Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revisi Kecil-kecilan di Dunia Pendidikan, Agresi Besar-besaran di Dunia Bisnis

7 Juli 2015   03:25 Diperbarui: 7 Juli 2015   03:25 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Logika terbalik yang aneh.

Adakah dunia yang lebih kusam dan rancu dari Dunia Aneh Si Bayangan?

Ada.

Dan itu adalah dunia pendidikan di Indonesia...!

 

Sebuah komentar pahit yang cukup menggigit, yang tentu saja tidak akan terlahir dari keluarga besar pegawai dinas pendidikan yang barangkali telah sangat nyaman menikmati beragam fasilitas dan rupiah yang termaktub dibalik deret NIP mereka, yang secara otomatis membawa serta pula segala aturan sebagai konsekuensi profesi yang harus mereka junjung tinggi.

Tapi percayalah bahkan Sosok Bayangan seperti sayapun dapat menghirup begitu banyak aroma tak sedap yang terhambur dari dunia pintar itu, yang dengan sangat terpaksa akan sedikit saya bagi sebagai sebuah otokritik terhadap dunia yang pernah begitu lekat dengan hidup saya tersebut. Begini ceritanya…^_

Ketika kecurangan dan praktek ‘pelegalan’ mencontek pada era UAS/UAN  (sekarang UN-Red.) mencuat dan mengisi berbagai media televisi negeri ini, saya cuma bisa melongo dan menggeleng-gelengkan kepala sendiri. Alangkah gegabahnya Komunitas Air Mata Guru, hingga begitu berani menyuarakan kusamnya potret pendidikan di negeri ini seakan-akan sistem pendidikan bisa langsung berubah hanya karena satu atau dua kasus saja.

Saya tahu praktek kecurangan itu memang ada dan benar-benar terjadi, sejak tahun-tahun pertama dimulainya UN...!!! Bahkan yang lebih mengejutkan dan terutama sekali: Memprihatinkan, kenyataan bahwa mayoritas sekolah ternyata memiliki tim sukses yang berfungsi sebagai penjamin kelulusan siswa di sekolah mereka mendekati 100%. Tak peduli apakah itu di sekolah negeri, swasta, sekolah miskin, kaya, bahkan juga sekolah-sekolah yang berbasis agama.

Dan tugas para tim sukses itu sederhana saja. Mereka hanya mengumumkan sebelum ujian agar siswa hanya mengisi maksimal 10 soal ujian saja, dan selebihnya akan diselesaikan oleh para petugas tersebut. Tak ada lembar jawaban yang rusak, kotor atau mencurigakan, juga tak ada hiruk-pikuk yang lainnya. Semudah itu. Dan semua praktek tak mendidik yang dilakukan oleh para oknum pendidik di lokasi yang katanya masih menjadi pusat kegiatan pendidikan itu, dilakukan semata-mata agar kredibilitas dan nama baik sekolah mereka tetap terjaga. Yang ujung-ujungnya tetap saja agar pabrik mereka terus bisa diminati oleh calon klien, yang berarti aliran dana pendidikan sebagai darah organisasi menjadi lancar dan terus mengalir.

Tak berhenti sampai di situ, saya juga tahu bahwa PKBM yang katanya menjadi alternatif tempat belajar masyarakat di luat lembaga formal, tak lebih dari sekedar ‘warung penjaja’ ijazah penyetaraan. Paket A sekian rupiah. Paket B yang setara pendidikan tingkat SMP dengan jumlah rupiah yang berbeda. Sementara untuk paket C, kebanyakan dari mereka hanya melayani program sosial/IPS saja, yang saya yakin karena hanya pada program tersebutlah mereka memiliki ‘dalang’ yang mampu membuat 100% siswa lulus. Baik itu siswa yang rajin mengikuti bimbingan dan tutorial yang telah dijadwalkan, maupun siswa yang hanya sesekali saja mengikutinya namun dengan enteng membayar lunas di muka untuk semua beban biaya yang telah ditetapkan. Tentu saja yang saya maksud adalah PKBM nakal yang kemudian mendapat gelar oknum. Hanya saja prosentasi yang terlalu besar dari jumlah oknum tersebut membuat saya tak yakin masih adakah PKBM yang bukan oknum...?

Atau dengan besaran rupiah yang jauh lebih kecil dari uang pendaftaran SMU Negeri yang isunya gratis itu –walau tentu isu tersebut tetap saja isu pada sebagian besar lokasi- saya dapat menunjukkan dimana bisa memperoleh ijazah SMU, yang tentu saja terjamin keasliannya...! yang ,sekali lagi, boleh kau peroleh tanpa perlu berlelah-lelah sekolah juga tanpa harus terbebani dengan biaya SPP, buku paket serta biaya ini-itu yang lainnya.

Akta mengajar IV untuk para guru? Dengan gratis saya bisa mendapatkannya. Apa susahnya? Cukup satu kali menghubungi salah satu rekan yang cuma menjadi petinggi di sebuah Ormas Partai Anu, maka bereslah semua, tanpa perlu rancu dan bebeliet sama sekali.

Yang paling membuat saya bingung barangkali cuma tentang penyelenggaraan sebuah jenjang institusi pendidikan yang bernama: PAUD. Saya berbaik sangka bahwa kebingungan saya jelas berdasarkan keawaman saya tentang hal itu. Sebuah keawaman yang teramat sering menghasut saya untuk bertanya, apa sebenarnya fungsi dan tujuan dibentuknya lembaga tersebut. Apakah institusi tersebut berada di bawah jenjang TK? Setara? Di atasnya? Tapi mengapa saya melihatnya sama persis dengan TK? Barangkali PAUD cuma bentuk lain dari TK yang murah dan terjangkau untuk masyarakat, ucap saya lagi dalam hati dengan tetap mencoba berkhusnudzon. Tapi benarkah...?

Saya jelas tahu bahwa di awal kemunculannya, PAUD jauh lebih murah, bahkan jika dibandingkan dengan TK yang paling murah sekalipun. Betapa tidak? Dengan penyelenggaraan yang umumnya dilakukan di Sekretariat RW, mereka hanya mengutip biaya pendidikan seikhlasnya dari siswa.

Pernah saya dengar mereka hanya mengutip biaya belajar Rp. 100,- perhari, yang kemudian disesuaikan menjadi Rp. 500,- dan atau Rp. 1000,- per minggu. Hanya saja campur tangan pemerintah pada program belajar jenjang usia dini tersebut terus saja membuat PAUD seperti tak bosan-bosannya menyesuaikan diri.

Kekhawatiran karena pengajar PAUD awalnya murni dari Ibu-ibu PKK yang peduli terhadap pendidikan, yang secara umum asing terhadap segala macam tentang kognitif, afektif serta entah akhiran ‘if’ apalagi yang lainnya, yang cukup penting dalam penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini, yang jelas-jelas lebih bersifat khusus jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan di atasnya, dalam waktu yang tak lama menjadikan begitu banyak universitas yang membuka program tersebut di kampus mereka. Dan selanjutnya... mengucurlah kran uang dari pemerintah, yang barangkali saja untuk menunjukkan kesensitifan mereka terhadap aspirasi masyarakat, dalam hal ini dunia pendidikannya.

Dengan hanya menyediakan tempat berukuran 10 X 10 meter plus beberapa prosedural lainnya yang standard, dana dari pemerintah sebesar Rp. 25.000.000,- (data waktu pembuatan artikel ini-Red) langsung siap untuk dicairkan. Dan ketika biaya belajar PAUD yang dibebankan kepada siswa terus meningkat jumlahnya buah penyesuaian yang dilakukan, menimbulkan sebuah wacana baru tentang perlu atau tidaknya para guru PAUD tersebut memperoleh gaji dan atau tunjangan dari pemerintah, dan sebagainya dan sebagainya yang entah akan menuju kemana akhir kisahnya.

Barangkali saja dikemudian hari akan terbentuk sebuah PAUD Negeri, atau PAUD Percontohan, seperti yang saat ini saya temui pada Institusi TK. Dan hingga hal itu terjadi, barangkali saja saya akan tetap tidak paham apa bedanya PAUD dengan TK, baik dari segi metodologi pengajarannya maupun dari biaya penyelenggaraannya. Dan mungkin juga saya akan tetap tidak paham mengapa untuk sebuah jenjang pendidikan yang relatif sama dan berdekatan, harus memiliki bentuk yang berbeda...?

Belum lagi masalah etika, saat saya kembali tak habis pikir mendengar cerita siswa wanita sebuah sekolah menengah yang dihukum bergoyang ngebor ala Inul di depan kelas, yang bahkan dalam jagad hiburan yang jelas-jelas memang tempat untuk bergoyangpun masih kerap menjadi kontroversi.

Atau tentang suap nilai, mulai dari besaran rupiah terkecil untuk setiap mata pelajaran hingga tukar guling antara siswa dengan guru untuk memperoleh peringkat terbaik. Siswa wanita, tentunya. Gurunyapun jelas guru pria. Dengan alat tukar guling yang bukan rupiah, yang saya sendiri bahkan tak berani menyebutkannya secara gamblang dalam tulisan ini. Serta banyak lagi informasi tak membanggakan lainnya tentang dunia pendidikan di negeri ini, yang sekali lagi saya yakinkan bahwa semua itu bukanlah sekedar sensasi atau ilusi yang terlahir dari halusinasi.

“Darimana lo tahu semua itu, Bayangan...?”

Hehehe... Saya tahu semuanya karena kebetulan saya adalah orang yang pernah ngampus di UI dan ngantor tepat di depan Kasi pendidikan. Dan salah satu kantor saya yang terletak di kompleks pendidikan negeri yang cukup ternama di Jakarta, menjadikan nomor telepon kantor saya sering kali disasari oleh informasi tentang dana pemerintah dan juga informasi lainnya yang berkaitan dengan dunia pendidikan.

Dan dengan pengguna jasa saya yang berasal lebih dari 25 institusi formal dengan beragam latar belakang, menjadikan informasi tersaji seperti secangkir kopi yang terus saja saya hirup dengan nikmatnya. Ditambah kebijakan saya yang memposisikan diri untuk nyaris secara 24 jam membuka diri terhadap segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupan seluruh siswa dan juga keluarga mereka, menjadikan saya sebagai satu-satunya shelter tempat bertanya tentang hampir semua hal. Entah itu peluang, terlebih lagi kendala. Walau untuk yang terakhir selalu saya tekankan bahwa semua advise yang saya berikan adalah mutlak pendapat pribadi, yang apabila digunakan oleh mereka, maka segala konsekuensi yang mungkin berpotensi terjadi dan akan mereka terima adalah murni pilihan dan tanggung jawab mereka sendiri. Walau bukan berarti dengan cara itu saya melepaskan diri seratus persen dari pilihan mereka.

Saya tahu semuanya karena mungkin juga secara kebetulan saya memiliki tampang mahasiswa abadi. Bahkan hingga saat-saat terakhir keaktifan saya, tak ada yang pernah menduga bahwa saya adalah seorang direktur sebuah Lembaga Pendidikan yang cukup punya nama. Apalagi jika rambut saya dicukur pendek dan melepaskan baju batik seperti yang biasa saya kenakan. Paling banter mereka hanya akan menduga bahwa saya cuma mahasiswa yang mungkin tengah melakukan observasi atau entah apalagi namanya di dunia pendidikan, tanpa pernah sedikitpun mereka mengira bahwa saya adalah salah satu dari sekian banyak praktisi yang memiliki kantor, lab dan SDM sendiri. Dan hal itu justru memberikan keuntungan tersendiri buat saya, karena saya jadi bisa mendengarkan informasi yang sebenarnya saat duduk bersama tanpa sepengetahuan mereka di kantin dan atau ruang tunggu. Tentang plus-minus Lembaga Pendidikan saya dari sudut pandang mereka. Juga tentang kepuasan dan atau ketidak sukaan mereka terhadap output dari program yang tengah diselenggarakan, yang tentu saja tidak akan pernah bisa saya peroleh secara obyektif jika hanya mengandalkan laporan dari staf dan atau orang-orang saya sendiri.

Siapa sangka tampang mahasiswa saya yang berdurasi cukup panjang itu bisa demikian berguna? Terutama bila mengingat betapa saya sering merasa jengah karena dikira mahasiswa oleh wanita-wanita muda di buskota tatkala masih menjadi cleaning service di Slipi Jaya. Atau betapa tak nyamannya saya saat masa-masa awal berhadapan dengan para calon pengguna jasa pendidikan saya, yang menatap dengan pandangan kurang percaya akan jangkauan serta jam terbang saya... cuma karena wajah saya yang kurang tua!

Juga ketika saya melakukan akuisisi dan merger pertama saya untuk mengambil alih operasional gedung sekolah dan menyelenggarakannya sesuai versi dan kebijakan saya sendiri, dan sebagainya dan sebagainya yang seringkali membuat saya berpikir adakah cara instan untuk membuat wajah sedikit lebih dewasa...?

Mungkin dengan memanjangkan rambut hingga sebahu akan selesailah masalah itu. Hanya saja saya merasa kurang sreg sendiri jika harus terus bergaya slenge dan bohemian, terutama saat saya harus berseliweran di Dunia Pendidikan, yang jelas-jelas menuntut tidak sekedar kemampuan mengajar saja. Walau untuk waktu yang cukup lama saya masih suka kemana-mana hanya dengan berkaos dalam dan memakai sendal jepit saja, meski ke kantor sekalipun. Tentu saja jika bukan untuk urusan dinas yang resmi.

Dengan tampang anak sekolah itulah kemudian saya menjadi bebas untuk berkeliling ke tempat manapun yang saya perlukan. Kampus, Lembaga Pendidikan, Bimbel, PAUD, PKBM, TK, SD, SMP, SMU, juga beberapa organisasi umum dan keagamaan seperti YISC dan RISKA. Tidak secara formal memang. Tanpa saya perlu mengajukan permohonan ijin secara prosedural yang tentu saja akan memakan waktu yang lebih lama serta dengan cara yang lebih berkelok, yang jika di-ACC pun maka pertemuan yang terjadi pastikah akan sangat kaku dan birokratif. Walau tentu saja kau tidak akan menemui satupun nama saya tertera dalam buku tamu tempat-tempat yang saya kunjungi tersebut. Dikiranya nyaman apa, kemana-mana harus mengenakan name tag ‘VISITOR’...? ^_

Butuh informasi Prodip Kebidanan? Tinggal meluncur ke UI Salemba, yang setelah menyelusup kesana-kemari seperti orang benar, tak ketemu juga informasi yang dicari. Langsung saja balik arah ke sebuah rumah sakit swasta di daerah Tanah Abang, yang memang berfungsi juga sebagai kampus penyelenggara program tersebut.

Butuh wacana tentang PAUD? Dalam waktu yang kurang dari satu jam saya telah bergerombol bareng dengan begitu banyak mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni UNJ, turut membaur dan menyerap segala informasi yang berkaitan dengan yang tengah saya butuhkan itu. Mengingatkan saya ketika menjadi pengawas UMPTN di sebuah SMU Negeri tatkala masih berstatus mahasiswa dulu.

Dan bukannya duduk dengan nyaman di lokasi yang telah disediakan untuk pengawas, saya justru lebih memilih nongkrong bareng dengan siswa peserta ujian tersebut. Ngobrol ngalor-ngidul tentang materi ujian yang akan dilakukan hari itu, tanpa mereka tahu bahwa saya adalah pengawas mereka, hehehe... Walau sampai sekarang saya tak pernah paham kenapa Si Afkir tak berhasil ketika saya delegasikan untuk melakukan hal yang sama, melainkan justru ditanyai macam-macam oleh satpam kampus UI, yang berbuntut dengan dilarangnya dia masuk ke kampus kuning tersebut.

Gerak-geriknyakah yang mencurigakan? Atau tampang seseorang memang tak lebih dari jendela karakter yang dimilikinya? Benar-benar sebuah pengalaman yang jauh dari menggembirakan buat dia. Datang jauh-jauh setelah berkendara lebih dari satu setengah jam, hanya untuk diusir dari tempat yang ditarget. Poor Afkir...

Dan dengan semua keanehan yang saya miliki tersebut, yang diperlengkap lagi dengan segala rentang dan jaring yang saya punya, pengetahuan tentang dunia pendidikan yang saya geluti itu jelas tak akan kalah, bahkan oleh seorang praktisi senior dengan golongan IIIC sekalipun...! Yang menurut pengakuan beliau bahwa hanya setingkat Mendiknaslah yang bisa memecat beliau. Mungkin dengan bahasa yang lebih gaul beliau ingin menekankan bahwa posisi yang dimiliki nyaris seperti dalam dunia AL Pacino dengan julukan yang biasa dikenal dengan... The Untouchable!

Tentu yang saya maksud adalah pengetahuan saya tentang dunia pendidikan secara umum, dan bukannya jam terbang saya di dunia belajar-mengajar yang bisa saja baru serupa pengantin baru. Walau ketika datang sengak saya, saya berani menjamin bahwa belum tentu si golongan IIIC tersebut mampu untuk mendapatkan berlembar-lembar kertas berisi informasi tentang begitu banyaknya daftar sekolah se-Jakarta lengkap dengan alamat, nama Kepsek dan nomor telepon masing-masing, yang nyatanya bisa dengan amat mudah dan cepat tergeletak di meja saya melalui bantuan salah satu rekan terbaik saya yang non pendidik.

Tak sekedar mengetahui bau anyir yang terus menghambur dari dunia pendidikan yang disebabkan oleh para oknum praktisinya, atau dari sistem pendidikannya itu sendiri yang seringkali meluapkan cukup banyak ketidak sepahaman, kali ini saya kembali tertampar. Dan tamparan yang ini amat terasa pedasnya hingga terus mengendap dalam hati terkecil saya...!

Tak terasa banyak tahun sudah saya berkecimpung dalam dunia yang menurut sebagian orang adalah dunianya para ulama, sementara bagi sebagian orang yang lainnya lagi tak lebih dari sekedar dunia munafik dimana bisnis dan moral begitu bahu-membahu menyulap hampir segalanya menjadi cuma sebagai alat pengais rupiah saja. Dan selama masa yang tak terasa itulah saya justru merasa ada begitu banyak hal yang membuat saya putus asa sebagai manusia...!

Betapa tidak? Dalam rentang waktu selama itu, begitu banyak siswa yang datang dengan keadaan yang mirip Si Dungu, yang hanya dengan waktu selama satu kali terima raport, telah menyulap mereka menjadi ‘Yang Terdepan’ di sekolahnya. Benar-benar hanya dalam waktu 1 x terima raport...! Sementara untuk siswa yang kebakaran, dalam waktu yang tidak berbeda menjadi adem kembali buku sakti mereka, tanpa ada satupun warna darah yang terceplak di dalamnya.

Bukan sebuah keadaan yang aneh ketika setiap kali tiba masa daftar ulang, ada saja siswa yang begitu tergopoh-gopoh menyerahkan kopian lembar nilai dari raport mereka seakan bila satu detik saja mereka terlambat memberikannya maka akan hilanglah semua jejak tinta yang ada di lembar tersebut seperti dalam Mission Imposible, hanya karena mereka tak percaya sendiri pada angka 1 yang tertera pada kolom peringkat. Atau siswa yang lain dengan gaya narsis dan menggemaskannya mencoba memainkan perasaan dengan mengatakan bahwa selama dia belajar di tempat kami, nilai Bahasa Inggrisnya tak pernah mendapat angka 7 atau 8, yang setelah sempat memberikan feeling guilty karena merasa pastilah siswa tersebut gagal memperoleh nilai baik yang berarti program kami gagal total dalam tahap pencapaian yang dituju, dengan sangat menyebalkannya siswa tersebut kembali melanjutkan ucapannya, bahwa dia selalu mendapatkan angka minimal 9 di raportnya. Halaaah...!

