Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Belenggu Angan

3 Juli 2015   23:41 Diperbarui: 3 Juli 2015   23:41 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Lelaki itu hanya tersenyum seraya menyodorkan kresek bening yang dibawanya.

“Waah… apel melah! Aciiik…! Kita makan cama-cama yah, Pa… Tapi Papa mandi dulu…bau!”

Tertawa-tawa saja lelaki itu ketika si bocah mendorong tubuhnya sambil menutup hidung. Digodanya bocah itu, lalu mereka saling berkejaran dalam tawa.

Tapi kegembiraan memang hanya sesaat sebab kebahagiaan, memformat waktu hingga menjadi begitu ringkas. Malam kembali menjelma, membawa serta setumpuk kegelisahan pada jiwa lelaki itu.

Malam itu ia kembali mencumbui waktu.

***

“Apakah kebahagiaan harus selalu dicerna?” lelaki itu bertanya dengan gamang. Matanya menerawang. Jauh, melewati tubuh Reda yang duduk di hadapannya. Barangkali juga melewati dinding tempat mereka makan.

Alangkah rumitnya kehidupan! Alangkah rumitnya kehidupan yang dijalani lelaki itu! Dua jam sudah ia menemani lelaki itu makan. Dan sudah selama itu pula keningnya berkerut-kerut, mencoba memaknai lagi huruf demi huruf yang mengalir perlahan dari lidah lelaki itu.

Diam-diam Reda merasa menyesal karena terlalu sedikit belajar agama. Pemahamannya begitu terbatas. Ia hanya tahu sedikit tentang halal-haram, fikih shalat, muamalah, juga hal-hal yang bersifat dasar lainnya. Dan ia tahu bahwa itu saja belumlah cukup. Sebab, dari ceritanya, lelaki itu juga tak lebih bodoh dari dirinya.

Ketika lelaki itu kembali mengulang pertanyaannya, Reda hanya tersenyum tipis. Ditepuknya pundak lelaki itu dengan tulus.

“Bersabarlah…!” hanya kata-kata itu yang mampu ia tawarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun