Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Pernah Menguasai 2/3 Permukaan Bumi: Membongkar logika Sejarah Melalui Even RTC serta Kisah Sunan Kalijaga yang Terdistorsi

22 Agustus 2015   08:57 Diperbarui: 22 Agustus 2015   09:49 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan.

Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”

Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”

Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kita bertanya : “Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”

 

Tapi protes yang kedua tak pernah saya ungkapkan kepada siapapun. Penyebabnya sederhana saja, karena protes tersebut menyorot dua juri tamu RTC yang berlatar belakang penyair koran, sementara seperti yang kita mahfum, sastra Kompasiana jauh berbeda dengan sastra koran.

Ada potensi ketidak adilan dalam penjurian, pikir saya, yang akhirnya saya diamkan saja karena sadar itu adalah wewenang mutlak RTC sebagai penyelenggara even. Dan tugas saya bukanlah banyak berkoar menyerang apapun atau siapapun, melainkan terus berkarya dan berkarya dan berkarya. Kadang demi kemenangan, tak jarang hanya untuk meramaikan suasana sebab jika semua ingin menang dan menjadi pahlawan, lalu siapa yang akan memberi tepuk tangan dari pinggir jalan? ^_

Setelah dua hari bertegang ria demi menelusuri bentuk puisi koran, akhirnya muncratlah libido puisi saya, dalam bentuk “Tak Malukah Kau Mencuri Bendera?”, dengan gaya yang banyak berkelok dari model puisi yang biasa saya posting sebelumnya.

Hasilnya? Tetap saja menyisakan banyak ketidak puasan! Walau apresiasi kompasianer amat menggirangkan melalui kolom komen dan jumlah view terbanyak sekitar 800 lebih, namun ada luka di sana. Luka buah berpindah dari gaya lama yang curhatsentris menuju ranah kebaruan, hanya demi bisa memperoleh predikat ‘puisi koran yang beneran’ yang hingga kini timbul-menimbul begitu banyak tanya, tentang apa sebenarnya puisi atau bagaimana menulis puisi yang baik dan dianggap puisi, yang langsung menghujat saya dengan begitu banyak tanya tentangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun