Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dunia Fiksi yang Aneh

5 Oktober 2015   03:18 Diperbarui: 5 Oktober 2015   03:18 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kau ingat tebing tepi danau yang berada dekat Lembah Patah Hati?”

Christian Kelvin mengangguk.

“Kita ke sana sekarang, karena aku masih tersinggung atas penamaan pengarangnya terhadap tebing tersebut. Masak berani-beraninya dia memberi nama tebing itu dengan ‘Tebing Jomblo Berjoget’, disangkanya kita-kita yang lagi single ini topeng monyet, apa?” geram Desol.

 

***

Bay merasa kelopak matanya seperti diganduli besi seberat ribuan kati, tapi ia memaksa untuk memicingkannya. Tubuhnya terasa amat lemas, dengan tulang yang seperti bergeloseran di seluruh tubuh.

Entah berapa lama waktu berlalu, ketika akhirnya Bay berhasil membuka matanya. Ingatan pertamanya langsung tertuju pada Na, bersamaan dengan keluhan kecil tak jauh di sampingnya.

Susah-payah Bay menolehkan kepala. Hatinya langsung mencelos melihat Na tergeletak sama mengenaskan seperti dirinya.

Susah payah Bay mencoba bangkit, tapi tak berhasil.

“Kau jangan mati, Na…” ucap Bay dengan suara yang amat lirih melebihi dengung nyamuk saking tiadanya tenaga. Tangannya menggapai-gapai ke arah Na, yang tersenyum pias tanpa bisa melakukan apapun.

“Kau jangan mati, Na…” ulang Bay, tapi kini tanpa suara suara sama sekali. Tangannya berhasil meraih tangan Na, yang langsung digenggamnya dengan amat erat.

“Kau jangan mati, Na…” kali ini Bay hanya sanggup mengatakannya lewat tatap mata, sebelum semuanya berubah menjadi gelap.

 

***

Gua Kalimantan, Waktu Indonesia Bagian Lari-lari.

“Dari mana Mbak Hanna tahu saya di sini?” tanya Aldy kepada Hanna Chandra. Sebagai mantan pemimpin sebuah Pang, kepandaiannya memang tak bisa disamakan dengan anak kemarin sore yang baru paham seucap tapi gemar mengumbar omong-kosong berbuku-buku layaknya Trio Warkop DPR. Luka dalamnya membaik dengan amat cepat.

Belum lagi Hanna Chandra menjawab, Aldy telah kembali bertanya, “Mbak Hanna punya kopi, enggak? Dah sejak pertarungan sama Duo Tengik Desol dan Pebri kemarin saya belum ngopi, bikin hidup saya jadi agak hambar. Mana anggota Pang Kehutanan saya diberangus semua pulak, sedih deh…”

Tapi sebelum curcol Aldy semakin seru, Hanna Chandra langsung menjawab agak jutek, “Mas Aldy bagaimana sih, kayak orang benar aja. Masak sempat-sempatnya nanya saya bawa kopi apa enggak? Emangnya saya Kompasianer yang kurang kerjaan apa? Mas Aldy mestinya paham, kalo saya ini terburu-buru datang kemari, murni buat menolong Mas Al? Boro-boro ingat kopi segala macam. Eh, tapi tahu enggak Mas Al, saya ke sini naik Sukhoi, loh… Bahkan sempat terjun bebas dari ketinggian 17.000 meter dan menari di udara dengan ilmu cantik warisan leluhur. Mmmh… saya hebat kan…?” celoteh Hanna Chandra riuh melebihi segerombolan bebek yang berisik memperebutkan dedak seduh, membuat Aldy menggaruk kepalanya yang mendadak gatal karena alih-alih mendapat kopi, justru malah di cap sebagai orang yang agak waras karena minta yang aneh-aneh.

Ternyata keinginan untuk menikmati hal sederhana seperti secangkir kopipun dapat membuat dirinya dicela orang, entah bagaimana pula reaksi yang akan dia terima jika misalnya menginginkan banyak hal yang bukan sekedar kopi. Kemerdekaan sejati, misalnya. Atau pemberantasan kemiskinan serta negeri yang bebas dari asap kebakaran hutan. Akankah dirinya langsung berakhir dipenjara? Atau seketika menyusul takdir Salim Kancil, hanya karena mencoba menyuarakan hak dan kebenaran? Ah…

Baru saja Aldy ingin meminta maaf, ketika Hanna Chandra mendadak tersenyum, membuatnya curiga jangan-jangan Hanna Chandra ini adalah salah satu anggota Planet Kenthir yang postingannya banyak beredar di kolom sembarang.

“Tapi saya bawa es dawet… Asli buatan Mbok Sarungpaet yang terkenal buah cocotannya yang cewakwakan tak karuan itu. Ayo kita nikmati bersama, Mas Al…” Hanna Chandra langsung membuka bungkusan yang tergantung di punggung dan memberi seplastik kecil es dawet kepada Aldy, membuat pendekar rimba ini langsung menepuk jidatnya keras-keras sambil berpikir, sebenarnya siapa yang ‘kayak orang benar’, sih?

“Waduh… saya lupa satu hal, Mas Al. Kita harus buru-buru pergi…!” teriak Hanna Chandra sambil melompat berdiri dan langsung menyeret Aldy berlari mengikutinya, membuat Aldy tersedak es dawet hingga kumis baplangnya belepotan potongan cendol kecil-kecil yang mirip uget-uget itu.

“Memangnya kita mau kemana Mbak Na?” tanya Aldy dag-dig-dug karena tangannya terus digenggam Hanna Chandra sambil berlari. Rasanya hangat-hangat gimanaaa… gitu, jadi bikin deg-deg serrr…! ^_

“Mencari kakek,” jawab Hanna Chandra singkat, membuat angan yang sempat memenuhi benak Aldy langsung ambrol tak tersisa.

“Memangnya saya tak cukup keren Mbak Na, hingga Mbak Na masih harus mencari kakek-kakek untuk menemani?” polos Aldy sambil memilin-milin kumisnya dengan gaya yang amat mirip Ki Demang atau Tuan Takur di film India.

Hanna Chandra memandang Aldy dengan gemas. Dicubitnya tangan Aldy yang masih digenggam, untuk kemudian berlari secepat terbang menggunakan ginkang.

“Kakek saya menyuruh untuk segera menyusul ke Jogja setelah urusan di sini beres. Dengar-dengar ada satu orang lagi yang terluka berat di Marboyo atau Markotop atau entah apa,” jelas Hanna Chandra tanpa mengurangi kecepatan ginkangnya.

“Ooh… ternyata kakek Mbak Na… Tapi di Jogja tak ada nama daerah seperti itu. Apa bukannya Malioboro, Mbak Na?” ucap Aldy, setelah agak ngos-ngosan mengimbangi Hanna Chandra. Vitalitasnya akhir-akhir ini memang agak melemah. Apalagi setelah meladeni Desol kemarin. Langsung terserang 5 L alias Letih, Lemah, Lesu, Loyo dan Lunglai.

(Pembaca: Psssttt…! Paragraf yang ini kenapa rada-rada berbau habul sih, Bay? Mana Si Hanna Chandra tiap kali keluar di cerita disuruh lari-lari melulu, enggak kasihan?

Saya: Hussttt…! Jangan pake ngeres dong bacanya… ^_ Itu kan adegan lari berjamaah, juga adegan bareng Desol yang murni pertempuran maut, haha…^_).

Dengan tabahnya Hanna Chandra melakoni peran yang selalu lari-lari tak karuan di cersil ini, yang kelak akan kembali berlari sebab Bay tak ada lagi di Malioboro, dan mungkin saja lagi-lagi harus berlari, ketika menyusul Bay ke tebing tempat tinggal Pendekar Pedang Hujan, yang siapa tahu akan berlari lagi karena Bay -bisa saja- dipindahkan oleh si pengarang cersil agar tidak lagi berada di tebing tempat tinggal Na.

Kelak dunia persilatan digegerkan oleh cerita legenda yang agak musykil, tentang kisah pendekar yang terus berlari tanpa henti, yang entah mengejar jodoh atau apa… ^_

Hanna Chandra terus berlari dengan penuh kesungguhan, dengan sesekali memandang heran kepada Aldy, yang berlari mengiringinya sambil tersenyum-senyum pinky sendiri.

 

***

Kuil Partai FC, Waktu Indonesia bagian Pacar Fiksi

Boom…!!!

Halaman kuil Partai FC berlubang seperti dihantam meteor. Di tengah lubang tanah itulah Desol tegak berdiri. Pakaiannya berkibar-kibar penuh hawa sakti. Sementara matanya berkeredep tak putus-putusnya seperti sinar lampu disco yang dipasang warga menjelang hari kemerdekaan, walau sekilas agak mirip pula dengan kriyep-kriyep orang yang cacingan.

“Kokoh…!!!” teriak Christian Kelvin dan Sri Subekti aka Dinda Pertiwi gembira, karena leluhur mereka itu berhasil meyakinkan iwekang yang sangat hebat. Bergegas keduanya memberi tabik.

“Tak udah banyak peradatan,” Desol mengibaskan lengan bajunya ke arah dua admin baru Fiksiana Community itu. Sejalur tenaga dalam langsung menahan gerak penghormatan mereka hingga berhenti di tengah jalan, membuat mereka semakin terkagum-kagum akan kekuatan hawa murni leluhur tersebut.

“Terimalah kembali jabatan Ciangbunjin Partai FC ini, Kokoh,” kembali mereka berdua memberi tabik, dan kembali Desol mengibaskan ujung lengan bajunya.

“Kalian semua telah membuktikan kecakapan yang dimiliki pada even ‘Katakan Cinta’ kemarin, hingga hasilnya memuaskan. Jadi… biarlah kita nikmati jabatan Ciangbunjin ini bersama-sama.”

“Oh, iya, Pin… aku punya cerita balasan untukmu,” lanjut Desol, membuat Christian Kelvin agak bingung menjawab.

“Tolong sampaikan kepada kakek tua renta berkaca mata yang mengarang ‘Hikayat Keluarga Jempol Kaki’ tersebut, bahwa sebelumnya ada seorang pemuda yang kehilangan ibu jari tangannya. lalu… ”

 

Suatu hari, pemuda tersebut bermimpi bahwa tengah malam ibu jarinya yang hilang merayap ke dalam selimut dan berteriak mengagetkan jari-jemari lain yang masih tersisa di tangannya yang tengah pulas bersama dirinya.

Karena kaget, serentak jari-jemari si pemuda berhamburan meninggalkan tangan.

Jari tangan berlari menuju panggung politik dan menunjuk apa saja dan siapa saja yang dirasa tidak sejalan.

Lain lagi dengan jari tengah. Karena perangainya agak sarkas, jari tengah memilih untuk mengadu nasib ke Amerika, dan langsung menjadi simbol caci-maki anak muda di sana dengan cara mengacungkannya ke lawan.

Nasib paling manis agaknya dialami oleh jari manis. Ia terus dicari setiap kali ada yang ingin bertunangan, atau langsung dilingkari cincin kawin bagi para jomblo yang ngebet melepas kesendiriannya yang mengenaskan.

Dan takdir terburuk harus dialami si bungsu kelingking, yang terjebak ritual janji kalangan mafia Jepang, hingga harus berkali-kali dipenggal dari tangan ke tangan.

 

“Bagaimana dengan kisah si ibu jari biang kerok tersebut?” tanpa sadar Christian Kelvin bertanya. Hatinya penasaran luar biasa sebab tadi telah disindir sebagai kakek tukang dongeng berusia renta.

“Karena merasa bersalah, ibu jari kembali menempel ke tangan si pemuda.” Jawab Desol.

“Tapi si pemuda yang telah kehilangan seluruh anggota jemarinya, akhirnya tak dapat lagi membuat postingan di Kompasiana. Dengan penuh haru, si pemuda bersyukur karena masih bisa meng-klik vote ‘tobat’ di lapak Kompasianer yang lain. Dan ia merasa hal itu jauh lebih menyelamatkannya dari dosa ketimbang ketika jarinya lengkap dia justru menggunakannya untuk mengetik postingan maksiat, artikel penuh hujat, serta komentar yang menandakan pikiran cupat dan otak penuh karat…” wejang Desol kepada Christian Kelvin, yang sekaligus juga menyentil telinga penulis cersil usil ini serta pembaca setianya, membuat suasana kuil Partai Fiksiana Community langsung lebih sepi nyenyet dibanding kuburan.

Kembali Christian Kelvin, Dinda Pertiwi serta seluruh anggota partai FC takjub. Sebab bukan hanya kemampuan silat leluhur ini saja yang mumpuni, melainkan juga wejangannya yang amat pas dengan selera analogi berfiksi, walau memang terasa agak janggal membayangkan jari-jemari bertingkah seperti manusia. Tapi mungkin itulah dunia fiksi, yang selalu menemukan celah untuk memberikan yang terbaik yang dimiliki semasing fiksianers, dengan atau tanpa logika.

Masih dengan kekaguman yang dalam, Christian Kelvin mengajak Desol untuk mengopi bareng di ruang kuil.

“Paspamci…!” Perintah Christian Kelvin.

“Siappp…!!!” seru beberapa pengawal kegiatan Partai FC, yang rerata berbadan kekar tapi tak sungkan menjerit saat melihat kecoak melipir.

“Bawa tandu emas untuk menggotong Kokoh, dan seduh kopi salju terbaik yang kita petik dari Gunung Taysan kemarin…!”

“Tidak perlu, Pin…” tolak Desol tegas. “Aku  tidak seperti pengarang cersil usil ini yang gila kopi. Dan seorang pemimpin yang baik bukanlah minta dilayani, melainkan justru pelayan bagi yang dipimpin. Begitu juga kedudukan kita sebagai Ciangbunjin Partai FC, harus bisa ngemong seluruh anggota dan memacu semangat mereka, bukannya malah sibuk sendiri bersaing serta ingin selalu menjadi Yang Terbaik di Komunitas Partai…!!! Lagi pula masih ada beberapa hal yang harus kita kerjakan.”

“Kau ingat tebing tepi danau yang berada dekat Lembah Patah Hati?”

Christian Kelvin mengangguk.

“Kita ke sana sekarang, karena aku masih tersinggung atas penamaan pengarangnya terhadap tebing tersebut. Masak berani-beraninya dia memberi nama tebing itu dengan ‘Tebing Jomblo Berjoget’, disangkanya kita-kita yang lagi single ini topeng monyet, apa?” geram Desol.

“Dan kau Dinda Pertiwi, tolong jaga Partai FC ini selama kami pergi. Koordinir semua penjaga gawang Partai FC untuk segera men-download satu-persatu karya peserta event [KC] segera. Khawatir ada yang curang merubah isi seperti event ‘Aku Punya Impian’ yang lalu…!” Perintah Desol.

“Baik Kokoh, Dinda terima perintah,” tabik Dinda Pertiwi. “Bagaimana kriteria calon juaranya, Kokoh? Apakah harus berdasarkan karya yang diganjar HL oleh admin K? Atau jumlah vote dan atau komen terbanyak, tak peduli isi komennya hanya sekedar manstaf atau menarik loh atau salam fiksi, yang terlihat jelas hanya sekedar basa-basi demi mengejar setoran untuk masuk ke kanal NT berdasarkan balas budi sesama kompasianers? ”

“Husssttt…! Ini event Partai FC, dan bukannya event admin K. Jadi kewenangan mutlak berada di tangan kita, tanpa campur tangan siapapun…!!!” tegas Desol sambil memberi tanda agar Christian Kelvin mengikuti gerakannya. “Dan jika Si Ella kecewa hingga minta kawin lagi karena karyanya yang HL tak kita pilih sebagai juara, biarin aja. Salah sendiri kenapa dia ngeduluin gue, harusnya kan gue yang depanan.”

Desol terus berlari sambil misuh-misuh, hingga akhirnya sadar bahwa Christian Kelvin tertinggal di belakangnya.

“Lambat sekali langkah fiksimu, Pin, jika begini terus, kapan kejombloan kita akan berakhir?” sindir Desol kepada Christian Kelvin, yang entah menyindir larinya yang lelet, atau justru menyindir keberaniannya yang maju-mundur untuk menembaknya dengan setangkai bunga.

Digenggamnya tangan Christian Kelvin untuk menyalurkan iwekang, agar Christian Kelvin dapat mengimbangi ginkangnya yang kini nomor satu setengah di rimba persilatan itu. Tapi sebenarnya, ada makna lain yang tersirat dari genggam tangan Desol, yang hanya jomblo sejati saja yang tak akan pernah bisa mengungkap rahasianya.

Beriringan mereka melesat. Kilat, menuju ‘Tebing Jomblo Berjoget’ yang amat menyebalkan rasa kesendirian tersebut. (Bersambung…).

 

Secangkir Kopi Legenda Silat Indonesia, Babad yang ke-7, Thornvillage-Kompasiana, 051015.

Untuk episode ke-8 mungkin agak bertabur puisi liris (atau puisi miris…? ^_) karena pengarang cersil usilnya kangen berpuisi, yang insya Allah siap posting malam ini.

Judulnya: “Setitik Haru Selaksa Rindu”, jam session penuh cinta antara Bay dan Na, huhuuuuy…^_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun