Um, seringkali kutemukan ucapmu di kolom komentar, tentang betapa selalu sukanya dirimu akan cangkir kata-kata yang kuposting di Kompasiana, yang katamu bertabur kisah cinta yang indah gemerlap penuh rasa.
Tapi tahukah kau, Um, bahwa jauh waktu sebelum akhirnya kugarap begitu banyak roman bergenre picisan, semua yang menetes dari tintaku melulu berisi kepedihan. Walau memang masih juga tentang cinta. Hanya saja cinta yang amat jauh berbeda. Cinta yang acapkali terlihat rumit, kalut serta tak berhenti bergelut di sesama rasanya.
Biar pagi ini kuajak kau ke salah satu kisahnya…
Â
setelah kepergianmu
yang tiba-tiba dan penuh gemuruh
aku terjebak kenangan
dalam lingkaran-lingkaran rasa yang membelenggu
hidup, tentang semua
Â
sederet kisah telah lagi terangkai di sini
terus, tentang Mentari
hari ini usianya genap lima Agustus
Â
empat puluh delapan purnama yang lalu, aku
dibuatnya terkejut
bukan karena pipisnya membasahi kemeja
ku, sebab
hampir setiap malam ia
memilirkannya
dipelukku, saat ia begitu lelap dan meresapi
lembut jari kurus kedua tanganku yang tak pernah
hendak: usai
dalam gelora mengukir cinta
atau ketika hangat
dekapku
begitu memberinya nyaman
sebab ia tahu
bahwa di balik raga yang getas dan kering milikku
ada cinta yang penuh, untuknya
dan ia, selalu membalasnya
walau hanya dengan pipis
sebab ia butuh
lebih, dari sekedar kasur
Â
tapi bukan itu yang membuatku
terkejut
melainkan ia, mentariku
mulai berbicara
ludahnya menyembur kemana-mana
sementara dari bibir kecilnya
terdengar suara: efps… efps…
Â
hampir lepas kontrol tubuh lembut itu
kuraih
wajah kami tak berjarak
dan aku, kembali takjub
bahkan terharu
sebab ia begitu cadel
dan sengau mengucapkan: pa… pa… pa…
pa-pa
sambil jari-jari kecilnya
menggapai-gapai di hidungku
sementara tangan yang lain, terperangkap
dalam belukar gondrong rambutku
Â
lantas saja wajah cahaya itu
membasah, sebab kecup sayangku
begitu hujan menerpanya
lalu gelak terangkai
dalam tarian gerak yang menendang-tendang
Â
harusnya kebahagiaan tak pernah perlu dicerna
atau dibagi
tapi aku cuma seseorang
yang rapuh
yang hanya dibentuk oleh waktu
yang kini, terbelenggu
Â
dan waktu terus berlari sebab bahagia
memacunya untuk lebih
bersegera
begitu juga ia, Mentariku
walau
sebenarnya ia cuma fusi
dari segala ilusi
akan resah dan pedihnya sepi
hari ini usianya genap lima Agustus
Â
dan waktu yang berlari seperti selalu harus
berlari
begitu juga hati, sebab jiwa
bukan baja
walau gaibnya: sanggup, melahirkan hidup
walau cuma semu
Â
setelah pertarungan yang panjang
sebuah layar kututup lagi
Â
: Mentariku tak pernah terlahir.
(‘Maut Untuk Anakku’ dalam Di Bawah Kibaran Dosa).
Â
Begitulah, Um. Di balik hal-hal yang tampaknya indah, mapan serta mencocoki selera, biasanya selalu ada cerita pilu yang menggumpal di tepian kenangannya. Ya, seperti juga kamu dan kalian yang membaca posting ini. Iya, kamu… juga kalian.
Â
Dari saya,
Ahmad Maulana S.
Kepala Suku Genk Cinta yang Penuh Konflik Tahun 2222 SM.
-oOo-
Ikuti Event Surat-menyurat di SINI