Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fabel] Dongeng Negeri Bayangan 2: Penyerbuan

7 November 2015   18:44 Diperbarui: 7 November 2015   21:19 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Ahmad Maulana S, No. 02.

Kutatap wajah di depanku dengan perasaan tegang. Jantungku berdebar kencang, keras memukul-mukul dada. Sementara tanganku sudah sejak tadi siap untuk menyodorkan kepal terkuatnya.

Kebencian menguasaiku. Sebuah kebencian yang tajam dan menyayat.. Dan sumber kebencian itu kini tegak di hadapanku. Tegak dalam kebisuannya yang gersang. Tegak, bersama ratusan lainnya yang mengerat ibadat pagiku hingga menjadi keping waktu yang penuh kegelisahan.

“Kami hanya menjalankan tugas!” teriak salah satu gonteng berseragam dengan amat jumawa.

“Harap bapak-bapak bersikap profesional dalam menjalankan tugas,” ucapku dengan tak kalah tandas.

“Saudara siapa? Kenapa saudara menghalangi kami? Saudara bisa kami tuntut karena menghalangi penyelidikan!” cecar gonteng tadi sambil mengatup-ngatupkan capit kepalanya yang besar menyeramkan.

“Saya Samu. Dan jika boleh saya tahu, ini penyelidikan apa? Mana surat perintahnya?” ucapku, masih mencoba bersikap biasa.

“Kami mendapat perintah langsung dari pusat… secara lisan! Dan padepokan saudara termasuk dalam daftar yang dicurigai terlibat Jamaah Semut Edaniyah. Saya harap saudara bisa bekerja sama dengan kami!”

“Atas dasar apa kami dimasukkan ke dalam daftar tersebut? Apa kesalahan kami?”

“Kami hanya menjalankan tugas, dan ini sejalan dengan Undang Undang Anti Semutsemit Negeri Bayangan yang berlaku!”

“Maaf, tapi ini negara hukum. Dan di dalam hukum kedaulatan kami sama besarnya dengan Bapak.”

“Jadi… Saudara tetap menolak?”

“Ya, sebelum ada perintah resmi.”

“Kalau begitu… jangan salahkan kami jika terjadi sesuatu.”

“Bapak mengancancam kami?”

“Saya hanya mengingatkan saudara!”

Alangkah ajaibnya Negeri Bayangan ini! Alih-alih melindungi warganya dari ancaman teroris, justru sebaliknya. Mencoba menjilat Dunia Hewan Internasional dengan terus mengobrak-abrik ‘gudang peradaban’ yang dimilikinya. Begitu berbahayakah pena, kitab, juga serat dan tembang peribadatan kami?

Ketegangan merayap di sekitar kami. Pertemuan dua kepentingan, yang terefleksi lewat simbol-simbol fisik yang tak seimbang, sempat menciutkan nyali sebagian besar penghuni padepokan. Hanya kecintaan terhadap sesepuh padepokanlah yang membuat mereka tetap bertahan.

“Kami tetap harus membawa Wawan untuk diperiksa!”

“Tidak!” oktaf suaraku mulai meninggi, sebab gonteng sengak berbalut seragam itu memanggil Semut Begawan yang kami hormati tanpa embel-embel apapun. Sungguh sebuah penghinaan yang sulit untuk dimaafkan.

“Apa yang saudara inginkan?”

“Bawa kami kepada pimpinan tertinggi bapak!”

“Saya pemimpin pasukan di sini!”

“Saya bilang: PIMPINAN TERTINGGI BAPAK!” sengaja kutekan kalimatku.

Baru saja kalimatku usai, ketika letus keras bergema menyentak udara. Langsung kutinggalkan gonteng sengak yang tersenyum mengejek itu, melesat secepat kilat menuju aula utama.

 “Barangkali akan lebih baik jika aku ikut mereka, Samu...” bisik Semut Begawan setibanya aku di sana.

 “Tidak, Begawan tidak boleh ikut mereka.” sergahku.

“Tapi Samu, aku khawatir akan jatuh korban...”

 “Tidak, Begawan… Tidak! Tak akan kubiarkan mereka memindahkan Begawan sejengkalpun dari padepokan!”  tegasku.

Kuperintahkan seluruh resi dan pandita melindungi Semut Begawan.

“Jangan pernah kalian bergeser sedikitpun dari sisi Begawan!”

Ini tentang kebenaran, tentang harkat martabat serta perikehewanan, bisikku riuh sambil menyelulup ke episentrum yang siap berbaku hantam itu.

Berhasil! Dan di sinilah aku sekarang berada, tepat di depan wajah-wajah angkuh yang sebelumnya bersilat kata denganku.

Tapi kali ini mereka tak punya lidah. Hanya wajah dan sebuah rekaman bobrok yang terus mengulang-ulang kalimat yang sama.

”Mohon kebijaksanaan Bapak untuk menghindari kesalah fahaman ini..,” ucapku setengah memohon.

“Kami hanya menjalankan tugas!”

“Tolong dengarkan saya sekali ini, Pak. Tolong…”

“Kami hanya menjalankan tugas!”

Dua barisan manusia menjepitku. Situasi kini semakin rawan, bersama jarak yang kian menyempit di antara kami.

”Tahan…! Mundur…! Mundur semua…!” teriakku, membuat barikade semut cantrik undur beberapa tindak.

Tapi belum sempat aku bernapas lega, ketika beberapa tubuh terasa menekan punggungku.

Ada apa ini? Kenapa Pasukan Kerajaan Gonteng yang kini justru merangsek ke arahku?

“Tahan! Tahaaan…! Teriakku lebih keras. Tapi semua tak lagi berarti apapun selain bunyi pukulan melanda tubuh, teriak sakit serta erangan yang menggiriskan keadaan.

“Munduuur! Lindungi Semut Begawan...!!!”

Kembali teriakanku sia-sia. Tak ada lagi komando. Tak ada lagi barisan yang tak tertembus. Yang terlihat hanya tubuh yang berjatuhan dijejak sepatu kerajaan, kepala termakan pentungan, serta leleh merah bercampur daging menyerpih ke tanah.

Beberapa semut cantrik mencoba melawan. Buk! Buk! Satu-dua gonteng bengis oleng terhajar tinju, lalu berganti mereka yang terhuyung dibabat pentung.

Kulewati tubuh-tubuh yang tengah bergelut. Beberapa kali aku ikut memukul, beberapa kali pula aku terpukul. Tapi aku tak peduli. Tekadku hanya satu: Aku harus melindungi Begawan!

Langkahku bagai tak menyentuh bumi. Tapi jarak masih terbentang di antara kami. Kulihat berpasang tangan mencengkeram Semut Begawan, namun segera ditepis oleh pasang tangan yang lain.

“Cepat bawa pergi Begawan! Tinggalkan segera padepokan in…”

Sebuah hantam amat telak mendarat tepat di belakang kepala, memaksa lidahku untuk mengebiri teriaknya seketika itu juga. Sesaat semua menggelap

Sekuat tenaga aku mencoba  berdiri. Tapi belum lagi pijakku kukuh, ketika sebuah gebuk kembali menyengat.

Kali ini aku tersungkur, tak mampu lagi untuk bangkit. Samar masih kulihat gelimang tubuh lain yang bernasib sama denganku. Tersungkur, bagai sehelai daun kering yang melayang diterjang angin.

Satu tubuh, dua tubuh, bahkan kini tak hanya semut cantrik yang terjungkal. Satu demi satu border Semut Begawan juga turut luruh.

Dan sebelum kesadaranku benar-benar hilang, kembali kudengar sebuah letusan. Bersamaan dengan sesosok tubuh tua menggelosor ke bawah. Melayang, menuju lantai aula utama, diikuti oleh beberapa tubuh lain yang juga melayang. Luruh, seperti daun jatuh.

-----o0o----- 

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community 

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community 

Gonteng: Sejenis rayap penjaga dengan capit besar di bagian kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun