“Cukupkah hanya dengan itu…?” lelaki itu bertanya lagi. “Sudah em…”
“Bersabarlah…!” tukasnya dengan pelan, teduh.
“Apakah ini teguran dari –Nya? Tapi…”
“Sudahlah…” Reda menukas lagi. “Bertawakallah, perbanyaklah istighfar…!”
***
Gerimis malam ini kembali meninggalkan hanya sepi. Meluruh satu demi satu membawa uap-uap kesunyian yang beku. Seperti malam-malam sebelumnya, selama empat puluh delapan purnama lebih, sebagian dari mereka terdampar lagi. Pada atap rumah, juga pada daun dan rerantingan pohon. Lalu setelah bergeliat-geliat sebentar dan berbagi kebisuan, mereka kembali luruh dan menyelusup serta-merta ke dalam bumi. Mengendap bersama jutaan tetes lainnya, yang juga membawa kesunyian.
Dan pada gerimis kali inipun lelaki itu kembali menunggui malam. Wajahnya masih terlihat resah. Begitu juga tatapannya. Berkali-kali ia menghembuskan nafas dengan keras.
“Alangkah cepatnya waktu berlalu,” lelaki itu bergumam sendiri. Sekali lagi ia hembuskan nafasnya keras-keras.
“Kita telah salah langkah, Kak…” suara perempuan itu terdengar sendu.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya.
“Maafkan aku tak hendak memperpanjang semua. Biar waktu yang menjawab… bila memang kita berjodoh,” suara perempuan itu lagi.