 

Tapi bukan itu yang membuat saya putus asa...!

Terlalu sering saya mendapat laporan bahwa setelah siswa bersusah payah memperbaiki kualitas pendidikan yang mereka jalani, lulus sekolah mereka ternyata cuma terdampar sebagai pekerja konveksi, atau sablon, atau pekerjaan-pekerjaan yang sejenis lainnya.

Bukan pekerjaannya yang saya sesalkan, karena saya tahu pasti bahwa semua jenis profesi tadi jelas terjamin kehalalannya. Hanya saja tak adakah pilihan lain yang lebih baik bagi mereka? Atau justru inilah potret asli dari para pelaku pendidikan di negeri ini secara umum? Yang tidak akan pernah kau temui di surga Si Eksentrik, misalnya. Atau di dalam istananya Si B yang uang sakunya saja mungkin lebih dari cukup untuk membiayai begitu banyak SPP anak negeri. Atau bekas teras rumah dinas Si J yang saya duga mampu untuk menyelenggarakan ujian massal. Atau bahkan ruang keluarga Si D yang pasti tak sesak jika cuma untuk membimbing satu atau dua kelompok kecil siswa pilihan. Juga gudang rumah Si Dj yang penuh dengan onggokan meja dan kursi sekolah.

Adakah yang terlewat...? Setelah serangkaian percakapan pribadi yang terjadi, terungkaplah segala yang harus tersibak, atau mungkin akan lebih baik jika semua itu tak terucap...? Entahlah. Yang jelas, alasan terdepan yang mereka kemukakan hanya seputar wacana yang itu-itu saja. Tak ada biaya untuk melanjutkan kuliah, atau dengan kata-kata yang terkesan lebih terhormat karena ingin membantu keuangan keluarga, yang tentu saja mereka ucapkan dengan wajah tak sumringah serta jauh dari keadaan nyaman!

Kembali saya terhenyak. Terpuruk, serta  terjebak dalam deja vu kebodohan kolektif karena masih juga ngejogrok bersama seluruh armada Lembaga Pendidikan bermaskot Arsitek Semut Mengukir Aksara yang saya pimpin. Dan bukannya buru-buru cabut ke berbagai lokasi dimana sebuah mimpi tak mesti terpenggal, cuma karena sebuah keadaan telanjang yang bernama: Kemiskinan. Atau jika dirasa tidak bisa, tinggal putar agenda ke sebuah dunia di mana uang tak mesti lagi menjadi hakim sejati penentu semua.

Bullshit ini semua...!!!” teriak saya kembali dengan kemarahan yang sama. Tapi kali ini saya tidak berteriak bareng dengan Si Eksentrik atau semua sahabat terhebat yang pernah saya kenal itu. Karena saya tahu pasti bahwa kemarahan dan putus asa ini bukanlah milik mereka. Ada saatnya mereka pernah begitu peduli dengan isu-isu kemanusiaan yang sekarang tengah bergelantungan tepat di depan hidung saya ini. Tapi itu dulu, jauh waktu sebelum mereka berhasil menyelesaikan Jurusan Kemanusiaan di kampusnya. Dan waktu bukankah teramat sering berperan konyol sebagai hakim tak adil yang menghasut agar semua tak bisa untuk pernah lagi sama...?!!!

Beberapa dari teman terbaik saya itu memang masih juga bertahayul untuk menyukai karya-karya besar, atau sekedar meniti jalur demi memaksimalkan potensi diri agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan selebihnya...? Mungkin sebuah rencana spektakuler dan luar biasa untuk mengadakan reuni, sambil bersantap dan bertukar kisah tentang betapa indahnya hidup mereka kini. Betapa nyaman dan mapannya dunia yang tengah mereka singgahi saat ini, mungkin juga nanti. Atau kelak ketika mati. Toh semua orang pasti mati. Mungkin seratus tahun lagi. Bisa juga beberapa saat setelah membaca kisah ini. Dan tak perlu ada yang memperdebatkan seberapa urgensinya seseorang yang pada akhirnya cuma akan mati, harus melakukan ini-itu yang belum tentu dapat memperindah kehidupan yang cuma sesaat ini.

Dan berbicara tentang kematian, besar dugaan saya bahwa teman-teman saya pastilah akan memiliki kematian yang tentu lebih terhormat jika dibandingkan dengan kematian saya. Terutama dengan versi kematian saya yang telah jauh-jauh hari diramalkan oleh orang terdekat, dengan sederet kalimat pekat yang sangat menyayat akal sehat...!

 

“Di sini telah terbujur

         telah terkubur seonggok tubuh

                  dengan sejuta kesombongan

                           dan menyisakan hanya debu

                                           hanya

                                                         : Setitik debu...”

 

Adakah kematian yang lebih gahar dari ini...? Sebuah ramalan paling sarkas yang pernah saya terima, yang tentunya terjadi saat kondisi emosi hanya setebal pucuk lidi, dalam sebuah kesalah pahaman waktu itu, yang nyaris finish namun selalu saja kembali urung mengujung.

Dan dalam prosesi yang pernah digambarkan itu, dengan angan nakal saya membuat satu strip adegan film bisu hitam putih ketika tubuh saya yang terbujur kaku tersebut, digotong oleh begitu banyak murid saya yang berjalan dengan langkah gagah dan angkuhnya. Dagu mereka sedikit terangkat, mungkin.

Dan setelah onggokan kaku itu selesai di-blesekkan ke dalam tanah dan di urug, satu persatu rombongan murid berbaris teratur dan pergi dengan tertibnya seperti sebuah upacara. Tentu saja setelah sebelumnya mereka secara bergantian memberikan penghormatan terakhirnya... dengan cara meludahi kuburan saya dengan sengaknya (hehehe...). Sebagai tanda bahwa mereka mengakui kesombongan saya terhadap semua yang semasa hidup pernah tak habis-habisnya mencoba menekan dan membuat saya tak berdaya, yang anehnya tetap saja tak pernah mampu untuk membuat saya menyerah kalah walau hanya menundukkan kepala sebagai isyarat terhina sekalipun, melainkan terus berjalan dengan gagahnya menuju tempat di mana semua menjelma yang seharusnya terjadi, dan bukan yang sekedarnya ada.

 

Adakah dunia yang lebih kusam dan rancu dari Dunia Aneh Si Bayangan?

Ada.

