isi isi isi isi isi isi isi isi isi
Mu
“Subhanallah!” tanpa sadar kata-kata itu keluar dari bibir Aini. Mulutnya sedikit terbuka, sementara kedua bola matanya seakan lupa berkedip.
Betapa lincahnya orang itu bercerita! Setiap kata yang terucap seperti mengalir begitu saja. Lembut, tenang, lalu menghentak tiba-tiba bagai air bah yang bergelora untuk kemudian merendah kembali. Menukik tajam seperti elang menyambar anak ayam.
Ketika kisah pertama berakhir, tanpa sadar Aini melepaskan nafasnya sekaligus. Begitu juga dengan penonton yang lain. Agaknya mereka juga merasakan hal yang sama seperti dirinya. Tegang juga terbakar.
***
Delapan kali sudah Aini menonton pertunjukan itu, entah pertunjukan apa namanya. Barangkali sebuah monolog sebab selama delapan kali menonton, ia hanya melihat orang itu tampil di atas panggung dan menceritakan beberapa kisah dengan sangat meriah. Mungkin juga sebuah pertunjukan puisi, atau nasyid? Entahlah. Ia merasa kehabisan persepsi. Barangkali saja ini hanya bentuk lain dari kesenian mendongeng. Bukankah kesenian memang selalu berubah seiring bergesernya masa? Tapi yang jelas ia amat menyukai pertunjukan itu. Pertunjukan yang, entah apa namanya, selalu memberi sudut pandang yang baru bagi pemikirannya.
Hari ini ia kembali menonton pertunjukan itu. Suasananya tetap sama. Sebuah panggung kecil tanpa dekorasi yang rumit dan macam-macam, sebuah mikrofon serta sebuah alas duduk. Yang agak menonjol mungkin hanya spanduk besar yang terpampang di belakang panggung. Bertuliskan ‘The Riso Show’, dengan dominasi warna hitam dan putih yang mencolok. Satu lagi, dan agaknya inilah yang paling Aini suka, pertunjukan itu sama sekali tak menyediakan kursi bagi penonton. Tak peduli tua atau muda, semuanya duduk di atas lantai yang hanya beralaskan tikar. Bahkan tak jarang tanpa alas sama sekali.
Aini melihat arloji di pergelangan tangannya. Kurang lima belas menit lagi. Sesaat ia melirik orang di sebelahnya. Dan ia tersenyum sendiri sebab yang dilirik ternyata juga melakukan gerakan yang sama: Melihat arloji, seperti khawatir pertunjukan akan tertunda karena arloji misalnya tiba-tiba macet. Samar-samar ia mendengar beberapa penonton bercakap-cakap.
“Yang kemarin lebih bagus lagi,” seseorang bersuara pelan, setengah berbisik.