Masih jelas terekam dalam ingatan Aini pertunjukkan pagi tadi. Betapa pemuda itu begitu bening menembangkan dialog-dialognya, ketika membawakan kisah ‘Senja dan Anak Dara’. Menembangkan? Lagi-lagi Aini merasa ragu. Ia hanya tahu suara pemuda itu yang bergetar. Sedikit mengayun seperti sedang bernyanyi. Tapi juga seperti sedang berpuisi. Dan kalimat-kalimat itu lantas saja menjelma adegan khayali di ruang kepalanya. Tentang seseorang yang terus menyongsong cita-citanya, tak peduli dengan segala keterbatasan yang ada.
“Dan senja yang tua… Terbenam seperti tiba-tiba saja… Tenggelam. Meninggalkan bayi-bayi sedih, yang… Memendam bisu dalam kelu yang tak lagi… Lugu. Lalu terjatuh… Meluruh laksana air mata yang bergemuruh… Oleh dendam!” tanpa sadar Aini bergumam sendiri, mengulangi dialog terakhir dalam kisah itu.
“Siapa pemuda itu sebenarnya?”
Pertanyaan itu kembali mampir ke dalam otak Aini. Entah sudah yang keberapa puluh kalinya. Dan untuk yang keberapa puluh kalinya pula ia tak mampu menjawab.
***
Kadang Aini berpikir bahwa Riso, pemuda itu, adalah seorang penyair. Minimal seorang sastrawan. Setiap usai menonton pertunjukkannya, Aini merasa seperti habis membaca buku-buku ‘besar’ karya pujangga dunia. Selalu saja ia merasakan sensasi itu. Sensasi yang ditimbulkan oleh lirik-lirik puitis milik Gibran, atau adegan dramatisnya Shakespeare. Walau kadang ia merasa agak terbebani, seperti yang ia rasakan ketika menikmati filsafat Attar yang penuh aroma Ketuhanan.
“Siapa dia sebenarnya?”
Lagi- lagi pertanyaan itu yang menggelitik batin Aini.
“Atau… mungkinkah Riso juga cuma seseorang yang seperti dirinya?”
Lintasan tiba-tiba itu membuat Aini berkubang senyum sendiri. Masa lalu kembali ke hadapan, membawa jiwanya yang kala itu baru saja lulus SMU.