Bahwa 'sungai' di kisah Sunan Kalijaga sebenarnya merujuk pula kepada 'tajri min tahtihal anhar', alias 'sungai-sungai yang mengalir di surga'. Atau tongkat Sunan Bonang yang mengacu pada simbol yang sama dengan tongkat Nabi Musa. Belum lagi kisah Sunan Kudus membantai Syekh Siti Jenar dengan kerisnya, mengeplak nalar tentang kebenaran kisahnya ketika hanya dimaknai secara harfiah semata.
Mari kita membongkar logika sejarah dengan pendekatan literasi kuno yang umumnya bergaya puisi. Mana yang lebih berharga dari keris: Warangkanya, atau kerisnya?
Dalam khazanah Islam di tanah Jawa, wadah adalah simbol tubuh, dan keris simbol nafs atau jiwa. Dari sini kemudian dapat ditarik kesimpulan tentang tindakan Sunan Kudus yang sebenarnya kepada Syekh Siti Jenar.
Apakah membunuhnya? Jika saja kita sedikit paham perkara sapienza poetica dari Jean Claude Levi-Straus, kita akan lebih berhati-hati menafsirkan kisah tersebut. Apalagi jika kita menjadi orang bertaqwa yang dekat dengan ajaran Allah.
Telaah lebih lanjut bukanlah melalui kolom komen, melainkan silakan nyemplung sendiri di Perpustakaan Daerah Bandung, guna mengkaji banyak serat suluk Jawa peninggalan para sufi arif billah murid-muridnya Wali Sanga. Dan setelahnya, niscaya akan didapat kesan bahwa pasca Wali Sanga, Islam dan Jawa itu seperti tak terpisahkan.
Distorsi kisah Sunan Kalijaga ini pulalah yang kemudian kembali paradoks di kisah bully ‘Doa Yusuf Mansur’. Karena pengetahuan yang terbatas menjadikan begitu banyak orang hebat membully doa tersebut hanya berlandaskan kekerdilan pemahaman mereka akan konteks doa hanya secara harfiah semata, yang lalu dengan tergesa-gesa memaknai doa hanya sebagai ‘duduk diam sambil dzikir habis-habisan’ atau ‘hanya menancap hio atau sekedar mendawam haleluya berulang-ulang sambil membuka perkamen’ tanpa satupun efek fisik dan psikilogis dari begitu banyak dentum doa yang kita puja ke hadirat-Nya yang Maha Segalanya.
Bahkan karya sastra yang hanya interaksi manusia dengan manusiapun memiliki begitu banyak unsur intrinsik dan ekstrinsik di kandungan karyanya, apalagi doa, yang nyata-nyata perkhalwatan antara manusia dengan Penciptanya. Jadi, mari kita perbanyak belajar sejarah, melalui pendekatan sastra dan puisi salah satunya, agar kita tak lagi kerap gagap ketika ingin memaknai segalanya…^_
Bagaimana dengan kebenaran kabar tentang Indonesia yang Pernah Menguasai 2/3 Permukaan Bumi di masa lampau, serta konteks kabar tersebut dengan Even Puisi Merdeka Rumpies The Club?
Jika benar-benar ingin mengetahui jawabannya, silakan berkeliling di begitu banyak karya peserta even, niscaya akan kau temui keseragaman tema yang beredar di puisinya: Tentang Indonesia yang terluka dan tak lagi mirip dengan Indonesia yang pernah kita kenal dahulu, dengan tetap menyematkan begitu banyak harapan bagi kejayaannya di masa mendatang. Tentu saja setelah sebelumnya bersama kita seka luka yang ada –dan menampol para penyebab luka tersebut- untuk selanjutnya terus berkarya tanpa jeda, hanya demi Indonesia yang kembali berjaya…!!!
Semua ada trend dan masanya.
Serba India, musik, film dan lain-lain… pernah.
Serba Mandarin (Taipei?)… pernah.
Jepang… udah.
Korea… ho-oh.
Turki… idem.
Malaysia dahulu sekali juga pernah... dengan Isabella-nya yang pernah menjadi super-duper hits…^_