Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Serenada Kosong-Isi

4 Juli 2015   18:28 Diperbarui: 5 Juli 2015   08:15 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

kosong kosong kosong isi isi isi

kosong kosong isi isi isi isi

kosong isi isi isi isi isi

kosong menjelma isi

isi tak lagi kosong

kukosongkan isiku Kau isikan kosongku

aku kosong Kau isi aku isi Kau tetap isi

kosongku kini isi isiku memperjelas isiMu

isi aku dengan isiMu

kosongkan aku untuk isiMu

isi isi isi isi isi isi isi isi isi

Mu

 

Subhanallah!” tanpa sadar kata-kata itu keluar dari bibir Aini. Mulutnya sedikit terbuka, sementara kedua bola matanya seakan lupa berkedip.

Betapa lincahnya orang itu bercerita! Setiap kata yang terucap seperti mengalir begitu saja. Lembut, tenang, lalu menghentak tiba-tiba bagai air bah yang bergelora untuk kemudian merendah kembali. Menukik tajam seperti elang menyambar anak ayam.

Ketika kisah pertama berakhir, tanpa sadar Aini melepaskan nafasnya sekaligus. Begitu juga dengan penonton yang lain. Agaknya mereka juga merasakan hal yang sama seperti dirinya. Tegang juga terbakar.

***

Delapan kali sudah Aini menonton pertunjukan itu, entah pertunjukan apa namanya. Barangkali sebuah monolog sebab selama delapan kali menonton, ia hanya melihat orang itu tampil di atas panggung dan menceritakan beberapa kisah dengan sangat meriah. Mungkin juga sebuah pertunjukan puisi, atau nasyid? Entahlah. Ia merasa kehabisan persepsi. Barangkali saja ini hanya bentuk lain dari kesenian mendongeng. Bukankah kesenian memang selalu berubah seiring bergesernya masa? Tapi yang jelas ia amat menyukai pertunjukan itu. Pertunjukan yang, entah apa namanya, selalu memberi sudut pandang yang baru bagi pemikirannya.

Hari ini ia kembali menonton pertunjukan itu. Suasananya tetap sama. Sebuah panggung kecil tanpa dekorasi yang rumit dan macam-macam, sebuah mikrofon serta sebuah alas duduk. Yang agak menonjol mungkin hanya spanduk besar yang terpampang di belakang panggung. Bertuliskan ‘The Riso Show’, dengan dominasi warna hitam dan putih yang mencolok. Satu lagi, dan agaknya inilah yang paling Aini suka, pertunjukan itu sama sekali tak menyediakan kursi bagi penonton. Tak peduli tua atau muda, semuanya duduk di atas lantai yang hanya beralaskan tikar. Bahkan tak jarang tanpa alas sama sekali.

Aini melihat arloji di pergelangan tangannya. Kurang lima belas menit lagi. Sesaat ia melirik orang di sebelahnya. Dan ia tersenyum sendiri sebab yang dilirik ternyata juga melakukan gerakan yang sama: Melihat arloji, seperti khawatir pertunjukan akan tertunda karena arloji misalnya tiba-tiba macet. Samar-samar ia mendengar beberapa penonton bercakap-cakap.

“Yang kemarin lebih bagus lagi,” seseorang bersuara pelan, setengah berbisik.

“Oh, yang itu… Tapi aku lebih suka yang waktu itu, yang tentang itu…” timpal yang lainnya sambil menyebutkan beberapa judul.

“Ya, ceritanya memang bagus,” ucap yang lainnya lagi.

“Bukan ceritanya, melainkan cara ia membawakannya.”

“Benar…!”

Diam-diam Aini ikut menyetujui percakapan itu. Ceritanya memang bagus. Sederhana, tapi dengan pemaknaan yang sangat dalam dan menyentuh. Aini masih ingat kisah dan judulnya: Negeri Para Istri, Mimpi-Mimpi Mumpi, Senyum Sunyi Sumi, Selendang Dendang, Panah Tanpa Arah, juga kisah Ranu dan Seribu Satu Peluru. Aini masih ingat semuanya. Satu persatu. Bahkan jika ada yang meminta, ia merasa mampu untuk menceritakan kembali semuanya. Dengan alur dan gaya yang persis sama! Terutama kisah ‘Negeri Para Istri’ yang sangat ia sukai itu.

Lamunan Aini terputus tiba-tiba ketika seorang pemuda tampil ke atas panggung. Diliriknya arloji sekilas. Tepat pukul sepuluh. Tidak kurang dan tidak lebih. Beberapa saat kemudian ia terlihat serius mengikuti pertunjukan.

***

merpati itu singgah saat senja

menyimpan mendung

kepaknya jelas, tegas mengusir awan

tapi senja memang telah tua

dan mendung

tak lagi sekedar janin-janin hujan

 

: kita terlalu serakah

  bermimpi, lantas berlari

  menuju mati

 

langit terlalu tinggi, bisik merpati pada senja

bahkan sayap apiku

tak pernah mampu, walau sekedar merayapi

tepiannya yang keruh

 

Masih jelas terekam dalam ingatan Aini pertunjukkan pagi tadi. Betapa pemuda itu begitu bening menembangkan dialog-dialognya, ketika membawakan kisah ‘Senja dan Anak Dara’. Menembangkan? Lagi-lagi Aini merasa ragu. Ia hanya tahu suara pemuda itu yang bergetar. Sedikit mengayun seperti sedang bernyanyi. Tapi juga seperti sedang berpuisi. Dan kalimat-kalimat itu lantas saja menjelma adegan khayali di ruang kepalanya. Tentang seseorang yang terus menyongsong cita-citanya, tak peduli dengan segala keterbatasan yang ada.

“Dan senja yang tua… Terbenam seperti tiba-tiba saja… Tenggelam. Meninggalkan bayi-bayi sedih, yang… Memendam bisu dalam kelu yang tak lagi…  Lugu. Lalu terjatuh… Meluruh laksana air mata yang bergemuruh… Oleh dendam!” tanpa sadar Aini bergumam sendiri, mengulangi dialog terakhir dalam kisah itu.

“Siapa pemuda itu sebenarnya?

Pertanyaan itu kembali mampir ke dalam otak Aini. Entah sudah yang keberapa puluh kalinya. Dan untuk yang keberapa puluh kalinya pula ia tak mampu menjawab.

***

Kadang Aini berpikir bahwa Riso, pemuda itu, adalah seorang penyair. Minimal seorang sastrawan. Setiap usai menonton pertunjukkannya, Aini merasa seperti habis membaca buku-buku ‘besar’ karya pujangga dunia. Selalu saja ia merasakan sensasi itu. Sensasi yang ditimbulkan oleh lirik-lirik puitis milik Gibran, atau adegan dramatisnya Shakespeare. Walau kadang ia merasa agak terbebani, seperti yang ia rasakan ketika menikmati filsafat Attar yang penuh aroma Ketuhanan.

“Siapa dia sebenarnya?”

Lagi- lagi pertanyaan itu yang menggelitik batin Aini.

 “Atau… mungkinkah Riso juga cuma seseorang yang seperti dirinya?”

Lintasan tiba-tiba itu membuat Aini berkubang senyum sendiri. Masa lalu kembali ke hadapan, membawa jiwanya yang kala itu baru saja lulus SMU.

Keinginannya yang kuat untuk melanjutkan sekolah, harus berbenturan keras dengan senyum kesedihan pada wajah kedua orang tuanya. Mereka tak punya uang, Aini tahu itu tanpa harus mendengar langsung dari mereka. Dan mereka memang tidak pernah mengatakannya, seperti Aini yang tidak ingin menambah beban pedih itu dengan bertanya. Kecewa, mungkin. Tapi bukan putus asa. Justru ia merasa bersyukur karena Allah telah menitipkannya kepada mereka, sosok-sosok arif yang tak pernah sekalipun memberinya beban, walau ia adalah anak tertua mereka. Dan ia juga bersyukur karena Allah, sekali lagi, memberinya rejeki berupa otak yang, walaupun tidak sangat pintar, tapi jauh dari definisi bebal. Dengan rejeki itulah ia bisa menamatkan SMUnya. Kadang lewat beasiswa, kadang lewat kreatifitasnya membuat pernak-pernik unik.

