Kembali teriakanku sia-sia. Tak ada lagi komando. Tak ada lagi barisan yang tak tertembus. Yang terlihat hanya tubuh yang berjatuhan dijejak sepatu kerajaan, kepala termakan pentungan, serta leleh merah bercampur daging menyerpih ke tanah.
Beberapa semut cantrik mencoba melawan. Buk! Buk! Satu-dua gonteng bengis oleng terhajar tinju, lalu berganti mereka yang terhuyung dibabat pentung.
Kulewati tubuh-tubuh yang tengah bergelut. Beberapa kali aku ikut memukul, beberapa kali pula aku terpukul. Tapi aku tak peduli. Tekadku hanya satu: Aku harus melindungi Begawan!
Langkahku bagai tak menyentuh bumi. Tapi jarak masih terbentang di antara kami. Kulihat berpasang tangan mencengkeram Semut Begawan, namun segera ditepis oleh pasang tangan yang lain.
“Cepat bawa pergi Begawan! Tinggalkan segera padepokan in…”
Sebuah hantam amat telak mendarat tepat di belakang kepala, memaksa lidahku untuk mengebiri teriaknya seketika itu juga. Sesaat semua menggelap
Sekuat tenaga aku mencoba berdiri. Tapi belum lagi pijakku kukuh, ketika sebuah gebuk kembali menyengat.
Kali ini aku tersungkur, tak mampu lagi untuk bangkit. Samar masih kulihat gelimang tubuh lain yang bernasib sama denganku. Tersungkur, bagai sehelai daun kering yang melayang diterjang angin.
Satu tubuh, dua tubuh, bahkan kini tak hanya semut cantrik yang terjungkal. Satu demi satu border Semut Begawan juga turut luruh.
Dan sebelum kesadaranku benar-benar hilang, kembali kudengar sebuah letusan. Bersamaan dengan sesosok tubuh tua menggelosor ke bawah. Melayang, menuju lantai aula utama, diikuti oleh beberapa tubuh lain yang juga melayang. Luruh, seperti daun jatuh.
-----o0o-----