Lelaki itu kembali menggelengkan kepalanya, berharap semua bayang terhempas bersama gerak itu.
Tapi bayang itu tak hilang. Dilihatnya perempuan itu pergi, menyisakan jejak kosong pada hati dan kediriannya.
Sekali lagi lelaki itu menggelengkan kepalanya. Berhasil. Bayangan perempuan itu sirna. Tapi tak lama kemudian sebuah bayangan yang lain menjelma.
“Mengapa tak kau nikahi saja dia waktu itu…?”
“Saat itu kami masih sangat muda, Da, masih kuliah. Tak ada persetujuan orang tua, juga tak ada uang…”
“Tapi kau telah bekerja kini…”
Dan telah sangat terlambat, batin lelaki itu.
Tiba-tiba saja lelaki itu seperti mendengar suara pintu yang terbuka. Tapi kali ini ia tak bereaksi. Hanya diam. Diam.
“Barangkali kebahagiaan memang harus selalu dicerna?” gumamnya setelah sekian lama terlarut dalam diam. Kelelahan membayang jelas di wajahnya. Sebuah kelelahan yang besar buah pergulatannya yang tak kunjung usai. Terhadap kenangan, terhadap kumpulan-kumpulan waktu yang semakin erat membelenggu. Dan malam ini ia bertekad untuk mengakhiri semuanya.
Dengan langkah gontai lelaki itu meninggalkan teras. Melewati pintu, ruang tamu, lalu masuk ke dalam kamar. Dan ia tak menemukan siapapun di sana.
Dalam lelah yang sangat lelaki itu merebahkan diri. Sebuah gumam masih sempat terdesah dari lidahnya, sebelum akhirnya ia benar-benar terlelap.