Tapi saya dan Na tetap saja hanya berteman, walaupun segala yang dia punya –juga wajah dan posturnya yang ‘sangat mengena’- menjadikan ‘hanya’ tersebut mudah goyah serta cepat meleyot ke mana-mana. Karena -bagaimanapun juga, Na adalah sisi lain. Sisi lain yang tak pernah saya temukan dalam diri Mulan. Sisi lain yang begitu saya suka dan amat saya inginkan.
Saya optimis dapat memenangkan hati Na. Bukan karena saya pengumpul terbesar dari ‘Kiat Mudah Menarik Hati Wanita ala Si Bay’ tadi, yang tentu jauh lebih mumpuni serta paham harus bagaimana bereaksi saat terjadi paradoks dan anomali. Melainkan karena saya melakukan semuanya: Dari hati, dan bukan sekedar mempraktekkan sebuah teori secara basi dengan keyakinan yang super mini!
Seperti yang telah saya perkirakan sebelumnya, saya telah sangat memenangkan hati Na, bahkan jauh waktu sebelum timbul minat saya menjadikannya orang terdekat.
Mulan yang cerita. Karena tempat kost mereka tak berjarak lama. Dan jejaring antar kampus tentu saja menyulap informasi hingga beredar ke mana-mana dengan sendirinya, seakan angin meniupnya begitu saja ke setiap telinga yang masih punya rantai yang sama.
Dan wajah serta suara Mulan yang begitu tak ceria, juga proyeksi-proyeksi lainnya dari keseluruhan diri Mulan yang saya maknai sebagai sebuah kesedihan, memaksa saya untuk terus saja mengulangi kebodohan saya, seperti yang pernah Mulan lakukan sebelum ini, yang juga masih akan terus Mulan lakukan setelahnya, dan menjadikan saya laiknya keledai dungu yang tak pernah mampu untuk melanjutkan hidup.
Mulan yang seakan baru menemukan ajaran Muhammad, begitu ramai dan riuhnya dengan segala macam teori tentang haramnya berpacaran, yang cuma saya maknai dengan tak pernah mendengar cambuk atau rajam dijatuhkan, kecuali terhadap mereka yang melakukan ‘masuknya timba ke dalam sumur’.
Mulan yang terus berkeras bahwa itu adalah ‘larangan mutlak’, membuat saya yang tetap menganggap ‘cuma pencegahan yang paling bijak’ menjadi mengalah. Sebab jika buat Mulan, apa sih yang tidak saya beri dan lakukan...?!
Saya yang mengalah, turut mengamini keharaman pacaran. Imbasnya? Hubungan kami harus dilegalkan, atau jika tidak bisa: Dibubarkan! Dan saat kakak tertuanya yang Direktur Borju itu tak setuju, maka selesailah semua: Dengan sangat berdarah-darah, tentu saja...!!!
Sebulan lebih kesehatan saya terganggu, dengan sakit pikiran yang meng-endemik berbulan-bulan pasca kejadiannya. Karena cinta tak terhingga yang ada dan telah amat lama menetap dengan amat mantap, seringkali menjadi bumerang ketika dipaksa untuk hilang secara tiba-tiba. Walau sayapun  mendengar bahwa Mulan, mengalami hal yang serupa. Hanya saja hingga kisah ini dibuat, saya masih suka bertanya-tanya sendiri.
Akankah persoalannya menjadi lain sama sekali, jika saja waktu itu Mulan telah terlebih dulu bunting dan membesarkan anak saya dalam rahimnya? Karena yang saya tahu, seringkali zina LEBIH TERHARGAI dan LEBIH ‘TERPILIH’ menjadi solusi, dari sekedar mati-matian memegang erat dogma, yang entah kenapa dengan susah payah terus saja diupayakan kesakralan dan keagungannya, dengan janji Dunia Utopia Abadi setelah manusia tak lagi ada di dunia yang ini...
Pernah Mulan meminta untuk kami menikah tanpa catatan sipil, hanya demi legal di mata Tuhannya. Namun saya tak melakukannya. Karena selain masalah hukum, saya lebih ingin memiliki Mulan secara sempurna. Tanpa sedikitpun kesan ‘pencurian’ serta siasat-siasat agama yang lainnya.