Dan ketika ia lulus tanpa mampu kuliah, ia tidak merasa sedih. Bukan apa-apa, ia hanya merasa bahwa kesedihan saja tidak akan memberinya penyelesaian. Ia pernah berfikir untuk bekerja, tapi… kerja apa? Ia benci rutinitas. Terutama rutinitas yang hanya dihargai dengan selembar dua rupiah. Tanpa keamanan, juga tanpa masa depan. Dan ia tak cukup yakin untuk menaruh masa mudanya dalam dunia perburuhan, sambil diam-diam berharap nasibnya akan tersulap mengkilap seiring waktu yang terus berderap. Bukan seperti itu yang ia inginkan.

Aini paham betul betapa sukarnya menapaki mimpi lewat jalan otodidak. Tapi bukan berarti hal itu menjadikannya sebagai sosok yang goyah dan steril. Terombang-ambing bagai daun kering yang dipermainkan angin, untuk kemudian terdampar hanya sebagai sampah peradaban. Justru kesadaran itu yang memacunya untuk terus mengasah otak. Improvisasi sana dan sini, kreasi, inovasi, dan si-si lainnya yang mampu menumbangkan segala lemah yang ia miliki. Hingga akhirnya ia tersasar ke sebuah dunia yang penuh dengan kata-kata.

Bermula dari merebaknya isu pelarangan jilbab di dunia kerja, lalu meluas kepada perbudakan waktu serta sebaik-baiknya tempat bagi seorang wanita, timbullah sebuah pemikiran pada dirinya. Tentang sebuah konsep di mana ia tak akan terkekang oleh aturan yang menghinakan. Tentang sebuah konsep di mana ia tetap mampu menyumbang karya –serta terlibat dalam geliat perubahan zaman- tanpa harus meninggalkan rumah dan fitrahnya sebagai wanita. Dan ia menemukan semuanya di sana, di dunia kata-kata itu.

‘Tak ada yang tersisa dari seorang penulis kecuali sampah pemikirannya’ atau ‘Betapa rejeki seorang penulis tak akan lebih besar dari spasi-spasi yang ia jiwai’ sempat menguji keinginannya, menguji tekadnya apakah seluas udara atau hanya ruang hampa tanpa satupun unsur pemakna. Dan ia memenangkannya. Jujur, ia ingin besar. Tapi kehidupan yang terpantul dari cermin dirinya mengabarkan bahwa ia harus memulainya dari yang kecil. Dan tak ada yang besar tanpa sesuatu yang kecil, seperti juga tak ada yang kecil jika terus bergulir dengan raya. Bukankah dunia akan membuka jalan kepadanya jika ia mampu membuat sesuatu yang bernilai tinggi? Walau hanya membuat  jerat hewan pengerat, misalnya.

Tapi ia tak berhasrat jadi pengrajin perangkap tikus. Ia ingin menjadi seorang penulis. Sebagai konsekuensinya ia harus mempelajari lagi tata cara menulis, unsur  intrinsik dan ekstrinsik, keluar masuk toko buku dan perpus, lalu mulai membuat tulisan.

 Cerpen pertamanya berhasil ia buat, dan seterusnya hingga cerpen yang kesembilan belas. Tapi tak satupun yang lolos sensor media. Dan bukannya putus asa ia justru semakin tertantang. Ia pelajari kembali semuanya. Ia gali lagi. Hingga akhirnya ia temukan kesalahan pada jerih payahnya.

Benar bahwa cerpennya bagus secara tata bahasa dan kaidah sastra. Tapi ternyata itu saja belum cukup. Masih dibutuhkan keterpaduan yang baik antara bentuk dengan isi.

Kembali Aini membuat tulisan. Pertama, kedua, ketiga, cerpen-cerpennya kini lebih berisi. Tidak kering seperti dulu. Tapi baru pada cerpen yang ketujuh ia berhasil, dimuat pada sebuah majalah remaja Islami. Setelah itu, hampir delapan puluh persen dari gugat kata yang ia buat selalu termuat. Baik pada majalah maupun surat kabar. Juga beberapa puisinya yang metafisik, yang absurd tapi religius.

“Mungkinkah Riso juga seperti dirinya? Cuma lulusan SMU yang kemudian ‘terdampar’ di sebuah dunia yang bernama kesenian? Atau ia hanya seorang musafir yang -sambil lalu- mampir ke dalam seni pertunjukan dengan bakat alam yang dimiliki?”

 Dan semua pertanyaan itu tetap menjadi pertanyaan bagi Aini. Pun pada pertunjukan kali ini, ketika ia mencoba bertanya kepada salah satu panitia.

“Saya kurang tahu, Mbak. Coba saja tanya sama Mas Ama. Tuh, yang pakai baju hijau…” jawab panitia itu sambil menunjuk ke seseorang.

Aini kembali bertanya. Tapi sekali lagi ia merasa heran. Bahkan ketua panitiapun tidak tahu banyak tentang ‘orang nomor satu’nya! Ia hanya tahu namanya Riso, dan mereka membuat kesepakatan perpertunjukan. Hanya untuk menetapkan tanggal penampilan selanjutnya. Dan selebihnya… gelap!

“Entahlah… bahkan di pertunjukkan terakhir Riso tak banyak berkomentar. Satu  lagi yang agak aneh, ia menitipkan buku ini ke saya... seakan-akan telah saatnya bagi dia untuk pergi,” lanjut orang berbaju hijau itu seraya menunjukkan dua buah buku bersampul hitam.

Jalan Lain ke Surga, Aini membaca judul buku itu. “Boleh saya minta satu?”

Sejenak orang berbaju hijau itu terlihat ragu. Tapi akhirnya ia berikan juga sebuah kepada Aini.

Kerumunan penonton semakin bertambah, merubah suasana menjadi sumpek dan gerah. Aini sedikit mengeluh. Tanpa sadar ia menghitung jumlah penonton yang hadir. Dan ia mendapat hitungan yang hampir lima kali lipat dari jumlah yang kemarin. Pantas saja!

Sepuluh menit telah berlalu dari waktu yang semestinya. Tapi pemuda itu belum juga muncul di atas panggung. Ada apa? Tidak biasanya pemuda itu ngaret?

Aini melirik arloji yang dipakai penonton lain. Jarum panjangnya menunjukkan angka yang sama dengan miliknya. Berarti arlojinya tidak kecepatan. Berarti pemuda itu memang terlambat. Iseng ia meraih buku bersampul hitam tadi. Dibukanya lembar demi lembar buku itu. Dan ia sedikit terkejut ketika mendapati baris demi baris yang tertulis di sana. Puisi?

Alangkah hebatnya orang ini! Alangkah besar dan kuat improvisasinya! Bahkan hanya dengan puisi sepanjang satu halaman, ia mampu bercerita dengan sangat hidup… selama satu jam penuh!

Belum habis keterkejutan Aini ketika ia kembali menemukan pesona lain dalam buku itu. Ia menemukan semacam benang merah antara puisi yang satu dengan yang lainnya. Mirip sebuah diari, dengan kemasan yang begitu indah dan liris. Ada semacam ‘perjalanan’ yang ia temukan di sana. Semakin lama semakin religius. Juga semakin menyentuh. Nyanyi Sufi, Tarian Para Royyan, Senyum di Negeri Tanpa Mesum dan yang lainnya. Hingga pada lembar keduapuluh satu ia tergugu. Dibacanya sekali lagi puisi terakhir itu dengan perlahan. Dan ia semakin terdiam, larut dalam baris-baris pendek yang menari panjang dalam ruang kepalanya.

 

kosong isi kosong isi

kosong ketemu isi

isi kosongku lari

kosong tak lagi bohong

isi

tak lagi cuma mimpi

ke isiNya segala kosong: Kembali!

Tiga puluh menit berlari dari waktu yang terakhir kali, bersama pandang terakhir Aini kearah panggung. Juga kearah penonton. Sebuah kesadaran yang hening merasuk ke dalam benak Aini, dan menghasut dirinya untuk pergi dari tempatnya berpijak sekarang. Dari lokasi pertunjukan, juga dari lokasi pertunjukan hidup yang tengah dijajakinya. Dengan gerak perlahan ia bangkit, melangkah tenang, meninggalkan kerumunan yang semakin gelisah itu.

Dia telah pergi, bisik Aini pada dirinya sendiri. Pada kumpulan kata yang terus menarikan pagi dalam hatinya, dalam bilik penghambaannya yang semakin suci…

kosong isi kosong isi

kosongku isi Kau

isiku cuma isi Kau

Kau isi ku kosong Kau isi kosongku jadi isi Kau

isi isi isi isi isi isi isi isi isi

Mu

 

Thorn Village-15

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun