Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cara Terbaik Menipu Tuhan

3 Juli 2015   21:11 Diperbarui: 3 Juli 2015   21:11 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Betapa tidak? Semuanya hanya seperti ketika banyak orang culas yang menyiasati perbedaan kurs antara Bursa Efek Jakarta dengan Bursa Efek Surabaya, sebelum keduanya kemudian disatukan menjadi Bursa Efek Indonesia sebagai antisipasi yang amat terlambat dari semuanya. Memindahkan sejumlah besar mata uang dari tempat kedua ke tempat pertama, dan mendapatkan dividen haram dari selisih kedua tempat yang masih berada di Indonesia tersebut, untuk kemudian kembali ke titik awal dan mengulanginya lagi. Dengan atau tanpa subyek pelaku yang sah secara hukum. Dan besar dugaan saya bahwa keadaan itu dimanipulasi serta dipelihara dengan amat sangat oleh ‘tangan-tangan kekar yang tak terlihat tapi terendus itu’. Sebab bagaimana mungkin cacat sistem sejelas itu tak diketahui oleh ekonom-ekonom terbaik negeri ini sejak awal?  Apalagi menyangkut finansial. Alias uang. Bin duit. Yang terlihat amat aneh juga janggal sangat, bahkan oleh seorang gelandangan tak berpendidikan seperti saya sekalipun. Meraup dividen, tanpa perlu perduli serta dipusingkan dengan segala macam spread serta istilah-istilah perpialang-sahaman yang lain.

 Tapi dari dosa kolektif terencana itulah kemudian kita dapat mereplikanya, untuk seterusnya diterapkan pada lini usaha pada level yang lebih ke bawah, yang biasanya memang jauh lebih marginal, dalam semua arti.

 Tidak percaya? Silakan baca ulang memoar jilid 1 saya tentang bab ketika kita memindahkan sebagian kecil pasokan ikan Cakalang yang amat berlimpah di TPI Muara Baru ke Tangerang, yang jelas-jelas hanya berjarak kurang dari dua jam. Tentu saja lengkap dengan alokasi perkiraan dividennya yang sekitar lima ratus ribu rupiah perhari, yang artinya kita mendapatkan passive income bersih tak kurang dari 15 juta perbulan! Yang dalam bahasa saya, dapat membuat anda mampu untuk ‘nikah ala kampung’ setiap bulan sebanyak yang anda inginkan..^_

 Atau memindahkan benda dengan nama kumuh ‘PE Tikus’ dari wilayah Banten ke Semarang, dengan margin keuntungan tiap pengiriman satu truk seberat 6 ton tak kurang dari 15 juta rupiah, dengan maksimal pengiriman harian yang –dengan metode tertentu- dapat kau atur hingga 3 mobil ke atas, sesuai dengan kesigapanmu menguasai teknik lobby dan negosiasi di lapangan.

Dan tidak seperti banyak pertanyaan bertabur khawatir yang diajukan oleh rekan saya yang murni pemulung, saya menjamin bahwa bisnis ini dapat dijalankan untuk masa waktu yang nyaris abadi. Sebab saya tahu yang mereka tidak tahu. Sebab semua memang berhubungan dengan sebuah pabrik kertas yang bisa dikatakan sebagai yang terbesar di Indonesia, dengan masa panen bahan baku hanya 6 tahun berdasarkan keunggulan iklim. Sementara untuk pabrik yang sama di negara yang berbeda di barat sana, mereka butuh sekurang-kurangnya 40 tahun untuk memanen bahan baku yang serupa. Adakah negeri yang lebih kaya dari negeri ini? Dari Indonesia? Dan hampir pada semua segi kehidupan?

 “Dari Banten ke Semarang terlalu jauh, Bayangan...” begitu mungkin keluh seseorang entah siapa, karena barangkali dia memang sosok-sosok manusia Indonesia yang amat pemalas serta jauh dari bau-bau kreatif sedikitpun. Sebab dengan sedikit liukan saya tahu pula bahwa tak perlu jauh-jauh menggotong benda kumuh nan berduit itu ke Semarang segala macam. Karena bahkan masih di Banten yang sama hal itu dapat pula berlaku. Jadi... mengapa pula mesti dipusingi dengan pengeluaran dan atau segala rupa pemikiran yang tak berguna itu...?!!!

 “Bagaimana dengan lini usaha yang lebih ke bawah, Bayangan? Dengan kultur yang amat jauh berbeda seperti di desa nenek saya, misalnya...?”

 Lagi-lagi tanya menyebalkan itu yang justru terlontar dari sosok-sosok yang seharusnya mampu untuk menjadi teladan. Setidaknya teladan bagi keluarga dan bagi dirinya sendiri. Sebab sejatinya memang tak ada yang berbeda dalam dunia usaha. Bahkan juga dalam dunia-dunia lainnya yang pernah dikenal oleh manusia. Karena memang tak akan pernah ada sesuatu yang benar-benar baru... di bawah matahari kita!

 Cukup dengan menjentikkan jari ke hidung saya ajak kau ke banyak desa, dimana harga sekam (kulit padi, bahan pembakar batu bata dan sebagainya, Red) yang cuma dihargai lima ribu rupiah perkarung besar itu, seketika naik tiga kali lipat nilainya jika kau pindahkan ke desa tetangga yang merupakan sentra produksi Kelanting (sejenis penganan cemilan khas daerah, Red) yang berjarak sekitar 2 jam.

Atau bagaimana membudi-daya ayam pedaging dan atau lele sangkuriang yang memang menyerap modal tidak sedikit itu... dengan tanpa mengeluarkan modal sama sekali! Yang setelahnya, silakan bernyaman-nyaman meresapi jerih payah dari dua agrobisnis kerakyatan tersebut, karena memang keduanya di-setting untuk bisa panen perbulan. Pada beberapa kreativitas bahkan bisa dipanen hanya dalam tempo sepuluh hari saja. What a wonderful life…!!!

 Masih dengan pendekatan sederhana yang sama kita dapat memindahkan beberapa kwintal jagung ke daerah yang berada sedikit lebih ke Timur, dengan selisih minimal 500 rupiah perkilogram dikalikan sekian kuintal maka jelas nyonya di rumah tak akan banyak mendesah seberapa lamapun kita habiskan waktu dengan hanya berleyeh-leyeh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun