“Saya kurang tahu, Mbak. Coba saja tanya sama Mas Ama. Tuh, yang pakai baju hijau…” jawab panitia itu sambil menunjuk ke seseorang.
Aini kembali bertanya. Tapi sekali lagi ia merasa heran. Bahkan ketua panitiapun tidak tahu banyak tentang ‘orang nomor satu’nya! Ia hanya tahu namanya Riso, dan mereka membuat kesepakatan perpertunjukan. Hanya untuk menetapkan tanggal penampilan selanjutnya. Dan selebihnya… gelap!
“Entahlah… bahkan di pertunjukkan terakhir Riso tak banyak berkomentar. Satu lagi yang agak aneh, ia menitipkan buku ini ke saya... seakan-akan telah saatnya bagi dia untuk pergi,” lanjut orang berbaju hijau itu seraya menunjukkan dua buah buku bersampul hitam.
Jalan Lain ke Surga, Aini membaca judul buku itu. “Boleh saya minta satu?”
Sejenak orang berbaju hijau itu terlihat ragu. Tapi akhirnya ia berikan juga sebuah kepada Aini.
Kerumunan penonton semakin bertambah, merubah suasana menjadi sumpek dan gerah. Aini sedikit mengeluh. Tanpa sadar ia menghitung jumlah penonton yang hadir. Dan ia mendapat hitungan yang hampir lima kali lipat dari jumlah yang kemarin. Pantas saja!
Sepuluh menit telah berlalu dari waktu yang semestinya. Tapi pemuda itu belum juga muncul di atas panggung. Ada apa? Tidak biasanya pemuda itu ngaret?
Aini melirik arloji yang dipakai penonton lain. Jarum panjangnya menunjukkan angka yang sama dengan miliknya. Berarti arlojinya tidak kecepatan. Berarti pemuda itu memang terlambat. Iseng ia meraih buku bersampul hitam tadi. Dibukanya lembar demi lembar buku itu. Dan ia sedikit terkejut ketika mendapati baris demi baris yang tertulis di sana. Puisi?
Alangkah hebatnya orang ini! Alangkah besar dan kuat improvisasinya! Bahkan hanya dengan puisi sepanjang satu halaman, ia mampu bercerita dengan sangat hidup… selama satu jam penuh!
Belum habis keterkejutan Aini ketika ia kembali menemukan pesona lain dalam buku itu. Ia menemukan semacam benang merah antara puisi yang satu dengan yang lainnya. Mirip sebuah diari, dengan kemasan yang begitu indah dan liris. Ada semacam ‘perjalanan’ yang ia temukan di sana. Semakin lama semakin religius. Juga semakin menyentuh. Nyanyi Sufi, Tarian Para Royyan, Senyum di Negeri Tanpa Mesum dan yang lainnya. Hingga pada lembar keduapuluh satu ia tergugu. Dibacanya sekali lagi puisi terakhir itu dengan perlahan. Dan ia semakin terdiam, larut dalam baris-baris pendek yang menari panjang dalam ruang kepalanya.