Keinginannya yang kuat untuk melanjutkan sekolah, harus berbenturan keras dengan senyum kesedihan pada wajah kedua orang tuanya. Mereka tak punya uang, Aini tahu itu tanpa harus mendengar langsung dari mereka. Dan mereka memang tidak pernah mengatakannya, seperti Aini yang tidak ingin menambah beban pedih itu dengan bertanya. Kecewa, mungkin. Tapi bukan putus asa. Justru ia merasa bersyukur karena Allah telah menitipkannya kepada mereka, sosok-sosok arif yang tak pernah sekalipun memberinya beban, walau ia adalah anak tertua mereka. Dan ia juga bersyukur karena Allah, sekali lagi, memberinya rejeki berupa otak yang, walaupun tidak sangat pintar, tapi jauh dari definisi bebal. Dengan rejeki itulah ia bisa menamatkan SMUnya. Kadang lewat beasiswa, kadang lewat kreatifitasnya membuat pernak-pernik unik.
Dan ketika ia lulus tanpa mampu kuliah, ia tidak merasa sedih. Bukan apa-apa, ia hanya merasa bahwa kesedihan saja tidak akan memberinya penyelesaian. Ia pernah berfikir untuk bekerja, tapi… kerja apa? Ia benci rutinitas. Terutama rutinitas yang hanya dihargai dengan selembar dua rupiah. Tanpa keamanan, juga tanpa masa depan. Dan ia tak cukup yakin untuk menaruh masa mudanya dalam dunia perburuhan, sambil diam-diam berharap nasibnya akan tersulap mengkilap seiring waktu yang terus berderap. Bukan seperti itu yang ia inginkan.
Aini paham betul betapa sukarnya menapaki mimpi lewat jalan otodidak. Tapi bukan berarti hal itu menjadikannya sebagai sosok yang goyah dan steril. Terombang-ambing bagai daun kering yang dipermainkan angin, untuk kemudian terdampar hanya sebagai sampah peradaban. Justru kesadaran itu yang memacunya untuk terus mengasah otak. Improvisasi sana dan sini, kreasi, inovasi, dan si-si lainnya yang mampu menumbangkan segala lemah yang ia miliki. Hingga akhirnya ia tersasar ke sebuah dunia yang penuh dengan kata-kata.
Bermula dari merebaknya isu pelarangan jilbab di dunia kerja, lalu meluas kepada perbudakan waktu serta sebaik-baiknya tempat bagi seorang wanita, timbullah sebuah pemikiran pada dirinya. Tentang sebuah konsep di mana ia tak akan terkekang oleh aturan yang menghinakan. Tentang sebuah konsep di mana ia tetap mampu menyumbang karya –serta terlibat dalam geliat perubahan zaman- tanpa harus meninggalkan rumah dan fitrahnya sebagai wanita. Dan ia menemukan semuanya di sana, di dunia kata-kata itu.
‘Tak ada yang tersisa dari seorang penulis kecuali sampah pemikirannya’ atau ‘Betapa rejeki seorang penulis tak akan lebih besar dari spasi-spasi yang ia jiwai’ sempat menguji keinginannya, menguji tekadnya apakah seluas udara atau hanya ruang hampa tanpa satupun unsur pemakna. Dan ia memenangkannya. Jujur, ia ingin besar. Tapi kehidupan yang terpantul dari cermin dirinya mengabarkan bahwa ia harus memulainya dari yang kecil. Dan tak ada yang besar tanpa sesuatu yang kecil, seperti juga tak ada yang kecil jika terus bergulir dengan raya. Bukankah dunia akan membuka jalan kepadanya jika ia mampu membuat sesuatu yang bernilai tinggi? Walau hanya membuat jerat hewan pengerat, misalnya.
Tapi ia tak berhasrat jadi pengrajin perangkap tikus. Ia ingin menjadi seorang penulis. Sebagai konsekuensinya ia harus mempelajari lagi tata cara menulis, unsur intrinsik dan ekstrinsik, keluar masuk toko buku dan perpus, lalu mulai membuat tulisan.
Cerpen pertamanya berhasil ia buat, dan seterusnya hingga cerpen yang kesembilan belas. Tapi tak satupun yang lolos sensor media. Dan bukannya putus asa ia justru semakin tertantang. Ia pelajari kembali semuanya. Ia gali lagi. Hingga akhirnya ia temukan kesalahan pada jerih payahnya.
Benar bahwa cerpennya bagus secara tata bahasa dan kaidah sastra. Tapi ternyata itu saja belum cukup. Masih dibutuhkan keterpaduan yang baik antara bentuk dengan isi.
Kembali Aini membuat tulisan. Pertama, kedua, ketiga, cerpen-cerpennya kini lebih berisi. Tidak kering seperti dulu. Tapi baru pada cerpen yang ketujuh ia berhasil, dimuat pada sebuah majalah remaja Islami. Setelah itu, hampir delapan puluh persen dari gugat kata yang ia buat selalu termuat. Baik pada majalah maupun surat kabar. Juga beberapa puisinya yang metafisik, yang absurd tapi religius.
“Mungkinkah Riso juga seperti dirinya? Cuma lulusan SMU yang kemudian ‘terdampar’ di sebuah dunia yang bernama kesenian? Atau ia hanya seorang musafir yang -sambil lalu- mampir ke dalam seni pertunjukan dengan bakat alam yang dimiliki?”
Dan semua pertanyaan itu tetap menjadi pertanyaan bagi Aini. Pun pada pertunjukan kali ini, ketika ia mencoba bertanya kepada salah satu panitia.