Suatu hari, pemuda tersebut bermimpi bahwa tengah malam ibu jarinya yang hilang merayap ke dalam selimut dan berteriak mengagetkan jari-jemari lain yang masih tersisa di tangannya yang tengah pulas bersama dirinya.
Karena kaget, serentak jari-jemari si pemuda berhamburan meninggalkan tangan.
Jari tangan berlari menuju panggung politik dan menunjuk apa saja dan siapa saja yang dirasa tidak sejalan.
Lain lagi dengan jari tengah. Karena perangainya agak sarkas, jari tengah memilih untuk mengadu nasib ke Amerika, dan langsung menjadi simbol caci-maki anak muda di sana dengan cara mengacungkannya ke lawan.
Nasib paling manis agaknya dialami oleh jari manis. Ia terus dicari setiap kali ada yang ingin bertunangan, atau langsung dilingkari cincin kawin bagi para jomblo yang ngebet melepas kesendiriannya yang mengenaskan.
Dan takdir terburuk harus dialami si bungsu kelingking, yang terjebak ritual janji kalangan mafia Jepang, hingga harus berkali-kali dipenggal dari tangan ke tangan.
“Bagaimana dengan kisah si ibu jari biang kerok tersebut?” tanpa sadar Christian Kelvin bertanya. Hatinya penasaran luar biasa sebab tadi telah disindir sebagai kakek tukang dongeng berusia renta.
“Karena merasa bersalah, ibu jari kembali menempel ke tangan si pemuda.” Jawab Desol.
“Tapi si pemuda yang telah kehilangan seluruh anggota jemarinya, akhirnya tak dapat lagi membuat postingan di Kompasiana. Dengan penuh haru, si pemuda bersyukur karena masih bisa meng-klik vote ‘tobat’ di lapak Kompasianer yang lain. Dan ia merasa hal itu jauh lebih menyelamatkannya dari dosa ketimbang ketika jarinya lengkap dia justru menggunakannya untuk mengetik postingan maksiat, artikel penuh hujat, serta komentar yang menandakan pikiran cupat dan otak penuh karat…” wejang Desol kepada Christian Kelvin, yang sekaligus juga menyentil telinga penulis cersil usil ini serta pembaca setianya, membuat suasana kuil Partai Fiksiana Community langsung lebih sepi nyenyet dibanding kuburan.