Tentu saja tidak dengan serius karena pertama, saya cuma merasa risih dengan ucapannya yang seperti pedagang itu, dan ingin cepat membuatnya diam. Dan kedua, saat itu dia memang tengah berminat untuk membahas ‘sex after lunch’ yang kebetulan tengah nge-trend di kalangan menengah.
Tapi bukan itu yang membuat Si Eksentrik terlihat begitu berharga di mata saya. Karena jika untuk hanya begitu, saya tak perlu repot-repot bertelepon ria dengan begitu intens-nya. Karena dalam Dunia Bayangan, terlalu banyak petualangan yang sama dan sebangun, yang bahkan mungkin lebih hidup atau lebih bernyali dari sekedar yang dialami bersama Si Nona Eksentrik ini. Dengan kelas yang jauh lebih tinggi, atau justru dengan sosok yang tak bisa masuk kategori kelas sama sekali!
Dari Si Eksentriklah saya justru mendapatkan begitu banyak pencerahan yang berharga. Dari dia saya jadi tahu bahwa ternyata, tak semua borju tergabung dalam kelompok orang-orang yang cuma ‘Kebetulan Berada dalam Bank Sperma yang Beruntung’, yang hanya mampu petantang-petenteng dengan segala fasilitas bawaan, dan setelahnya sekedar menjelma wayang yang harus menurut ke manapun sang ortu mengarahkannya.
Dari dia pula saya menyadari tentang pentingnya untuk selalu berpikir secara logis: Tentang semua hal!
Bahwa harus selalu ada alasan juga jawaban untuk setiap kejadian -juga tindakan- bahkan walau mungkin cuma sekedar keinginan sekalipun. Dan hal itu tentu saja amat berpengaruh buat saya, terutama saat bertahun-tahun setelahnya, dimulailah agresi bisnis saya secara total. Walau lucunya, logika template yang dia punya kerapkali saya rasakan terlalu luas hingga meleber dan tumpah ruah ke mana-mana.
Hampir setiap apapun dia tanya, dia bahas, dia kemukakan, dan tentunya dia diskusikan hingga ke detil yang paling mungil. Mulai dari masalah kantung mata, hingga (maaf) posisi yang kira-kira paling nge-klik saat ML. Juga tentang bagaimana seharusnya menyikapi dan atau bertindak secara pribadi guna mengurangi cacat negara yang melahirkan begitu banyak Komunitas Dhuafa.
Bahkan tentang masalah hati dan cintanyapun ia kupas tuntas, yang walaupun tak pernah memusingkan saya mengingat stok kekayaan bathin yang ada dalam Dunia Bayangan ternyata cukup mumpuni untuk menuntaskan nyaris semua hal, namun kerap membuat saya bingung dan terkeder-keder tentang cara menyampaikannya, tanpa saya harus bersikap sarkas, monoton atau amat menyebalkan.
Begitu riuhnya logika template yang dia sodorkan kepada saya, yang membuat saya memberinya sebutan kesayangan khusus, “Bocah...” Karena dia memang tak ubahnya bocah yang terus merengek kehausan tentang apapun, dan menjadikan saya layaknya ‘Emak-emak’ berbibir keriting karena harus terus me-wasweswos-kan apapun demi buah hati itu nyaman dan terlelap dalam buaian.
Mungkin karena hal itu pula dia sering sambil bercanda memanggil saya, “Emaa...k...” Tentu tanpa huruf ‘k’, dan tentu pula dengan intonasi serta warna suara terindah yang pernah saya terima.
Dari Si Eksentrik ini saya belajar, betapa pentingnya memiliki karakter yang kuat, yang dalam banyak deal yang saya lakukan dalam bisnis, memposisikan saya sebagai pribadi yang pantas dipercaya, bahkan saat baru mulai bersalaman dan membicarakan prakata!
Dari Si Eksentrik ini pula saya belajar, bahwa bersikap tegas bukan berarti melepaskan kontrol sama sekali. Juga inspirasi untuk jangan pernah berpuas diri dengan apapun yang telah dimiliki. Walau tentu bukan berarti tidak mensyukuri.