Bolos sekolah saya semakin menggila. Dan berbeda dengan teman-teman yang melakukannya dengan amatir sambil kucing-kucingan, melemparkan tas terlebih dahulu –yang seringkali mengundang senyum hingga tawa berbahak karena tas terjatuh tepat di selokan- lalu berkelebat secepat kilat keluar dari gedung sekolah. Saya justru melakukannya dengan cara yang cukup anggun. Berjalan melewati samping kantor guru dengan santainya sambil menyelempangkan tas setiap kali waktu istirahat tiba, yang tentu saja tak balik lagi ke sekolah...!
Life is my own, begitu mungkin filsafat yang saya pakai waktu itu. Dan bukankah di periode usia seperti saat itu umumnya seseorang berada dipersimpangan pertama dalam hidupnya? Tanpa pernah tahu apakah jalan yang dipilih akan mengantarkannya kelak ke tempat paling terhormat, atau justru hanya berakhir di liang lahat. Begitu juga dengan hidup saya. Lengkap dengan pilihan jalan terburuk dengan begitu banyak kasus yang timbul karenanya, yang harusnya cukup untuk membuat saya dilemparkan dengan tidak hormat dari sekolah namun entah mengapa tetap saja hal itu tak terjadi pada saya.
Apa yang saya dapat dari sekolah yang selama ini saya jalani? Nyaris tak ada, selain tentu saja sedikit kemampuan eksakta, sejarah, juga seketip pemahaman tentang Tuhan dan agama. Dan hal itu jelas menimbulkan kebingungan dalam diri saya sendiri tentang apa sebenarnya yang saya cari dalam bersekolah.
Dalam sebuah kelas fisika, seorang guru pernah menjelaskan bahwa sekolah itu seperti membuat kursi. Saat SD kita membuat kaki-kakinya, yang berlanjut dengan membuat sandaran tubuh waktu SMP. Sementara ketika SMU sebenarnya kita tengah membentuk pegangan di kiri dan kanan. Hingga akhirnya pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi maka selesailah kursi tersebut, dan bisa kita manfaatkan atau sekedar duduk dengan nyaman di atasnya.
Itulah filsafat terhebat yang pernah saya dapat sekali-kalinya saat sekolah. Walau ketika pertama mendengarnya langsung membuat saya terpuruk lebih dalam di kubangan lumpur hitam, gatal dan berbau sebab kalimat bijak tersebut secara tak langsung menegaskan kepada saya betapa sia-sianya kegiatan sekolah yang saya lakukan selama ini...!!!
Dengan latar belakang sosial dan finansial yang saya punya, bukan sesuatu yang amat sukar untuk saya menyimpulkan bahwa saya kelak benar-benar tak akan pernah melihat bentuk jadi dari kursi yang tengah saya buat tersebut.
Jelas penampilan saya amat jauh dari kumuh. Tapi kenyataan bahwa saya selalu menjadi yang paling miskin di lingkungan pertemanan manapun, menjadikan mental saya keropos, karakter membusuk serta sikap tahu diri untuk tak terlalu jauh dalam bermimpi. Walau tentu saja saya tak pernah kehilangan harga diri karenanya. Namun kerapkali saya bertanya-tanya sendiri, masih adakah nilai dari sebuah harga diri, saat begitu banyaknya nilai-nilai kehidupan yang tak pernah bisa saya penuhi harga penukarnya? Bahkan saya tak pernah tahu bahwa selama ini ternyata saya tengah membuat kursi...!!!
Itulah beberapa hidden curriculum yang saya peroleh di sekolah, yang saya yakin adalah versi lain yang lebih anomali dari hidden curriculum yang sama yang pernah dianggap begitu penting oleh seorang Kak Seto Mulyadi, dalam sebuah liputan televisi beberapa saat sebelum beliau menjabat di Komnas Anak. Dan semua pengalaman sederhana yang saya peroleh dari sekolah tersebut, semakin memperjelas betapa masih terlalu banyak celah yang mesti ditambal dengan sesegera mungkin dalam Dunia Pendidikan kita. Jika sudah begini, rencana masa depan brilliant bagi siswa yang berpatokan pada hitungan matematis tentang biaya yang paling logis, masih perlukah kita anggap sebagai yang paling sempurna...? Terutama bila mengingat betapa efek buruk mental-psikologis yang berpotensi terjadi pada diri siswa, akan mengakibatkan penanganan yang jauh lebih memakan anggaran jika dibandingkan dengan penghematan biaya belajarnya.
Tapi dengan begitu banyaknya gambaran tak nyaman yang tertoreh dalam dunia sekolah, bukan berarti kita lantas bergegas mem-vonis habis dan memaknainya hanya serupa kotoran manusia. Ada begitu banyak kebaikan yang bisa ditemui di sana. Hanya memang logika umum yang terdapat di dalamnya tak bisa lagi dipertahankan.
Di Era Agraria mungkin kita hanya perlu mengecap pendidikan SR setara SD, yang setelah susah payah diraih dengan berjalan kaki ke Kabupaten, pasca kelulusan tentu jabatan Ulu-ulu Desa bukanlah perkara susah untuk diraih.
Atau pada Masa Industri dimana dengan takdzimnya kita terus saja melaksanakan jenjang pendidikan semampu keluarga, yang lantas setelah berakhir kita biarkan gurat nasib di telapak kiri menempatkan kita ke dalam takdir entah yang mana.