Mohon tunggu...
Ahmad Afandi
Ahmad Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh

Masih Belajar Menulis (Kembali) !!

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Merebut Desa - Bagian 4

23 Oktober 2024   16:02 Diperbarui: 23 Oktober 2024   16:43 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa anggota laskar datang mendekat. Mereka memakai pakaian silat yang sama dengan Inani. Baju kuning dengan celana cokelat.

Awalnya cuma empat orang. Namun saat tahu apa yang dibawa Inani dan kawannya, mereka langsung tinggalkan pekerjaan masing-masing saat itu juga. Datang berjubel pula macam gerombolan semut kuning yang berebut gula.

Mereka tampak tidak menyangka bahwa Inani dan kawannya berhasil membawa pulang bandit Hutan Larangan dan orang asing bercaping bambu dengan pakaian hitam yang lusuh.

Dimas balas pandangan asing itu dengan senyuman dan para anggota laskar yang lain balas dengan kebingungan. Meskipun disambut dengan penuh kebingungan, tetapi Dimas yakin bahwa dirinya akan diterima dengan baik.

Inani mendekati salah satu gadis yang berdiri di barisan depan lalu berkata, "tolong panggilkan ketua sekarang juga!" 

Gadis itu menjura dan berbalik pergi. Melewati tubuh anggota laskar lain yang saling berdesakan.

Beberapa saat kemudian, seorang pria muncul dari balik kerumunan. Pria berjanggut dan kumis tipis memakai jubah hitam yang menjuntai ke bawah, tetapi tidak sampai menyentuh tanah.

"Ketua, kami berhasil menjalankan misi dan membawa tawanan untuk digali informasinya," kata Inani sambil menjura pada ketuanya.

Si Ketua lalu tersenyum dengan puas dan memberikan selamat padanya. Para anggota laskar yang lain bersorak gembira. Turut serta memberikan selamat kepada Inani.

"Aku tidak menyangka kalian akan berhasil membawa tawanan ke sini. Misi kalian hanya untuk mata-mata dan mencari informasi. Tapi, kalian kembali dengan informan," puji si ketua dengan nada bangga.

"Kami tidak bisa lakukan ini semua tanpa pemuda ini, Ketua. Dialah yang membantu kami tadi." Inani lalu berpaling ke arah Dimas.

Dimas segera menjura. Ia cukup terhormat untuk bertemu langsung dengan ketua laskar yang Inani ikuti.

Si ketua manggut-manggutkan kepala. Ia lalu menyuruh dua pria yang membopong si bandit untuk pergi. Bersama dengan beberapa orang lain, bandit yang masih kaku dan tidak sadarkan diri itu dibawa ke suatu tempat khusus yang ditunjuk oleh ketua sebelumnya.

"Terima kasih atas bantuanmu, pemuda baik. Mari, masuklah bersama kami terlebih dahulu," ajak si ketua laskar untuk masuk ke dalam lingkungan markas.

*** 

Dimas bersila menikmati buah lengkeng di dalam balai bambu. Balai tersebut tidak terlalu luas, mungkin hanya muat delapan orang. Tempat masuknya pun hanya ada satu di sisi kiri berupa sebuah pintu. Pada sisi seberang kanan terpasang sebuah bendera kuning besar dengan kepala naga di tengahnya. 

Kendi kecil diambil lalu ia kucurkan airnya dalam sebuah gelas bambu. Ditenggaklah air itu cepat-cepat. Ia kemudian mengambil beberapa biji lengkeng lagi. Rasa manis dan tebalnya daging buah membentuk kenikmatan rasa yang luar biasa. Mulutnya penuh dengan daging lengkeng hingga ia lupa telah menghabiskan sepiring.

Si ketua dan Inani kemudian datang menghampiri. Keduanya duduk berseberangan dengan Dimas.

"Aku tahu kau pasti suka dengan buah lengkeng itu. Meskipun buah itu tumbuh liar, tetapi rasanya cukup manis dengan dagingnya yang tebal," ucap si ketua dengan tertawa kecil. Ia lalu memanggil anggota laskar yang lain dan memintanya mengambilkan suguhan tambahan.

Merah muka Dimas. Betapa tololnya ia menghabiskan sepiring buah di rumah orang. Inani hanya tertawa sambil menutupi mulutnya. Tak lama kemudian suguhan berupa buah pisang dan lengkeng lagi sudah tiba.

"Inani menceritakan padaku bahwa kau sudah membantu dirinya dalam melawan para bandit. Kami sangat berterima kasih padamu atas bantuan tersebut. Sekarang, bolehkah aku mengenal dirimu, Saudara?" kata si ketua sambil mengupas sebuah pisang dan memakannya.

Dimas menjura dan meminta maaf atas berlaku kurang sopan. Si ketua tertawa lagi dan mempersilakan Dimas untuk menyantap suguhan yang ada dengan suka-suka.

"Nama saya Dimas Pradana, Tuan. Saya adalah anak lurah Desa Banyuates." Dimas memperkenalkan diri sambil mengambil satu per satu lengkeng yang disajikan lalu memakannya.

Si ketua manggutkan kepala. Dalam keadaan mulut masih penuh ia bertanya, "Anak seorang lurah, ya?Bagaimana dengan orang tuamu?"

Berdebarlah jantung Dimas. Rasa lengkeng di mulut berubah hambar seketika. Luka lama seperti disayat lagi saat mendengar pertanyaan itu. Sambil tertunduk Dimas menjawab, "Mereka tewas di tangan Kebo Alas, Tuan."

Mendengar jawaban itu si ketua tampak menyesal dan turut berbelasungkawa. Dimas maklum karena mereka sendiri tidak mengetahui hal tersebut sebelumnya. Namun, pertanyaan itu seperti pedang yang menusuk lukanya hingga menganga. Perih sekali.

"Perkenalkan, Dimas, namaku adalah Wirapati dan wanita di sebelahku ini adalah Inani. Kau pasti sudah mengenal dirinya dan nama organisasi kami, kan?" Si Ketua Wirapati memperkenalkan dirinya. Tampaknya ia mencoba untuk segera mengganti topik pembicaraan.

Dimas mengangguk. Ia singkirkan rasa sedihnya yang membuat pertemuan itu menjadi canggung. 

"Laskar Naga Kuning adalah koalisi pasukan perlawanan yang terdiri dari beberapa desa di sekitaran Gunung Naga. Aku sendiri berasal dari Desa Jambangan. Kau pasti tahu desa itu, Dimas," ujar Ketua Wirapati.

"Desa Jambangan? Maksud Anda desa yang berbatasan dengan Hutan Larangan itu?"

"Benar, Dimas. Desaku adalah desa pertama yang menjadi sasaran gerombolan Kebo Alas itu. Semenjak mereka menguasai Jambangan, aku dan adikku, Bagaspati, larikan diri jauh dari desa. Dalam keadaan bergerilya itulah aku mendirikan laskar ini untuk merebut kembali tanah kelahiranku."

Dimas mencoba mengingat kembali. Jikalau Laskar Naga Kuning ini merupakan organisasi yang menaungi pasukan perlawanan yang ada, maka Ketua Wirapati mungkin tahu dengan laskar yang pernah ia ikuti dahulu?

"Hem, apakah maksudmu orang-orang yang memakai baju hitam dengan udeng coklatnya?" Ketua Wirapati coba menebak.

"Benar, Ketua. Aku tidak tahu siapa ketuanya, tetapi penggantinya adalah orang bernama Tsabit."

"Oh, mereka adalah Laskar Orang Batang. Ketuanya bernama Prana sementara Tsabit itu adalah wakilnya. Waktu itu, kami belum bisa menjalin hubungan dengan mereka karena terlalu sibuk menghalau serangan di desa lain. Aku sangat menyesal tidak bisa menyelamatkan mereka," jawab Ketua Wirapati.

Dimas juga merasakan penyesalan yang sama. Saat masih bergabung dengan laskar tersebut ia begitu lemah. Tidak mampu membantu pada saat dibutuhkan. Tidak mampu menyelamatkan nyawa kawan-kawannya. Mereka semua mati sia-sia.

"Tetapi," sambung Inani, "Kita sekarang berhasil menyatukan diri dengan laskar lain di sekitaran Gunung Naga. Kekuatan yang kita miliki akan terus tumbuh. Perlawanan akan terus dikobarkan. Aku yakin kita bisa mengalahkan para bandit itu."

Ketua Wirapati mengangguk dan berkata, "Laskar perlawanan dari seluruh desa di Gunung Naga sudah bergabung. Aku pun cukup optimis seperti dirimu, Inani. Namun, musuh juga memiliki kekuatan yang sama besarnya. Kita jelas tidak boleh gegabah."

Semangat Dimas mulai membuncah. Ia tidak menyangka bahwa kekuatan perlawanan terus tumbuh selama tiga tahun inj. Seluruh desa telah bersatu padu melawan tirani para bandit. Dimas pun tidak mau membuang kesempatan.

"Ketua, izinkan aku berjuang bersamamu untuk melawan para bandit itu. Aku juga ingin membebaskan desaku Banyuates. Aku tidak ingin kematian orang tuaku sia-sia, Ketua. Izinkan diriku bergabung dengan laskarmu," pinta Dimas dengan sedikit membungkuk dan mengatupkan dada.

Ketua Wirapati segera anggukkan kepala dan menyetujui permintaannya. Tampaknya Ketua Wirapati tahu akan potensi kekuatan yang dimiliki Dimas. 

Dimas begitu senang lalu menjura untuk ucapkan terima kasih. Akhirnya, permintaan terakhir orang tuanya bisa terwujud segera. Desa Banyuates segera dapat dibebaskan.

"Inani, aku minta tolong kepadamu untuk mengantar Dimas ke tempat dua orang itu!" perintah Ketua Wirapati.

"Maaf, Ketua. Apakah dua orang yang bergabung dua minggu lalu?"

"Benar, Inani. Segera kau laksanakan, ya!"

Inani menjura. Ketua Wirapati memberikan pelukan dan ucapan selamat pada Dimas lalu undurkan diri. Kini, Dimas secara resmi menjadi bagian dari Laskar Naga Kuning.

Sebelum keluar dari balai bambu, Inani meminta Dimas untuk menunggu sebentar. Ada sesuatu yang hendak ia ambil sebentar. Dimas pun mengangguk dan menunggu.

Setelah menghabiskan sepiring lagi buah lengkeng, Inani kembali dengan membawa sebuah tas kain. Ia tidak sendiri, tetapi diikuti oleh seorang wanita lain dibelakangnya yang membawakan sepasang sepatu kulit hitam.

"Bersihkan dirimu dengan mandi lalu pakailah ini," kata Inani sambil menyodorkan tas kain dan sepatu kulit hitam.

Dimas penasaran dan membuka tas tersebut. Betapa senangnya ia ketika tahu isi di dalamnya. Baju kuning dengan motif garis cokelat di pinggirnya. Lambang kepala naga kecil juga terjahit rapi pada bagian dada kiri. Tidak lupa celana panjang dan sabuk kain berwarna sama yaitu cokelat gelap.

***

Dimas tidak henti-hentinya melihat dan meremas pakaian silat barunya. Ada rasa nyaman dan bangga. Nyaman karena kain pakaiannya lembut. Bangga karena bisa menjadi bagian organisasi perjuangan.

Ia lalu kenakan caping, kalungkan udeng, dan sampirkan pedang di pinggang kirinya. Perjuangan sesungguhnya akan dimulai.

"Kau tampak gagah memakai baju itu. Lebih mirip pejuang keadilan daripada seorang yang tersesat di hutan selama berbulan-bulan," ledek Inani yang sudah dari tadi menunggu di depan balai.

Merah muka Dimas. Bajunya yang dulu memang sudah pudar warnanya dan lusuh. Fokus latihan pada pengendalian tenaga dalam membuat ia tidak memperhatikan pakaian yang dikenakannya.

"Terima kasih, Nyonya, telah memberi kesempatan untuk bergabung di sini. Aku harap kau berse— ."

"Panggil saja aku Inani. Aku masih terlalu muda untuk dipanggil nyonya," sela Inani sambil lambaikan tangan pada Dimas. Isyarat agar Dimas mengikutinya.

Sungguh bodohnya Dimas. Wanita yang masih muda ini ternyata tidak ingin dipanggil nyonya. Seharusnya ia mencari panggilan lain.

Tapi, kenapa waktu itu ia tidak tersinggung waktu kupanggil nyonya?Pikiran itu membuatnya bingung.

Setelah melewati beberapa tenda dan pondok bambu, mereka berdua sampai di bagian belakang markas. Tepat sebelum pagar kayu yang membatasi markas itulah terdapat sebuah tenda hijau. Dua orang tengah duduk di atas tikar di depan. Satu bertubuh kurus dan satunya lagi gemuk. Mereka tampak mengobrol dengan serius.

"Tunggu di sini, ya. Aku akan memanggil mereka," pinta Inani. Ia pun segera melangkah mendekati dua orang tersebut. 

Mereka kaget saat Inani datang menghampiri. Wanita itu tampak sedikit kesal ketika orang yang berbadan kurus itu berbicara. Pada saat itulah Dimas seperti mengenali orang yang diajak bicara itu. Gingsulnya tampak familier. Ia coba untuk mengingat kembali.

Inani kemudian datang menghampiri dengan dua orang tadi mengekor padanya. Saat itulah Dimas mulai mengenali kedua orang tersebut.

"Alhamdulillah, aku pikir tidak akan bertemu dengan kalian berdua," sambut Dimas dengan wajah berseri.

Dua orang tadi kemudian saling pandang. Mereka tampak bingung. Si gemuk pun menyuruh si kurus untuk mengatakan sesuatu.

"Saudara, apakah kau mengenal kami berdua? Aku sendiri tidak tahu dirimu," tanya si kurus dengan bingung. Gingsul itu tidak salah lagi.

"Tentu aku ingat dirimu, Mursyid. Siapa yang aksn lupa dengan pesona gingsul-mu itu? Lagipula kau masih sama seperti dahulu. Selalu bersama dengan Rahmat kapan pun dan di mana pun."

Orang yang bernama Mursyid itu pun segera menutup mulut. Dua orang itu lalu melongo dan kaget bukan main. Orang yang ditanya ternyata tahu nama mereka. Dimas hanya tertawa terbahak-bahak. Senang rasanya bisa bertemu dengan salah dua warga Banyuates ini.

"Bagaimana kalian bisa tidak kenal dia? Dia ini anak lurah desa kalian. Masa kalian warga sana sudah lupa?" cemooh Inani kepada Mursyid dan Rahmat. Wanita itu tampak gemas dan mencubit dua orang itu.

Sambil menggosokkan lengan, dua warga Banyuates itu tertunduk malu. Mereka pun menjura dan minta maaf. Dimas lalu mendekat dan memeluk mereka berdua.

Ia tidak peduli kalau Mursyid dan Rahmat melupakan dirinya. Faktanya, memang mereka berdua tidak terlalu dekat dengan keluarga pamong desa. Dimas jelas mengenal mereka karena ia anak lurah dan anak lurah harus mengenal warganya sendiri, kan?

Namun, Dimas hanya merasa senang bisa bertemu kembali dengan warga Banyuates dalam keadaan baik. Air mata menetes. Mereka ini adalah sarana bagi Dimas untuk terus mengingat Banyuates. Kampung halaman tercinta. Mengingatkannya akan sebuah cita-cita yang harus diwujudkan. Merebut dan membebaskan Desa Banyuates.

Malamnya, Dimas habiskan untuk melepas rasa rindu. Bercerita soal kampung halaman. Bergurau dengan Rahmat yang rambutnya masih gondrong seperti biasa. Mendengar obrolan melantur dan konyol ala Mursyid. Canda tawa pecah sepanjang malam.

Hari demi hari pun berlalu, Dimas mulai membaur dengan rumah barunya. Para anggota Laskar Naga Kuning mulai menerimanya dengan baik. Kini Dimas tidak merasa sendiri lagi. Ia bertemu dengan kawan lama dan kawan baru. 

Kawan lama yang mengingatkannya akan hangatnya rumah. Kawan baru yang memberikannya harapan baru. Mereka semua dipersatukan dengan kesamaan nasib. Berjuang dalam satu tujuan bersama. Pembebasan.

Bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun