Tinggal masalah waktu untuk Indonesia mendunia. Saat ini baru rendang yang dinobatkan sebagai "world most delicious food" slurrpppp. Baru Borobudur, baru Bali dengan segala prosesi etniknya. Baru hijau pepohon dan kebebasan menyetir perempuan Indonesia yang mengejutkan sekaligus menggiurkan dunia Arab. Baru lomba kemerdekaannya yang terkesan remeh dan penuh pro-kontra namun menyulut hasrat para bule seperti yang direkam kompasianer Gordi. Baru juara olimpiade eksaktanya. Juga baru karya sastra yang dibegal penguasa lama namun terus-menerus menjadi kandidat penerima nobel sastra. Baru…
Dari puisi even RTC yang saya baca sebanyak 60 % dari total jumlah peserta saja, saya menduga bahwa tak lama lagi tak akan cuma lahir penyair berkualitas dari Kompasiana, melainkan: Meledak, dan banyak. Penyebabnya hanya satu: Dengan otodidak dan tanpa banyak belajar serius saja karya fiksianer sudah begitu menakjubkan, apalagi jika semasing mereka kemudian lebih gigih menggali puisi hingga tak lagi sekedar puisi. Tinggal siap-siap saja para petinggi Kompasiana menyediakan estafet ruang terus-menerus hingga antri bagi bedah buku karya mereka…^_
Puisi adalah pencarian pribadi, dengan setiap orang bertanggung jawab atas pencarian di kedalaman dirinya sendiri. Bahkan guru dan buku teoripun hanya bisa berbagi pengalamannya, tetapi tidak pada hasilnya…^_
Jangan pernah sekalipun berpikir bahwa puisi adalah dagangan yang tak laku, karena itu adalah luka masa lalu. Karena di masa yang serba digital ini, ada begitu banyak cara untuk menjadikan secarik puisi melanglang buana, dan menjadikan Indonesia benar-benar menguasai 2/3 dunia. Karena membuat puisi, walaupun kerap terasa begitu sulit, tetap saja jauh lebih cepat daripada membangun sebuah candi. Dan semoga ketika itu terjadi, warga dunia tak lantas mengira bahwa orang Indonesia sama persis seperti tipikal yang banyak muncul di sinetron dalam negeri: Lebay, alay, melambay, hiks…
Terus, siapa lu, Bro, berani-beraninya bicara segala macam? Kyai? Penyair besar? Sastrawan lintas zaman? Kompasianer kawakan? Admin RTC? Pak Erte?
Sambil menyeruput kopi dengan amat nikmat saya menjawab, bahwa saya hanyalah sosok blur yang berdiri di tepi jalan sambil bersiap menepuk tangan paling hingar ketika ada pahlawan puisi atau pahlawan apapun juga yang melintas. Karena tak semua orang mampu untuk menjadi pahlawan. Karena tak semua mau hanya menjadi penepuk tangan. Dan sayalah yang terakhir itu, yang akan terus menunggu untuk menepukkan tangan hingga ke titik yang paling bising ketika mulai ada satu-dua pahlawan Indonesia yang melintas, yang akan mencoba untuk terus bertepuk tangan hingga memar tatkala pahlawan yang melintas kelak berlipat ganda menjadi sepuluh atau seratus… juta orang Indonesia, dengan karyanya masing-masing yang membanggakan…^_ Karena saya:
Â
adalah artikel pagi hari
yang terlahir efek meneguk secawan kopi
dan diutus untuk mencecap begitu banyak kata sakti
yang tertahan dicangkir puisi yang masih enggan kau produksi