Lelaki itu hanya tersenyum seraya menyodorkan kresek bening yang dibawanya.
“Waah… apel melah! Aciiik…! Kita makan cama-cama yah, Pa… Tapi Papa mandi dulu…bau!”
Tertawa-tawa saja lelaki itu ketika si bocah mendorong tubuhnya sambil menutup hidung. Digodanya bocah itu, lalu mereka saling berkejaran dalam tawa.
Tapi kegembiraan memang hanya sesaat sebab kebahagiaan, memformat waktu hingga menjadi begitu ringkas. Malam kembali menjelma, membawa serta setumpuk kegelisahan pada jiwa lelaki itu.
Malam itu ia kembali mencumbui waktu.
***
“Apakah kebahagiaan harus selalu dicerna?” lelaki itu bertanya dengan gamang. Matanya menerawang. Jauh, melewati tubuh Reda yang duduk di hadapannya. Barangkali juga melewati dinding tempat mereka makan.
Alangkah rumitnya kehidupan! Alangkah rumitnya kehidupan yang dijalani lelaki itu! Dua jam sudah ia menemani lelaki itu makan. Dan sudah selama itu pula keningnya berkerut-kerut, mencoba memaknai lagi huruf demi huruf yang mengalir perlahan dari lidah lelaki itu.
Diam-diam Reda merasa menyesal karena terlalu sedikit belajar agama. Pemahamannya begitu terbatas. Ia hanya tahu sedikit tentang halal-haram, fikih shalat, muamalah, juga hal-hal yang bersifat dasar lainnya. Dan ia tahu bahwa itu saja belumlah cukup. Sebab, dari ceritanya, lelaki itu juga tak lebih bodoh dari dirinya.
Ketika lelaki itu kembali mengulang pertanyaannya, Reda hanya tersenyum tipis. Ditepuknya pundak lelaki itu dengan tulus.
“Bersabarlah…!” hanya kata-kata itu yang mampu ia tawarkan.