Dan itu –sekali lagi- adalah dunia pendidikan di Indonesia...!

 

Lengkap sudah kebencian saya terhadap dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk kegiatan belajar-mengajar tersebut. Dari hulu ke hilir semuanya getir. Tak sekedar kurikulum dan sistemnya yang seringkali terasa kedaluarsa, yang ketika terjadi perombakan justru lebih terkesan panik dan terlalu memaksakan diri. Ditambah lagi dengan ulah ‘segelintir’ guru dan praktisi pendidikan yang kerap membuat gerah, yang tentu saja dilakukan oleh mereka-mereka yang cuma berstatus oknum saja. Dan bertambah parah dengan kontinuitas amat rendah pada siswa sebagai obyek pelaksana, menjadikan dunia pendidikan yang asli terjadi di dunia nyata harusnya dikemas dan dilemparkan ke gudang yang penuh dengan barang rongsokan karena memang sudah tak ada lagi sesuatupun yang berharga tersisa di dalamnya.

Dan dengan semua kenyataan yang ada dalam dunia pendidikan tersebut, serta-merta menerbitkan antipati yang dalam pada diri saya. Memiting sel dan juga seluruh jaringan sistem syaraf yang ada dalam otak saya untuk tidak akan pernah menyerahkan pendidikan anak-anak saya kelak kepada jenjang formal tersebut.

Apa susahnya memberi bekal pendidikan bermutu bagi sang buah hati...? Dan untuk urusan yang sepenting itu, tentu saja saya tak akan menyerahkannya kepada sekolah…! !!! Sementara dengan amat nyamannya saya banting-banting tulang dan memerah lelah seakan-akan hanya dengan cara itu nafkah keluarga barulah bisa terjaga.

Ada begitu banyak jalan menuju Roma, yang jika kita memutar sedikit mungkin akan sampai juga ke Mekkah atau ke desa nenekmu, misalnya. Dan pengetahuan tentang aneka macam jalan itu seringkali menjadikan saya merasa kaya, terlepas dari jumlah rupiah yang ada dikantung saya atau berapapun digit yang tercetak dalam buku rekening bank saya.

Dengan pengetahuan yang amat sederhana itu saya tetap yakin bisa seperti Yohannes Surya, dedengkot Olimpiade Fisika Indonesia yang mengajari materi eksakta kelas 3 SD kepada anaknya yang baru berusia lima tahun.

Dengan keyakinan yang sama pula saya dapat membuat tim kecil Instruktur Tiga Bahasa Besar Dunia dengan pencapaian seperti yang telah saya tulis dalam bagian kedua kisah ini, yang semuanya tetap dengan alokasi penggunaan waktu yang tak akan memenggal sedikitpun masa kanak-kanak buah hati saya tersebut.

Kurang lengkap? Dengan anggaran yang fleksibel dan amat minimalis saya dapat memindahkan lab peternakan dan perikanan menjadi kebun binatang pribadi yang setiap saat bisa diteliti, yang mungkin jauh lebih lengkap atau setidaknya lebih ril dan membumi dari lab yang dimiliki sekolah manapun.

Atau sambil saya gendong saya ajak si kecil merebus air dan mengamati secara langsung perubahan fisika yang terjadi dari cair menjadi gas, yang lantas setelah agak dingin, dengan bahan yang tadi juga kembali saya jinjing bocah itu menuju kulkas untuk paham proses membeku, yang setelah ditinggal sejenak untuk menonton acara TV kegemarannya, kembali saya ajak si mungil untuk menaruh es batu yang tadi itu ke dalam sebuah wadah, dan memperhatikan betapa udara di sekitar wadah itu dapat mengembun dengan arifnya, dengan proses mencairnya es batu tersebut sebagai double effect-nya. Adakah metode pengajaran yang lebih mengakar dan termarjinal kuat melebihi ini…?

Dengan proses yang sama sederhananya saya masih dapat pula membuatnya mahir merekayasa senter. Entah itu dari barang bekas dan seadanya atau dari benda-benda yang mutlak didapat dari toko. Sambil sesekali saya selipkan tentang rangkaian seri dan pararel, yang tentu saja telah saya sesuaikan bahasanya dengan dunia si bocah.

Membuat alarm pribadi? Kenapa tak langsung dibopong saja ke daerah Glodok dan memborong bahan-bahannya yang cuma seharga gocengan itu...? Membatik? Bikin  Gerabah? Kerajinan lilin? Origami dan Ikebana sederhana? Pengetahuan sejarah? Atau perlukah saya sebutkan semuanya hingga mulut berbuih-buih dan penuh busa...?

Dan semua itu bisa saya lakukan bersama si kesayangan saya itu, bahkan sejak usianya masih amat belia, tanpa perlu direpoti dengan segala macam prasyarat dan ketentuan seperti yang termaktub dalam GBPP dan sebagainya. Atau menunggu hingga umur tertentu seakan-akan waktu adalah penentu mutlak keberhasilan dari semua kegiatan.

“Gak terlalu muda, Bay...? Nanti ada efek negatifnya pegimana...?”

Tolong jangan tanyakan hal itu kepada saya. Tapi bertanyalah dengan tujuan  memperoleh jawaban kepada Glen Doman, dan bukan bertanya demi mempertahankan pendapat yang selama ini diyakini pribadi. Dan jika pembahasan dari pakar syaraf dan pengembangan anak tersebut masih tetap menyisakan keraguan, ada baiknya kita kembali kepada diri sendiri dan bertanya dengan lebih jujur mengapa kita harus terus merasa takut terhadap ‘isi’, dan bukannya justru lebih mewaspadai ‘metode’ yang dipakai...?! 

Metode lebih baik daripada isi. Bukan saya yang bicara, melainkan si tua HAMKA yang seringkali namanya kita temukan dalam peta sejarah dan sastra Indonesia. Masih dengan kutipan yang itu pula saya yakinkan bahwa selama masa aktif saya di Dunia Pendidikan, saya belum pernah menemukan satupun efek buruk dari isi yang terlalu tinggi kala diberi kepada siswa-siswa mungil tersebut, seberat atau se-nyeleneh apapun muatan yang ada di dalamnya.

Silahkan kau klik facebook Rheta Rxxxfiiifffxxx, siswa pertama saya yang pernah menggegerkan lingkungan ketika dengan atraktifnya membaca koran di teras rumah saat masih berusia 4 tahun, yang kini tengah duduk dengan nyamannya di SMPN 216 jakarta Pusat.

Atau dengan usia yang sebaya, seluruh angkatan dibawahnya mampu menyelesaikan 40 soal matematika tingkat SD semester II, hanya dalam waktu rata-rata sepuluh menit, dan menulis rapi dengan menggunakan pensil isi ulang ukuran 0,5 tanpa harus sering patah.

Atau dengan cara yang relatif sama dapat kau telusuri siswa lainnya yang ketika masih menjabat sebagai siswa kelas 5 SD, telah mampu menyelesaikan modul Bahasa Inggris setebal Al Qur’an terjemahan yang biasa digunakan oleh mahasiswa Program Bahasa. Dan sebagainya-dan sebagainya yang semoga saja menjadikan segala kekhawatiran tentang usia muda tak lagi bertahan lama. Walau bukan berarti dengan serampangan kita bebas mencekoki anak batita dengan materi broadcasting, misalnya.

Bahkan hingga hari inipun masih sering kita jumpai cukup banyak siswa yang notabene telah cukup usia, merasa ngap dan gelagapan mempelajari penjumlahan dasar yang paling sederhana, hanya karena metode dan atau teknis-teknis lainnya yang digunakan begitu menekan. Sementara perhitungan angka dengan bobot yang lebih tinggi tetap mampu diserap sambil tertawa oleh siswa usia dini, dengan metode tarian jari, contohnya. Karena, sekali lagi, bukan isinya yang mesti ditakuti, melainkan metode yang dijadikan mode. DAN BUKANKAH UNTUK MENDIDIK MANUSIA, KITA HARUS PULA MENJADI MANUSIA...??!!!

Untuk Hidden curriculum, ada baiknya kau tengok Nuril Hxxxfiiifffxxx. Murid TK yang cantik menggemaskan dengan senyum bandelnya ini siapa sangka telah memiliki track record mendaki gunung yang jauh lebih luas, bahkan jika dibandingkan dengan saya sebagai pendaki yang cukup aktif pada masanya sekalipun...! Menguatkan kesadaran betapa lahir duluan memang bukan jaminan untuk menjadi yang terdepan.

Cara Si Nuril jelas menarik minat saya untuk diterapkan terhadap mini me kelak. Setidaknya dengan model itu si kecil jadi bisa lebih dalam mengenal alamnya, yang dalam beberapa waktu ke depan siapa tahu telah di klaim dan atau dikuasai oleh negara lain?

Atau dengan keanehan seperti yang pernah ditimpakan takdir terhadap saya, saya ajak mini me untuk turut menjadi pangeran kodok. Berlompatan kian kemari menapak-tilasi setiap lokasi yang pernah saya singgahi: Lengkap dengan segala macam peradaban dan pelaku sejarahnya. Dan untuk selebihnya? Paling-paling saya hanya perlu meningkatkan kesabaran hingga setingkat begawan, saat menarik masuk si kecil ke dunia digital dan memoderatori hingga dia mampu membuat minimal blog pertamanya, sejak usia dini. Mudah-mudahan dengan cara sederhana ini dapat mempermudah jalannya kelak untuk menjadi Warga Dunia, yang tentu saja tanpa lengah terhadap Kampung Akhirat.

“Lho... Kalo engga sekolah ga punya ijasah dunk, Bay...? Apa kata dunia...!!!

Sambil menggerutu panjang pendek hingga mulut kisut karena sebal dengan pertanyaan ini –seakan memang tak ada lagi topik lain yang lebih menarik- saya tekan angka-angka pada perangkat ajaib seluler saya. Dan setelah suara di seberang saluran menyepakati jumlah rupiahnya, mungkin sore nanti ‘kertas sakti tersebut sudah akan tersaji dengan amat nyamannya di bingkai ruang tamu saya.

Atau dengan cara yang lebih sopan dan terhormat saya dapat mengikut sertakan Si Kecil dalam program home schooling yang pernah dimotori oleh Kak Seto. Atau mengekor jejak anti mainstream-nya Si Andri Rizki Putra yang karena mutung akibat kecurangan UN di SMP, melabrak Dinas Pendidikan, hanya demi meyakinkan bahwa dia tetap bisa mengikuti ujian kesetaraan dengan pola pendidikan seperti itu. Bahkan, dia tertantang mengambil ujian paket C setara SMA dengan sistem akselerasi, yang membuatnya menjalani pendidikan tingkat SMU hanya dalam kurun waktu 1 tahun saja: Dengan menghabiskan biaya pendidikan yang ‘HANYA’ sebesar Rp. 100.000,- saja. Serta banyak lagi cara lain yang intinya mensahkan secara administratif tentang pendidikan anak saya kelak. Apa susahnya? Begitu aja koq repot-repot...^_

Tapi dengan segala kebencian yang saya miliki terhadap dunia pendidikan, anehnya tetap saja tak membuat saya meninggalkannya. Dan bukannya meradang seperti yang dilakukan oleh sebagian kalangan, atau bersikap pragmatis dan sekedar mengikuti arus yang umum dilakukan oleh kalangan yang lainnya, saya justru melakukan yang sebaliknya.

Saya memilih keluar dari kedua kubu tersebut, dan menciptakan versi pendidikan saya sendiri, yang walaupun bukan berasal dari kasta pendidikan ternama namun anehnya tetap mampu membuat mainstream baru dan diakui oleh dunia pendidikan formal...!!!

Menindak lanjuti kegagalan yang terjadi pada siswa SMU, fokus kami alihkan ke jenjang SMP. Tentunya sambil berharap dengan waktu pembinaan yang lebih lama akan mendapatkan output yang berbeda dengan pendahulu mereka.

Berhasilkah yang kali ini? Sayangnya tidak. Dan kegagalan pada model yang sama memaksa kami mengubah total seluruh orientasi yang ada.

Apa yang dibutuhkan dalam sebuah pendidikan yang baik? Yap, sebuah program belajar bermutu unggulan. Dan itu semua harus dilaksanakan dari tingkat yang paling dasar...!

Tapi justru pada titik inilah jebakan kesalahan prosedural massal banyak terjadi, bahkan sejak pertama kali kita melaksanakan rencana –yang katanya- semata-mata demi kehidupan yang lebih baik bagi si kecil...!!!

Alangkah ironisnya...?! Seringkali seorang siswa akan berkata dengan gagahnya tentang cita-cita ‘Menjadi Orang yang Berguna bagi Nusa dan Bangsa’. Tak jarang masih dibumbui lagi dengan kalimat sophistic tingkat tinggi yang lainnya, seperti, Juga bagi Agama’, yang bahkan orangtuanyapun belum tentu benar-benar mengerti makna philosofie yang ada di dalamnya. Dan seiring dengan beranjaknya usia, sang siswa menjadi begitu kerap bertanya dalam hati, akan mampukah menjadi orang berguna, bahkan walau cuma bagi diri sendiri...?! Terutama bila mengingat betapa kehidupan yang dijalani kemudian –ternyata- tak bisa tetap cuma satu warna indah seperti yang pernah diperolehnya dari keluarga dan masa kanak-kanaknya.

Dan dengan tingkat kearifan yang walaupun beraneka ragam namun anehnya tetap menghasilkan kesimpulan homogen: Hitungan matematis tentang biaya yang paling logis, menjadikan terlalu banyak orang tua salah kaprah dalam menjalankan percaturan pendidikan bagi buah hati kesayangannya tadi. Menjadikan mereka hanya menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang pendidikan dasar biasa yang relatif murah demi menekan anggaran, sambil diam-diam berharap dengan waktu yang tersedia dapat menyisihkan rupiah hingga bisa menempatkan si bocah kelak di Pendidikan Tinggi Terbaik yang mereka mampu. Dan tentu saja semua dilakukan semata-mata agar rencana masa depan brilliant bagi siswa menjadi terlaksana dengan sempurna, tanpa perlu merasakan sedikitpun cegukan kendala yang harus menimpa mereka jika menyangkut segala hal yang berbau biaya.

Benarkah sempuna...? Agaknya hanya Tuhan yang tahu jawaban dari semua, sebab kedhoifan manusia memang meliputi hampir semua hal.

Tapi dengan kedhoifan yang itu juga saya dapat menunjukkan beberapa kekeliruan yang ada pada rencana masa depan yang brilliant tadi, yang tentu saja dari sudut pandang saya yang mantan siswa.

Sebagai siswa yang entah bagaimana bisa menjadi yang paling prestatif di beberapa SD tanpa pernah belajar, menjadikan saya beberapa kali berkeinginan mempelajari tingkat yang lebih tinggi.

Tapi bukan dukungan dan respect positif yang saya peroleh dari para guru, melainkan beberapa tawa dan ucapan setengah bergurau yang menyatakan bahwa saya adalah murid yang sombong. Ditambah lagi dengan tatap mata tak suka dari teman yang mungkin merasa prestasinya langsung basi jika bersanding dengan saya, menjadikan saya merasa benar-benar bosan dengan aktifitas sekolah, yang pada akhirnya menjadikan nilai terbaik tak lagi menjadi orientasi utama saya sebagai siswa. Dan keadaan ini terus berlanjut hingga saya kuliah. Walau anehnya bahkan dengan mental-template saya yang seburuk itupun, tetap saja tak menjadikan saya masuk dalam Daftar Merah Siswa yang buruk secara akademik.

Saat SMP lebih buruk lagi. Dengan sindiran sinis dan sederetan kalimat nyelekit, berkali-kali figur guru mem-vonis betapa tak pantasnya kami terdaftar di sekolah mereka, sambil dengan nyinyirnya terus membicarakan rekayasa angka yang kadang hingga mencapai dua point di atas yang sebenarnya pada raport, yang kala itu memang sudah menjadi rahasia umum dikalangan sekolah.

Seringkali dengan tensi emosi yang sudah mencapai ubun-ubun, saya ingin menantang guru tersebut untuk melakukan serangkaian tes pelajaran, dengan saya sebagai perwakilan dari seluruh murid.

Namun tentu saja saya tak berani melakukannya. Sebab dari tempramen yang terbaca dari figure guru tersebut, tentu bukan perkara yang sukar jika pada akhirnya saya hanya akan memperoleh satu atau dua tamparan sebagai jawaban dari tantangan tersebut. Dan saya saat itu jelas bukan Si X yang kabarnya tak segan menonjok guru di sebuah Sekolah Negeri yang memiliki nomor paling awal sebagai nama institusinya. Walau dengan kesadaran yang masih amat belia saya kembali tak habis pikir, mengapa kehadiran kami di sekolah harus disambut layaknya musuh atau mereka-mereka yang patut dicurigai, dan bukannya justru disambut dengan sukacita mengingat masih ada sekelompok muda yang berharap untuk dididik agar dapat menjadi lebih manusia...? Atau benarkah seseorang memang ‘hanya pantas dinilai dari angka-angka yang mereka punya, baik yang tertera dalam lembar akademik ataupun yang tercetak dalam buku perbankan yang dimiliki...?

Masih dalam sekolah yang sama pula untuk pertama kalinya saya mengenal apa itu Bullying, atau merokok dengan berkelompok di pojok belakang kelas, yang efeknya hingga hari ini masih saja menjadi beban adiktif yang terus bersifat progresif tanpa pernah bisa untuk saya kendalikan.

Dari sekolah itu pula saya mengetahui, betapa tubuh kecil tak pernah bisa menjadi penghalang sifat buas yang keluar spontan saat tawuran, menggebuk lawan yang terjebak situasi layaknya memberangus tikus atau anjing kudis.

Atau dengan logika yang hingga kini masih sukar saya terjemahkan, betapa ada saja teman-teman cewek yang ikut dalam pesta pembantaian jalanan tersebut.

Jelas saya tahu resiko cedera fisik yang mereka terima jauh lebih kecil. Bahkan jika tertawan pihak musuhpun mereka tak akan dilukai, melainkan ‘sekedar’ di grepe-grepe beberapa bagian paling pribadi milik mereka, yang berkali-kali menerbitkan pertanyaan tanpa jawaban untuk apa sebenarnya semua dilakukan.

Tahukah kau bagaimana cara paling sopan untuk membolos sekolah, tanpa harus melompati tembok keliling setinggi 2 meter dengan kawat berduri di atasnya? Tentu saja dengan melubangi tembok tersebut hingga seukuran tubuh...! Sementara miras dengan amat nyamannya bisa dinikmati sambil kongkow-kongkow di belakang gedung. Kadang di kantin sekolah, walau tak jarang di dalam ruang kelas, menjadikan narkoba yang memang memiliki bentuk lebih sederhana dapat beredar dengan bebasnya bagi kalangan penikmat berstatus pelajar belia. Dan itu semua terjadi di lingkungan sekolah!

Dan tahukah kau bahwa sekolah yang saya maksud adalah institusi yang termasuk favorit dan punya nama setidaknya di tingkat lokal. Hanya saja semua menjadi tidak seberapa parah jika dibandingkan dengan sekolah teman saya yang sama ketatnya, yang juga memiliki keburukan yang sama ditambah dengan tindak pelecehan dan juga pencabulan di kalangan siswa wanitanya. Sementara pada sekolah yang lebih unggul lainnya, melacurkan kewanitaan yang dimiliki sudah menjadi wacana umum yang tak perlu lagi dibuktikan kebenarannya. Dapatkah kau bayangkan seperti apa keadaan di sekolah- sekolah yang memiliki kualitas dan tingkat kedisiplinan yang lebih rendah...??!!!

Masa SMU pengetahuan saya tentang sekolah telah sangat lengkap. Tentu saja yang saya maksud adalah pengetahuan dalam tanda kutif. Dan setelah euforia siswa baru pada tahun pertama, kebosanan kembali melanda dengan hebat dan mencapai puncaknya.

Bolos sekolah saya semakin menggila. Dan berbeda dengan teman-teman yang melakukannya dengan amatir sambil kucing-kucingan, melemparkan tas terlebih dahulu –yang seringkali mengundang senyum hingga tawa berbahak karena tas terjatuh tepat di selokan- lalu berkelebat secepat kilat keluar dari gedung sekolah. Saya justru melakukannya dengan cara yang cukup anggun. Berjalan melewati samping kantor guru dengan santainya sambil menyelempangkan tas setiap kali waktu istirahat tiba, yang tentu saja tak balik lagi ke sekolah...!

Life is my own, begitu mungkin filsafat yang saya pakai waktu itu. Dan bukankah di periode usia seperti saat itu umumnya seseorang berada dipersimpangan pertama dalam hidupnya? Tanpa pernah tahu apakah jalan yang dipilih akan mengantarkannya kelak ke tempat paling terhormat, atau justru hanya berakhir di liang lahat. Begitu juga dengan hidup saya. Lengkap dengan pilihan jalan terburuk dengan begitu banyak kasus yang timbul karenanya, yang harusnya cukup untuk membuat saya dilemparkan dengan tidak hormat dari sekolah namun entah mengapa tetap saja hal itu tak terjadi pada saya.

Apa yang saya dapat dari sekolah yang selama ini saya jalani? Nyaris tak ada, selain tentu saja sedikit kemampuan eksakta, sejarah, juga seketip pemahaman tentang Tuhan dan agama. Dan hal itu jelas menimbulkan kebingungan dalam diri saya sendiri tentang apa sebenarnya yang saya cari dalam bersekolah.

Dalam sebuah kelas fisika, seorang guru pernah menjelaskan bahwa sekolah itu seperti membuat kursi. Saat SD kita membuat kaki-kakinya, yang berlanjut dengan membuat sandaran tubuh waktu SMP. Sementara ketika SMU sebenarnya kita tengah membentuk pegangan di kiri dan kanan. Hingga akhirnya pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi maka selesailah kursi tersebut, dan bisa kita manfaatkan atau sekedar duduk dengan nyaman di atasnya.

Itulah filsafat terhebat yang pernah saya dapat sekali-kalinya saat sekolah. Walau ketika pertama mendengarnya langsung membuat saya terpuruk lebih dalam di kubangan lumpur hitam, gatal dan berbau sebab kalimat bijak tersebut secara tak langsung menegaskan kepada saya betapa sia-sianya kegiatan sekolah yang saya lakukan selama ini...!!!

Dengan latar belakang sosial dan finansial yang saya punya, bukan sesuatu yang amat sukar untuk saya menyimpulkan bahwa saya kelak benar-benar tak akan pernah melihat bentuk jadi dari kursi yang tengah saya buat tersebut.

Jelas penampilan saya amat jauh dari kumuh. Tapi kenyataan bahwa saya selalu menjadi yang paling miskin di lingkungan pertemanan manapun, menjadikan mental saya keropos, karakter membusuk serta sikap tahu diri untuk tak terlalu jauh dalam bermimpi. Walau tentu saja saya tak pernah kehilangan harga diri karenanya. Namun kerapkali saya bertanya-tanya sendiri, masih adakah nilai dari sebuah harga diri, saat begitu banyaknya nilai-nilai kehidupan yang tak pernah bisa saya penuhi harga penukarnya? Bahkan saya tak pernah tahu bahwa selama ini ternyata saya tengah membuat kursi...!!!

Itulah beberapa hidden curriculum yang saya peroleh di sekolah, yang saya yakin adalah versi lain yang lebih anomali dari hidden curriculum yang sama yang pernah dianggap begitu penting oleh seorang Kak Seto Mulyadi, dalam sebuah liputan televisi beberapa saat sebelum beliau menjabat di Komnas Anak. Dan semua pengalaman sederhana yang saya peroleh dari sekolah tersebut, semakin memperjelas betapa masih terlalu banyak celah yang mesti ditambal dengan sesegera mungkin dalam Dunia Pendidikan kita. Jika sudah begini, rencana masa depan brilliant bagi siswa yang berpatokan pada hitungan matematis tentang biaya yang paling logis, masih perlukah kita anggap sebagai yang paling sempurna...? Terutama bila mengingat betapa efek buruk mental-psikologis yang berpotensi terjadi pada diri siswa, akan mengakibatkan penanganan yang jauh lebih memakan anggaran jika dibandingkan dengan penghematan biaya belajarnya.

Tapi dengan begitu banyaknya gambaran tak nyaman yang tertoreh dalam dunia sekolah, bukan berarti kita lantas bergegas mem-vonis habis dan memaknainya hanya serupa kotoran manusia. Ada begitu banyak kebaikan yang bisa ditemui di sana. Hanya memang logika umum yang terdapat di dalamnya tak bisa lagi dipertahankan.

Di Era Agraria mungkin kita hanya perlu mengecap pendidikan SR setara SD, yang setelah susah payah diraih dengan berjalan kaki ke Kabupaten, pasca kelulusan tentu jabatan Ulu-ulu Desa bukanlah perkara susah untuk diraih.

Atau pada Masa Industri dimana dengan takdzimnya kita terus saja melaksanakan jenjang pendidikan semampu keluarga, yang lantas setelah berakhir kita biarkan gurat nasib di telapak kiri menempatkan kita ke dalam takdir entah yang mana.

Namun masih relevankah logika umum itu pada Era Informasi ini? Masihkah kita berani berbicara tentang kursi yang harus dibuat siswa dengan khidmatnya, sementara pada saat yang sama betapa sering siswa melihat rekan sebayanya, yang jelas-jelas telah memiliki atah kursi warisan keluarga tanpa perlu berlelah-lelah membuat kursi sendiri?

Atau saat kita dengan Pe-Denya berbicara bahwa pendidikan mutlak penting demi hidup yang lebih baik, yang seringkali lebih bermakna sebagai finansial yang lebih baik, tanpa di duga...  (Bersambung).

 

(Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, dengan tidak bermaksud mendiskreditkan pihak lain, baik perorangan maupun kelembagaan/badan hukum).

 

Secangkir Kopi Refleksi tentang Pendidikan, Kompasiana-2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun