Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Pernah Menguasai 2/3 Permukaan Bumi: Membongkar logika Sejarah Melalui Even RTC serta Kisah Sunan Kalijaga yang Terdistorsi

22 Agustus 2015   08:57 Diperbarui: 22 Agustus 2015   09:49 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

A tribute to: Ki Buyut Trader…^_

 

Oh, ternyata cara bikin puisi yang bagus itu harus banyak makna yang tersirat ya, Bang Mad, saya harus banyak belajar nih. Salam dan keren. Merdekaaaaa…! (#Bang Bo).

 

Itu salah satu komen yang tertempel di puisi “Merdeka Plenyun 300 Ribu” pada even puisi merdeka RTC kemarin, yang dengan agak slebor saya jawab,

“Cara bikin puisi yang baik bukan begitu, Bang Bo, melainkan: Kau jatuh cintalah, lalu putus dan terkaing-kaing kesepian hingga menjadikan tulisan sansak bagi kegetiran perasaanmu... *Eaaa...^_"

Tapi sebelum berbincang lebih jauh tentang puisi, saya ingin mengulas sedikit tentang sekelompok pegiat purbakala Indonesia, yang mengatakan bahwa berdasarkan tinggalan arkeologi yang ada, Indonesia Pernah Menguasai 2/3 Permukaan Bumi di masa lampau.

Sebagai orang yang pernah akrab dengan dunia Indiana Jones yang bergumul fosil dan artefak kuno, saya melihat klaim tersebut sangat unik, dengan tafsiran relief candi yang anti mainstream dibandingkan pendekatan yang dilakukan oleh arkeolog Indonesia, yang biasanya hanya berdasarkan data benda peninggalan sejarah semata.

Keunikan utama dari pegiat purbakala tersebut adalah cara mereka menafsirkan kemiripan gambar relief candi Indonesia dengan relief serta artefak kuno yang ada di berbagai penjuru dunia, dengan melibatkan literatur kuno seperti babad, serat juga suluk, yang memang amat berlimpah stoknya di negeri ini walau memang belum terlalu dihargai.

Ada cukup banyak kesalahan penafsiran yang mereka hasilkan, tapi anehnya beberapa perkiraan justru mengejutkan, seperti ditemukannya bangunan serupa piramid di Indonesia, yang selama ini jelas-jelas monopoli mutlak peradaban Mesir.

Kejadian ini mengingatkan pada artikel yang pernah saya buat saat baru ngempos pasca MOS kampus, mengkritisi tentang ‘Pengerjaan Pyramid Mesir dengan Ribuan Budak yang Dicambuk Seperti Romusha’ yang selama ini digadang-gadang sebagai teori paling unggul karya arkeolog luar yang memang pendekatan penelitiannya lebih berpaku pada data di lapangan.

Meminjam hukum qiyas, saya berlogika bahwa piramid sebagai tempat peristirahatan abadi Raja Fir’aun, tak akan pernah terlahir dari cambuk dan kekerasan. Banyak data yang menyebutkan betapa amat suburnya Mesir kuno waktu itu, yang membawa serta kemakmuran gila-gilaan bagi masyarakat yang tinggal di sana.

Efeknya? Fir’aun sebagai raja langsung didapuk causa prima bagi kemakmuran amat super tersebut, yang perlahan melahirkan kultus nan terus menggelembung hingga puncaknya membuat Fir’aun gatal untuk mendaulat diri sebagai tuhan.

Dan penghormatan terhadap sosok yang dikultuskan seringkali serupa keimanan, dimana rakyat akan habis-habisan memberi apapun yang terbaik bagi kultus mereka, termasuk juga pembuatan piramid, yang kemudian kita baca sebagai kuburan raja yang dikultus tersebut. Jadi logika tentang pembuatan piramid oleh budak yang kaki tangannya dirantai lalu menyeret bahan batu sambil dicambuk jelas merupakan kekeliruan yang amat fatal.

Jika masih ragu, sila tanya sendiri kepada bangsa Jepang yang menganggap kaisar mereka keturunan dewa, atau Rusia dengan Tsarnya, atau tak perlu jauh-jauh, cek langsung bagaimana ketulusan abdi dalem Kesultanan Cirebon yang masih bangga mengabdi di keraton, dengan hanya diberi gaji Rp. 15.000,-/bulan, karena kabarnya… mereka hanya mengharap berkah buah abdiannya tersebut…^_

Seperti yang telah diduga sebelumnya, artikel tersebut tak ada yang melirik. Tapi beberapa tahun kemudian arkeolog luar kembali mengeluarkan ‘fatwa’ yang ‘kebetulan memiliki beberapa kesamaan’ dengan artikel sekelas mahasiswa baru itu, menampar kesadaran saya bahwa benarkah tak ada yang hebat jika itu dari Indonesia? Yang walaupun dibuat dan atau ditemukan di Indonesia, harus dioper terlebih dahulu ke luar negeri untuk kemudian kembali ke Indonesia dengan sangat jumawa sebagai produk milik non Indonesia seperti paten kunyit oleh Jepang dan tempe oleh Malaysia?

Daripada banyak sedih, mending langsung nyemplung ke Even Puisi Merdeka RTC, Sob…^_

Pertama membaca infonya, kemerdekaan saya langsung protes. Dengan cara yang baik tentu saja…^_

Protes pertama tentang tema merdeka yang ‘seakan-akan’ dipenjara untuk ‘Merdeka positif berbalur semangat cinta tanah air’ yang langsung saya konsultasikan ke Admin RTC tak peduli saya kenal mereka atau tidak, sebab orang yang hanya berani memprotes kepada sosok yang dikenal atau sosok yang diperkirakan tak membalas saya pikir bukanlah orang yang berjiwa merdeka… *Tiiilll…^_

Tak ada yang salah dari peraturan lomba tersebut. Hanya saja setahu saya, sastrawan bukanlah penjilat munafik yang selalu menggadaikan fakta demi tujuan tertentu, melainkan cuma seseorang yang selalu tampil jujur dan apa adanya merekam zaman, yang diamini pula oleh Kang Pepih Nugraha selaku Ketua Erte Kompasiana dengan mengatakan bahwa fiksi seringkali jauh lebih jujur dari fakta.

Protes saya langsung ditanggapi Admin RTC, dengan membolehkan kritik sosial tentang Indonesia karena itupun, kata Wahyu Sapta selaku perwakilan Admin, adalah salah satu bentuk cinta tanah air pula...^_

Mari kita berburung merak sejenak bersama Rendra, dan mengutil-ngutil tentang benarkah kritik sosial adalah cinta tanah air, yang tentu saja amat berbeda dengan menghina berbalut alasan lamur sebagai mengkritisi…^_

Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini memeriksa keadaan.

Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”

Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”

Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kita bertanya : “Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”

 

Tapi protes yang kedua tak pernah saya ungkapkan kepada siapapun. Penyebabnya sederhana saja, karena protes tersebut menyorot dua juri tamu RTC yang berlatar belakang penyair koran, sementara seperti yang kita mahfum, sastra Kompasiana jauh berbeda dengan sastra koran.

Ada potensi ketidak adilan dalam penjurian, pikir saya, yang akhirnya saya diamkan saja karena sadar itu adalah wewenang mutlak RTC sebagai penyelenggara even. Dan tugas saya bukanlah banyak berkoar menyerang apapun atau siapapun, melainkan terus berkarya dan berkarya dan berkarya. Kadang demi kemenangan, tak jarang hanya untuk meramaikan suasana sebab jika semua ingin menang dan menjadi pahlawan, lalu siapa yang akan memberi tepuk tangan dari pinggir jalan? ^_

Setelah dua hari bertegang ria demi menelusuri bentuk puisi koran, akhirnya muncratlah libido puisi saya, dalam bentuk “Tak Malukah Kau Mencuri Bendera?”, dengan gaya yang banyak berkelok dari model puisi yang biasa saya posting sebelumnya.

