Dengan beberapa contoh karya puisi di atas, saya pikir perdebatan tentang puisi harus seperti apa dan bagaimana menjadi tak lagi relevan. Hanya saja besar dugaan saya, setelah nada liris puitis nan amat ritmis yang dulu pernah menjadi simbol utama puisi banyak ‘dibajak’ oleh pegiat cerpen dan novel, puisi kembali memilih bentuknya sendiri, yang secara amat pribadi saya maknai sebagai pembongkaran logika kata bersandarkan kepada majas, dengan personifikasi sebagai pilihan yang paling favorit…^_
Â
Membongkar Logika Sejarah: Kisah Sunan Kalijaga Yang Terdistorsi dan fenomena bully doa Yusuf Mansur.
Berbicara tentang bongkar-membongkar logika, saya teringat pergumulan seorang filsuf agamis negeri ini dengan para arkeolog muda dari UI dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda.
Dalam konferensi tersebut diceritakan bahwasanya bentuk candi yang ada di Jawa Timur itu umumnya kasar, sedangkan candi di Jawa Tengah jauh lebih halus. Kesemua candi itu dibangun dengan konsep Mandala yang bisa kita pelajari dalam agama Hindu.
Namun, di Jawa Barat, candi-candi tersebut seakan 'hilang' dan tersisa tak seberapa, digantikan dengan konsep Mandala yang ada di bentang alamnya, yang tidak lagi dizahirkan dalam bentuk candi, melainkan mengalami evolusi dari candi kasar ke candi halus lalu ke alam di sekitarnya, untuk kemudian diinternalisasikan ke dalam diri manusia oleh Haji Hasan Mustapa di berbagai puisi di bukunya.
Hal ini menegaskan konsep yang lazim dikenal kalangan para sufi ihwal alam semesta adalah makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmos, dan menjelaskan juga salah satu sebab kenapa di Jawa Barat tidak ada banyak candi. Jawa Barat itu negeri para dewa: Parahyangan, daerah bergunung-gunung tempat untuk ngahiang.
Dan hal itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena jauh sebelumnya Wali Sangapun kerap 'meminjam' berbagai elemen dari agama Hindu untuk mendakwahkan Islam. Maka ketika ada kabar banyak candi Hindu dihancurkan dan disembunyikan oleh 'muslim' –yang merujuk pula oleh Wali Sanga sebagai salah satu pelakunya- menjadikan kabar tersebut langsung bias.
Tidak mungkin Wali Sanga melakukan hal seperti itu, karena Haji Hasan Mustapa sebagai generasi penerusnyapun masih 'meminjam' khazanah Hindu dalam kitabnya, apalagi Wali Sanga." Namun itulah nasib sejarah Wali Sanga dalam tradisi lisan: 'banyak dituduh yang bukan-bukan, mulai dari sejarahnya yang bercampur dengan klenik dan takahyul, tuduhan merusak peninggalan agama-agama sebelumnya di Indonesia, hingga yang terakhir yaitu diragukan keberadaannya di tanah jawa oleh sekelompok agamawan yang buta sejarah.'
Masih ingat permainan menyampaikan pesan secara berantai dan di ujungnya, kita mendapati bahwa pesan tersebut telah terdistorsi jauh? Omongan bahwa Wali Sanga melakukan pencemaran akidah pun adalah omongan generasi baru buta sejarah yang menjadi korban doktrin import. Dalam doktrin tersebut, akidah bukanlah perkara "La illaha ilallah" tapi juga perkara menyebarkan cita-cita politik dan wajib mewujudkannya; bahkan segala perkara dalam hidup ini diakidahisasi secara politis.
Lalu kita dipaksa untuk percaya bahwa Sunan Kalijaga bisa menjadi wali dengan bertapa di pinggir kali menjaga tongkat Sunan Bonang, tanpa shalat, shaum dan kewajiban syariat lainnya. Dipaksa untuk tak berani membongkar logika sejarah yang kerdil, bahwa semua tak lebih dari sekedar simbol, majas juga metafor.