Seakan tak ada lagi hal lain yang lebih penting untuk ditanyakan dan terutama sekali: Dilaksanakan. Seakan cukup dengan bertanya maka hilanglah semua jelaga serta berdatanganlah segala yang indah pengganti dari semua, layaknya Ayyub yang kembali mendapatkan segalanya setelah kehilangan segalanya.
“Alhamdulillah Allah masih sayang sama kamu, Bayangan, sehingga kamu diberi banyak uji serta coba oleh-Nya...”
Begitu ucap sosok mungil yang sorot matanya pernah membuat saya amat gelagapan di masa lalu itu, beberapa tahun kemudian pasca kejadian, yang selain menambah sekian strip kesadaran saya untuk lebih mengikhlaskan semua tanpa perlu berfokus pada dendam terhadap ‘sosok-sosok perantara’ yang turut menjadi sebab terjadinya Black Moment, juga menimbulkan sedikit perasaan geli pada watak saya yang memang dari sananya agak slebor itu, dengan menerbitkan sebuah tanya yang hingga kini masih saja tetap terasa aneh bagi diri dan hati saya,
“Apakah dengan cara seperti ini Allah menunjukkan kasih sayang kepada hamba-Nya...?! Dengan cara sekeras juga setajam ini...???!”
Sebuah pertanyaan yang setelah terbit dalam hati tak pernah lagi saya usak-usik sebab bukan urusan saya apakah Allah ingin menunjukkan kasih sayang ataupun kemurkaan-Nya dengan cara bagaimana. Karena saya memang masih belum paham benarkah semua adalah kasih sayang-Nya...? (aamiin...) Atau justru (naudzubillah min dzalik) adalah kemurkaan-Nya...? Sebuah ke-belum paham-an yang mungkin akan tetap dan terus menjadi ketidak pahaman mutlak bagi segala keterbatasan logika yang memang saya punya ini, hingga beberapa waktu kemudian ada sosok lainnya yang tanpa sengaja berkata,
“Ujian dari Allah. Teguran juga dari Allah. Jadi apa perlunya pusing-pusing dipikirkan sangat...? Dan kenapa pula tidak kita jalani saja dengan sebaik-baiknya serta penuh rasa khusnudzon...?”
Tahukah kau siapa yang berbicara terakhir tadi? Bukan siapa-siapa. Cuma salah satu dari sekian banyak teman aneh saya yang masih tersisa. Sosok yang bahkan saya sendiripun tak berani menentukan hitam atau putihnya dia mengingat hitam yang terukir dengan sangat jelas di jidatnya saya tahu bukanlah akibat dari kejedot pintu berkali-kali pada tempat yang sama, melainkan buah dari gerak penghambaannya kepada Sang Pencipta yang saya yakin jauh lebih konsisten serta lebih intens dari saya. Sementara track record-nya sebagai penikmat tumbuhan pembius juga jelas lebih mumpuni dari seorang saya, yang alhamdulillah kabar terakhir yang mampir ke ruang telinga bahwa dia telah amat jarang menkonsumsinya.
Bahkan sosok yang seperti dia ternyata jauh lebih arif dalam menyikapi keadaan! Pun jika dibandingkan dengan saya, yang seketika memaksa saya menampar diri sendiri berkali-kali dengan hujat demi gugat buah keberagaman pengalaman saya yang masih saja belum berhasil menjadi guru.
“Fabiayyi-aalaa irobbikumaa tukadzdziban...”
Dan nikmat Tuhanmu manakah yang dapat kamu dustakan...?
Benar-benar tak pernah ada yang sia-sia atas apapun yang terjadi dalam hidup, karena minimal akan diperoleh setetes hikmah, bagi orang-orang yang memang tak bosan untuk bertafakur serta meng-i’tibar-kannya.