Merah muka Dimas. Bajunya yang dulu memang sudah pudar warnanya dan lusuh. Fokus latihan pada pengendalian tenaga dalam membuat ia tidak memperhatikan pakaian yang dikenakannya.
"Terima kasih, Nyonya, telah memberi kesempatan untuk bergabung di sini. Aku harap kau berse— ."
"Panggil saja aku Inani. Aku masih terlalu muda untuk dipanggil nyonya," sela Inani sambil lambaikan tangan pada Dimas. Isyarat agar Dimas mengikutinya.
Sungguh bodohnya Dimas. Wanita yang masih muda ini ternyata tidak ingin dipanggil nyonya. Seharusnya ia mencari panggilan lain.
Tapi, kenapa waktu itu ia tidak tersinggung waktu kupanggil nyonya?Pikiran itu membuatnya bingung.
Setelah melewati beberapa tenda dan pondok bambu, mereka berdua sampai di bagian belakang markas. Tepat sebelum pagar kayu yang membatasi markas itulah terdapat sebuah tenda hijau. Dua orang tengah duduk di atas tikar di depan. Satu bertubuh kurus dan satunya lagi gemuk. Mereka tampak mengobrol dengan serius.
"Tunggu di sini, ya. Aku akan memanggil mereka," pinta Inani. Ia pun segera melangkah mendekati dua orang tersebut.Â
Mereka kaget saat Inani datang menghampiri. Wanita itu tampak sedikit kesal ketika orang yang berbadan kurus itu berbicara. Pada saat itulah Dimas seperti mengenali orang yang diajak bicara itu. Gingsulnya tampak familier. Ia coba untuk mengingat kembali.
Inani kemudian datang menghampiri dengan dua orang tadi mengekor padanya. Saat itulah Dimas mulai mengenali kedua orang tersebut.
"Alhamdulillah, aku pikir tidak akan bertemu dengan kalian berdua," sambut Dimas dengan wajah berseri.
Dua orang tadi kemudian saling pandang. Mereka tampak bingung. Si gemuk pun menyuruh si kurus untuk mengatakan sesuatu.