Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revisi Kecil-kecilan di Dunia Pendidikan, Agresi Besar-besaran di Dunia Bisnis

7 Juli 2015   03:25 Diperbarui: 7 Juli 2015   03:25 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi bukan dukungan dan respect positif yang saya peroleh dari para guru, melainkan beberapa tawa dan ucapan setengah bergurau yang menyatakan bahwa saya adalah murid yang sombong. Ditambah lagi dengan tatap mata tak suka dari teman yang mungkin merasa prestasinya langsung basi jika bersanding dengan saya, menjadikan saya merasa benar-benar bosan dengan aktifitas sekolah, yang pada akhirnya menjadikan nilai terbaik tak lagi menjadi orientasi utama saya sebagai siswa. Dan keadaan ini terus berlanjut hingga saya kuliah. Walau anehnya bahkan dengan mental-template saya yang seburuk itupun, tetap saja tak menjadikan saya masuk dalam Daftar Merah Siswa yang buruk secara akademik.

Saat SMP lebih buruk lagi. Dengan sindiran sinis dan sederetan kalimat nyelekit, berkali-kali figur guru mem-vonis betapa tak pantasnya kami terdaftar di sekolah mereka, sambil dengan nyinyirnya terus membicarakan rekayasa angka yang kadang hingga mencapai dua point di atas yang sebenarnya pada raport, yang kala itu memang sudah menjadi rahasia umum dikalangan sekolah.

Seringkali dengan tensi emosi yang sudah mencapai ubun-ubun, saya ingin menantang guru tersebut untuk melakukan serangkaian tes pelajaran, dengan saya sebagai perwakilan dari seluruh murid.

Namun tentu saja saya tak berani melakukannya. Sebab dari tempramen yang terbaca dari figure guru tersebut, tentu bukan perkara yang sukar jika pada akhirnya saya hanya akan memperoleh satu atau dua tamparan sebagai jawaban dari tantangan tersebut. Dan saya saat itu jelas bukan Si X yang kabarnya tak segan menonjok guru di sebuah Sekolah Negeri yang memiliki nomor paling awal sebagai nama institusinya. Walau dengan kesadaran yang masih amat belia saya kembali tak habis pikir, mengapa kehadiran kami di sekolah harus disambut layaknya musuh atau mereka-mereka yang patut dicurigai, dan bukannya justru disambut dengan sukacita mengingat masih ada sekelompok muda yang berharap untuk dididik agar dapat menjadi lebih manusia...? Atau benarkah seseorang memang ‘hanya pantas’ dinilai dari angka-angka yang mereka punya, baik yang tertera dalam lembar akademik ataupun yang tercetak dalam buku perbankan yang dimiliki...?

Masih dalam sekolah yang sama pula untuk pertama kalinya saya mengenal apa itu Bullying, atau merokok dengan berkelompok di pojok belakang kelas, yang efeknya hingga hari ini masih saja menjadi beban adiktif yang terus bersifat progresif tanpa pernah bisa untuk saya kendalikan.

Dari sekolah itu pula saya mengetahui, betapa tubuh kecil tak pernah bisa menjadi penghalang sifat buas yang keluar spontan saat tawuran, menggebuk lawan yang terjebak situasi layaknya memberangus tikus atau anjing kudis.

Atau dengan logika yang hingga kini masih sukar saya terjemahkan, betapa ada saja teman-teman cewek yang ikut dalam pesta pembantaian jalanan tersebut.

Jelas saya tahu resiko cedera fisik yang mereka terima jauh lebih kecil. Bahkan jika tertawan pihak musuhpun mereka tak akan dilukai, melainkan ‘sekedar’ di grepe-grepe beberapa bagian paling pribadi milik mereka, yang berkali-kali menerbitkan pertanyaan tanpa jawaban untuk apa sebenarnya semua dilakukan.

Tahukah kau bagaimana cara paling sopan untuk membolos sekolah, tanpa harus melompati tembok keliling setinggi 2 meter dengan kawat berduri di atasnya? Tentu saja dengan melubangi tembok tersebut hingga seukuran tubuh...! Sementara miras dengan amat nyamannya bisa dinikmati sambil kongkow-kongkow di belakang gedung. Kadang di kantin sekolah, walau tak jarang di dalam ruang kelas, menjadikan narkoba yang memang memiliki bentuk lebih sederhana dapat beredar dengan bebasnya bagi kalangan penikmat berstatus pelajar belia. Dan itu semua terjadi di lingkungan sekolah!

Dan tahukah kau bahwa sekolah yang saya maksud adalah institusi yang termasuk favorit dan punya nama setidaknya di tingkat lokal. Hanya saja semua menjadi tidak seberapa parah jika dibandingkan dengan sekolah teman saya yang sama ketatnya, yang juga memiliki keburukan yang sama ditambah dengan tindak pelecehan dan juga pencabulan di kalangan siswa wanitanya. Sementara pada sekolah yang lebih unggul lainnya, melacurkan kewanitaan yang dimiliki sudah menjadi wacana umum yang tak perlu lagi dibuktikan kebenarannya. Dapatkah kau bayangkan seperti apa keadaan di sekolah- sekolah yang memiliki kualitas dan tingkat kedisiplinan yang lebih rendah...??!!!

Masa SMU pengetahuan saya tentang sekolah telah sangat lengkap. Tentu saja yang saya maksud adalah pengetahuan dalam tanda kutif. Dan setelah euforia siswa baru pada tahun pertama, kebosanan kembali melanda dengan hebat dan mencapai puncaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun