesia, yang berhasil menjadi dokter lulusan China Medical University Taichung-Taiwan, menyisakan jauh lebih banyak lagi bocah-bocah Indonesia lannya, yang butuh perhatian Sang Presiden, agar mereka tak sekedar mendebu sia-sia… T_T )
Secangkir Kopi Dongeng untuk Jokowi, ThornVille-Kompasiana, 28 Desember 2015.
*Tulisan ini merupakan novel yang mengacu kepada pendapat pribadi penulis, dengan tidak bermaksud melakukan ujaran kebencian dan atau mendiskreditkan Negara, Presiden, seseorang atau sekelompok pihak tertentu.
*Beberapa data dalam tulisan ini diambil dari status serta artikel yang banyak beredar di media, ditambah dengan pengalaman pribadi dari penulis saat tinggal di tempat-tempat tertentu negeri ini.
*http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/02/1518008/Bulu.Mata.Purbalingga.Menyihir.Dunia
(Cerita awak semakin menunjukkan peningkatan, dimana terkandung nilai murni yang menjadi ingatan. Sesekali bolehlah selitkan gurauan spontan yang mencuit hati... -Aisyah Az Zahrah-Malaysia)
Link Sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H