“Kami tak pernah tinggal serumah!” lelaki itu menukas cepat. Suaranya sedikit meninggi.
“Lho? Jadi…? Anak itu…?”
Lelaki itu kembali mendesah. Ditatapnya lagi sosok kecil itu, yang semakin nyenyak mendekap mimpinya. Pelan-pelan ia menyelimutinya, mengecup keningnya, untuk kemudian merebahkan diri di sampingnya. Tidur.
Sayup-sayup masih ia dengar suara gerimis yang menitis satu-satu, sebelum semuanya kembali sepi.
***
Sore yang muram. Matahari terpasung mendung. Gumpalan-gumpalan yang biasanya berwarna putih itu kini berubah hitam, sehitam langit tempatnya melayang.
Lelaki itu mempercepat langkahnya. Ia tak ingin kehujanan di jalan. Masih tersisa dua kelokan lagi sebelum ia tiba di rumah.
Belum lagi ia menjejakkan kaki di halaman rumah ketika sesuatu menubruknya, mengganduli kedua kakinya dengan sangat erat. Sesuatu yang sangat ia sukai.
Selalu begitu. Selalu ketika ia pulang kerja, buah cintanya itu menubruknya. Tepat ketika ia baru memasuki halaman. Barangkali bocah itu telah lama menantinya di teras. Hingga ketika ia muncul, bocah itu langsung berlari menyongsongnya sambil berteriak ‘papa’ keras-keras. Dan, seperti biasa, ia biarkan pelukan kecil itu memberati langkahnya. Ia lingkarkan lengannya pada leher mungil itu, untuk kemudian masuk ke dalam rumah, dengan terseok.
Tapi kali ini lelaki itu bersikap lain. Setelah mengecup kening dan rambutnya, di bopongnya bocah itu ke dalam. Langkahnya sedikit tergesa, berpacu dengan titik-titik yang mulai merintik dari langit.
“Papa bawa oleh-oleh apa hali ini?” tanya si bocah sesampainya di dalam rumah.