Tapi jangan coba-coba menyuruh saya untuk bertanya atau meminta kepada Allah Sang Segala, karena saat ini, saya tengah mati-matian mencoba untuk menipu-Nya.
“Haahhh...! Kau hendak menipu Allah, Bayangan...? Sudah gilakah kau..? Ataukah kau tak paham bahwa Allah adalah Maha Segalanya...? Yang tak akan mungkin bisa ditipu...? Apalagi hanya oleh orang seperti kau yang cuma segini doank...!!!”
Saya jawab, insya Allah bisa. Karena selain semuanya hanya tentang sudut pandang mana yang kita gunakan, bahkan manusiapun tak terlepas dari perbedaan tingkat serta derajat.
Jika kita baru tiba kepada tingkatan mata, tentu kita tak ubahnya bocah kecil yang melihat bintang di langit lalu berkata bahwa bintang itu kecil, karena kita memang hanya sekedar menggunakan mata. Sementara bila kita telah mencapai tingkatan otak, maka secara otomatis pula kita akan menjelma layaknya cerdik hebat yang melihat bintang di langit lalu berkata bahwa bintang itu besar, karena kita memang memiliki pengetahuan tentang hal itu dengan cukup matang. Hingga wallahu a’lam dapatkah kita memiliki tingkatan hati, dimana kita menjelma seorang cerdik bijak yang penuh kepahaman, yang melihat bintang di langit namun tetap berkata bahwa bintang itu kecil walaupun kita tahu bintang itu besar. Karena pada titik ini tentu saja Allah menjadikan kita beroleh limpahan rejeki berupa pengetahuan, yang paham bahwa tidak ada apapun yang besar jika dibandingkan dengan Kemaha Besaran-Nya…^_
“Lhooo...?! Jika memang sudah tahu seperti itu, bagaimana mungkin kau tetap berkeras ingin menipu Allah...?!!! Bagaimana bisa...?!!! Cara sengak dan konyol slebor apa lagi yang ingin kau lakukan, Bayangan...?!!!”
Saya akan menipu Allah dengan cara terbaik yang saya miliki, ucap saya perlahan. Sendu. Teringat besarnya dosa yang kerap lalai saya seka, hidup yang tak pernah sekalipun menjadi guru, serta begitu banyak warna abu yang betapa inginnya saya agar semua itu dapat terhapus dari diri dan hidup saya.
“Saya akan menipu-Nya... dengan cara merayu-Nya… Melalui puji serta doa dalam setiap decap kata yang tak akan pernah usai saya rangkai. Lagi dan lagi. Terus... dan insya Allah akan selalu terus...” ucap saya, sambil diam-diam dan dengan suara yang teramat lirih mendawamkan kata demi kata tanpa seonggokpun rasa bosan.
“Ilahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa’alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafirudz dzanbil ‘adhimi...”
“Wahai Tuhanku, hamba ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi hamba tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka, maka terimalah taubat hamba dan ampunilah dosa-dosa hamba, karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar...”
Saya adalah Bayangan. Seonggok sampah waktu yang entah kenapa masih saja gemar bermasturbasi kata-kata. Sosok sengak dengan jutaan ambisi yang terus tak berhenti menagih untuk direalisasi. Figur slebor dengan segala kehebatan semu yang tak pernah bisa berkutik jika dikerahkan untuk melakukan sesuatu yang amat alami dan sederhana, seperti menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya menikah lantas beranak pinak seperti marmut atau barangkali saja cecurut. Seorang pecundang terhebat yang sempat terekam oleh sejarah. Dan inilah sampah pemikiran saya. Selamat menikmati sup ceker untuk jiwa...^_
Kompasiana, medio 2015.