Hasilnya? Tetap saja menyisakan banyak ketidak puasan! Walau apresiasi kompasianer amat menggirangkan melalui kolom komen dan jumlah view terbanyak sekitar 800 lebih, namun ada luka di sana. Luka buah berpindah dari gaya lama yang curhatsentris menuju ranah kebaruan, hanya demi bisa memperoleh predikat ‘puisi koran yang beneran’ yang hingga kini timbul-menimbul begitu banyak tanya, tentang apa sebenarnya puisi atau bagaimana menulis puisi yang baik dan dianggap puisi, yang langsung menghujat saya dengan begitu banyak tanya tentangnya.

 

Kebobrokan Persepsi bahwa Puisi hanyalah Permainan Diksi dan Rima Kata Semata.

Benarkah puisi hanya bersenjata diksi dan rima kata semata?

Di masa lampau mungkin iya. Tapi di era yang kini?

Sila singkap sendiri dengan karya Jokpin terbaru, lumayan buat teman sarapan…^_

 

MEJA MAKAN

Tubuhmu yang pulang

terbujur di atas meja makan.

Tubuh kenangan yang telah

mengarungi laut,

merambah hutan

 

Aku bersama dua temanku:

piring yang lapar,

gelas yang dahaga.

“Berilah kami susu

(suara sunyi) malam ini

dan kobarkan kopi kami.”

 

Gelas ternganga

mendengar kecipak ombak

dalam dadamu.

Piring terpana

mendengar gemericik sungai

dalam perutmu.

Dan bulan lahir kembar

di biru matamu.

 

Saya sajak tengah malam

yang diutus untuk melahap

tiga potong kata aduh

yang menggigil di bibirmu. (2014/2015)

 

Kerangkeng Steril bahwa Puisi Harus Berkubang Kata Lebay Bombay atau justru Wajib Adigang-Adigung-Adiluhung.

Kebetulan saya nemu skrinsyut puisi terbaru karya para petinggi sastra papan atas di laman Joni, yang kabarnya baru saja naik cetak dan masih panas berkebul. Langsung hirup hingga tetes yang terakhir, Sob…^_

 

KISAH KITA PERIHAL PUISI

: kepada agus jamal ariadinata

 

menyusuri jejak yang kau tinggalkan, aku menghaluskan

kata-kata menjadi sepasukan puisi dini hari. angka-

angka di kalender meja berguguran menjadi api, sunyi.

 

pada jendela pagi, masa lalu tak berlaku lagi, sehingga

di meja ini kutulis sebuah imajinasi. dan ketika

matahari mulai ada, biarkanlah ia menjadi puisi, abadi.

 

pada siang yang membelah pagi menjadi butiran kata

sebelum malam, kitapun bertemu. mencicipi sebuah

puisi, sampai aku dan kau ingin tidur dini hari.

 

sunyi atau abadi? di situ pilihan tak penting lagi.

keduanya bayangan yang piatu, sebelum lenyap menjadi

asap. lalu kupanjat puisi sampai sunyi tak datang lagi.

 

 

Atau karya almarhum Wiji Thukul, sosok yang raib ditelan kekuasaan…

 

PERINGATAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.

(Wiji Thukul, 1986)

 

Dengan beberapa contoh karya puisi di atas, saya pikir perdebatan tentang puisi harus seperti apa dan bagaimana menjadi tak lagi relevan. Hanya saja besar dugaan saya, setelah nada liris puitis nan amat ritmis yang dulu pernah menjadi simbol utama puisi banyak ‘dibajak’ oleh pegiat cerpen dan novel, puisi kembali memilih bentuknya sendiri, yang secara amat pribadi saya maknai sebagai pembongkaran logika kata bersandarkan kepada majas, dengan personifikasi sebagai pilihan yang paling favorit…^_

 

Membongkar Logika Sejarah: Kisah Sunan Kalijaga Yang Terdistorsi dan fenomena bully doa Yusuf Mansur.

Berbicara tentang bongkar-membongkar logika, saya teringat pergumulan seorang filsuf agamis negeri ini dengan para arkeolog muda dari UI dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda.

Dalam konferensi tersebut diceritakan bahwasanya bentuk candi yang ada di Jawa Timur itu umumnya kasar, sedangkan candi di Jawa Tengah jauh lebih halus. Kesemua candi itu dibangun dengan konsep Mandala yang bisa kita pelajari dalam agama Hindu.

Namun, di Jawa Barat, candi-candi tersebut seakan 'hilang' dan tersisa tak seberapa, digantikan dengan konsep Mandala yang ada di bentang alamnya, yang tidak lagi dizahirkan dalam bentuk candi, melainkan mengalami evolusi dari candi kasar ke candi halus lalu ke alam di sekitarnya, untuk kemudian diinternalisasikan ke dalam diri manusia oleh Haji Hasan Mustapa di berbagai puisi di bukunya.

Hal ini menegaskan konsep yang lazim dikenal kalangan para sufi ihwal alam semesta adalah makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmos, dan menjelaskan juga salah satu sebab kenapa di Jawa Barat tidak ada banyak candi. Jawa Barat itu negeri para dewa: Parahyangan, daerah bergunung-gunung tempat untuk ngahiang.

Dan hal itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena jauh sebelumnya Wali Sangapun kerap 'meminjam' berbagai elemen dari agama Hindu untuk mendakwahkan Islam. Maka ketika ada kabar banyak candi Hindu dihancurkan dan disembunyikan oleh 'muslim' –yang merujuk pula oleh Wali Sanga sebagai salah satu pelakunya- menjadikan kabar tersebut langsung bias.

Tidak mungkin Wali Sanga melakukan hal seperti itu, karena Haji Hasan Mustapa sebagai generasi penerusnyapun masih 'meminjam' khazanah Hindu dalam kitabnya, apalagi Wali Sanga." Namun itulah nasib sejarah Wali Sanga dalam tradisi lisan: 'banyak dituduh yang bukan-bukan, mulai dari sejarahnya yang bercampur dengan klenik dan takahyul, tuduhan merusak peninggalan agama-agama sebelumnya di Indonesia, hingga yang terakhir yaitu diragukan keberadaannya di tanah jawa oleh sekelompok agamawan yang buta sejarah.'

Masih ingat permainan menyampaikan pesan secara berantai dan di ujungnya, kita mendapati bahwa pesan tersebut telah terdistorsi jauh? Omongan bahwa Wali Sanga melakukan pencemaran akidah pun adalah omongan generasi baru buta sejarah yang menjadi korban doktrin import. Dalam doktrin tersebut, akidah bukanlah perkara "La illaha ilallah" tapi juga perkara menyebarkan cita-cita politik dan wajib mewujudkannya; bahkan segala perkara dalam hidup ini diakidahisasi secara politis.

Lalu kita dipaksa untuk percaya bahwa Sunan Kalijaga bisa menjadi wali dengan bertapa di pinggir kali menjaga tongkat Sunan Bonang, tanpa shalat, shaum dan kewajiban syariat lainnya. Dipaksa untuk tak berani membongkar logika sejarah yang kerdil, bahwa semua tak lebih dari sekedar simbol, majas juga metafor.

Bahwa 'sungai' di kisah Sunan Kalijaga sebenarnya merujuk pula kepada 'tajri min tahtihal anhar', alias 'sungai-sungai yang mengalir di surga'. Atau tongkat Sunan Bonang yang mengacu pada simbol yang sama dengan tongkat Nabi Musa. Belum lagi kisah Sunan Kudus membantai Syekh Siti Jenar dengan kerisnya, mengeplak nalar tentang kebenaran kisahnya ketika hanya dimaknai secara harfiah semata.

Mari kita membongkar logika sejarah dengan pendekatan literasi kuno yang umumnya bergaya puisi. Mana yang lebih berharga dari keris: Warangkanya, atau kerisnya?

Dalam khazanah Islam di tanah Jawa, wadah adalah simbol tubuh, dan keris simbol nafs atau jiwa. Dari sini kemudian dapat ditarik kesimpulan tentang tindakan Sunan Kudus yang sebenarnya kepada Syekh Siti Jenar.

Apakah membunuhnya? Jika saja kita sedikit paham perkara sapienza poetica dari Jean Claude Levi-Straus, kita akan lebih berhati-hati menafsirkan kisah tersebut. Apalagi jika kita menjadi orang bertaqwa yang dekat dengan ajaran Allah.

Telaah lebih lanjut bukanlah melalui kolom komen, melainkan silakan nyemplung sendiri di Perpustakaan Daerah Bandung, guna mengkaji banyak serat suluk Jawa peninggalan para sufi arif billah murid-muridnya Wali Sanga. Dan setelahnya, niscaya akan didapat kesan bahwa pasca Wali Sanga, Islam dan Jawa itu seperti tak terpisahkan.

Distorsi kisah Sunan Kalijaga ini pulalah yang kemudian kembali paradoks di kisah bully ‘Doa Yusuf Mansur’. Karena pengetahuan yang terbatas menjadikan begitu banyak orang hebat membully doa tersebut hanya berlandaskan kekerdilan pemahaman mereka akan konteks doa hanya secara harfiah semata, yang lalu dengan tergesa-gesa memaknai doa hanya sebagai ‘duduk diam sambil dzikir habis-habisan’ atau ‘hanya menancap hio atau sekedar mendawam haleluya berulang-ulang sambil membuka perkamen’ tanpa satupun efek fisik dan psikilogis dari begitu banyak dentum doa yang kita puja ke hadirat-Nya yang Maha Segalanya.

Bahkan karya sastra yang hanya interaksi manusia dengan manusiapun memiliki begitu banyak unsur intrinsik dan ekstrinsik di kandungan karyanya, apalagi doa, yang nyata-nyata perkhalwatan antara manusia dengan Penciptanya. Jadi, mari kita perbanyak belajar sejarah, melalui pendekatan sastra dan puisi salah satunya, agar kita tak lagi kerap gagap ketika ingin memaknai segalanya…^_

Bagaimana dengan kebenaran kabar tentang Indonesia yang Pernah Menguasai 2/3 Permukaan Bumi di masa lampau, serta konteks kabar tersebut dengan Even Puisi Merdeka Rumpies The Club?

Jika benar-benar ingin mengetahui jawabannya, silakan berkeliling di begitu banyak karya peserta even, niscaya akan kau temui keseragaman tema yang beredar di puisinya: Tentang Indonesia yang terluka dan tak lagi mirip dengan Indonesia yang pernah kita kenal dahulu, dengan tetap menyematkan begitu banyak harapan bagi kejayaannya di masa mendatang. Tentu saja setelah sebelumnya bersama kita seka luka yang ada –dan menampol para penyebab luka tersebut- untuk selanjutnya terus berkarya tanpa jeda, hanya demi Indonesia yang kembali berjaya…!!!

Semua ada trend dan masanya.

Serba India, musik, film dan lain-lain… pernah.
Serba Mandarin (Taipei?)… pernah.
Jepang… udah.
Korea… ho-oh.
Turki… idem.
Malaysia dahulu sekali juga pernah... dengan Isabella-nya yang pernah menjadi super-duper hits…^_

Tinggal masalah waktu untuk Indonesia mendunia. Saat ini baru rendang yang dinobatkan sebagai "world most delicious food" slurrpppp. Baru Borobudur, baru Bali dengan segala prosesi etniknya. Baru hijau pepohon dan kebebasan menyetir perempuan Indonesia yang mengejutkan sekaligus menggiurkan dunia Arab. Baru lomba kemerdekaannya yang terkesan remeh dan penuh pro-kontra namun menyulut hasrat para bule seperti yang direkam kompasianer Gordi. Baru juara olimpiade eksaktanya. Juga baru karya sastra yang dibegal penguasa lama namun terus-menerus menjadi kandidat penerima nobel sastra. Baru…

Dari puisi even RTC yang saya baca sebanyak 60 % dari total jumlah peserta saja, saya menduga bahwa tak lama lagi tak akan cuma lahir penyair berkualitas dari Kompasiana, melainkan: Meledak, dan banyak. Penyebabnya hanya satu: Dengan otodidak dan tanpa banyak belajar serius saja karya fiksianer sudah begitu menakjubkan, apalagi jika semasing mereka kemudian lebih gigih menggali puisi hingga tak lagi sekedar puisi. Tinggal siap-siap saja para petinggi Kompasiana menyediakan estafet ruang terus-menerus hingga antri bagi bedah buku karya mereka…^_

Puisi adalah pencarian pribadi, dengan setiap orang bertanggung jawab atas pencarian di kedalaman dirinya sendiri. Bahkan guru dan buku teoripun hanya bisa berbagi pengalamannya, tetapi tidak pada hasilnya…^_

Jangan pernah sekalipun berpikir bahwa puisi adalah dagangan yang tak laku, karena itu adalah luka masa lalu. Karena di masa yang serba digital ini, ada begitu banyak cara untuk menjadikan secarik puisi melanglang buana, dan menjadikan Indonesia benar-benar menguasai 2/3 dunia. Karena membuat puisi, walaupun kerap terasa begitu sulit, tetap saja jauh lebih cepat daripada membangun sebuah candi. Dan semoga ketika itu terjadi, warga dunia tak lantas mengira bahwa orang Indonesia sama persis seperti tipikal yang banyak muncul di sinetron dalam negeri: Lebay, alay, melambay, hiks…

Terus, siapa lu, Bro, berani-beraninya bicara segala macam? Kyai? Penyair besar? Sastrawan lintas zaman? Kompasianer kawakan? Admin RTC? Pak Erte?

Sambil menyeruput kopi dengan amat nikmat saya menjawab, bahwa saya hanyalah sosok blur yang berdiri di tepi jalan sambil bersiap menepuk tangan paling hingar ketika ada pahlawan puisi atau pahlawan apapun juga yang melintas. Karena tak semua orang mampu untuk menjadi pahlawan. Karena tak semua mau hanya menjadi penepuk tangan. Dan sayalah yang terakhir itu, yang akan terus menunggu untuk menepukkan tangan hingga ke titik yang paling bising ketika mulai ada satu-dua pahlawan Indonesia yang melintas, yang akan mencoba untuk terus bertepuk tangan hingga memar tatkala pahlawan yang melintas kelak berlipat ganda menjadi sepuluh atau seratus… juta orang Indonesia, dengan karyanya masing-masing yang membanggakan…^_ Karena saya:

 

adalah artikel pagi hari

yang terlahir efek meneguk secawan kopi

dan diutus untuk mencecap begitu banyak kata sakti

yang tertahan dicangkir puisi yang masih enggan kau produksi

 

Mari berpuisi, mari mengopi, salam hangat…^_

 

Secangkir Kopi Even Puisi Merdeka RTC, Kompasiana-015.

Sumber penguat posting: #W.S. Rendra, #Joni A, #Jokpin, Wiji T, #Orin, #Alfathri A, #Purnama T, thank's before n after...^_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun