Mohon tunggu...
Ahmad Afandi
Ahmad Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh

Masih Belajar Menulis (Kembali) !!

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Rasa Kemanusiaan Itu: Bagian 2 (Tamat)

28 Mei 2024   15:50 Diperbarui: 28 Mei 2024   15:59 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udara sejuk membelai lembut ke muka. Perih terasa pada wajahnya hingga ke bawah menuju perut.

Sambaran robot itu berhasil melukai permukaan kulitnya. Untunglah, baju khusus yang dikenakan Purwanti melindunginya dari cakaran yang dalam.

"Oh, tidak mungkin!" ucap Purwanti sambil meraba wajahnya dengan tangan gemetar. "Mana topengku? Di mana topengku?"

Topengnya lepas. Ia begitu panik. Dicarinya topeng tersebut ke segala arah, tetapi tidak ditemukan juga.

"Siluman!" pekik seorang pria dari seberang, "dia itu siluman!"

Purwanti terkejut. Seketika tubuhnya membeku ketika menyadari beberapa pasang mata mengarah padanya.

Semua orang menatap ngeri ke arah fisik Purwanti. Kulit abu-abu, duri kecil yang menyembul di wajah, dan mata kuning seperti buaya. Orang-orang ini tidak percaya atas apa yang mereka lihat.

"Oh, selama ini kita semua ditimpa sial gara-gara dirimu, ya?" tanya seorang wanita dengan nada cukup menghakimi.

"Bu- Bukan. Aku hanya ingin menolong kalian saja. Sungguh, aku tidak ada niatan buruk sama sekali," jawab Purwanti sambil mencoba bangkit dari tempatnya itu.

Seorang pria bersenjata kemudian mendekat. Sambil membenahi topi hitamnya, ia melangkahkan kakinya dengan gentar. Tangannya bergetar ketika senapan miliknya itu ditodongkan ke arah Purwanti.

Sesekali ia mengintruksikan pada seorang gadis kecil berbaju biru di belakangnya. Ia ingin agar gadisnya itu tetap di tempat yang aman.

"Bohong!" bentak pria tersebut dengan kerasnya, "semenjak kau menjadi pahlawan di sini, kita semua hidup tambah sengsara. Nyawa kita semua terancam hampir tiap hari. Dasar siluman! Kau ini sudah jelas-jelas orang jahat. Kau sendiri yang merencanakan semua ini kan?"

"Tidak. Itu tidak benar!" sanggah Purwanti dengan mencoba menenangkan keadaan, "kumohon, mengertilah. Aku tidak ada niatan buruk sama sekali. Aku juga bukan orang jahat. Aku hanya ingin membantu serta melindungi kalian dari segala bahaya."

Berbagai cara dilakukan Purwanti untuk membujuk orang-orang ini. Namun, semua usahanya itu gagal. Mereka tetap menolak. Purwanti tetap disalahkan hanya karena dia adalah siluman yang membawa sial.

Siluman di sini merujuk pada segala sesuatu hal yang berbeda atau berada di luar dari kemampuan orang biasanya. Secara umum biasanya mereka disebut sang liyan.

Sekelompok orang yang terlahir dengan ke-istimewaan tertentu dari Tuhan. Purwanti salah satunya. Lahir dengan fisik yang berbeda dan kekuatan yang luar biasa.

Sayangnya, menjadi istimewa bukan berarti ia dengan mudah diterima begitu saja. Masyarakat begitu takut dengan sang liyan ini karena berbeda. Menjadi berbeda karena di luar kendali manusia. Hal inilah yang membuat sang liyan menjadi ancaman bagi manusia lain.

Agar terhindar dari konflik maka pemerintah membentuk tempat khusus agar sang liyan ini bisa hidup dengan normal. Meskipun dikatakan normal, nyatanya tempat itu justru memisahkan mereka dari kehidupan dengan manusia lain.

Purwanti merasakan sesuatu di mulutnya. Rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pahit.

Rasa ini terus menjejal ke mulutnya. Ingin sekali ia kunci mulutnya agar rasa tersebut tidak masuk, tetapi itu sia-sia belaka. Rasa pahit itu tetap meluncur masuk dan turun dengan cepat ke hati. Sakit rasanya.

***

Robot harimau melihat kesempatan. Ia pun berlari mendekat. Sambil menjaga keseimbangan, robot ini melancarkan serangan. Ditebaskanlah cakar-cakar itu ke arah Purwanti yang lengah.

Sadar akan sesuatu yang mendekat, Purwanti kemudian mengelak ke kanan. Cakar harimau itu melesat kencang dari samping tubuhnya. Empasannya saja sudah memperlihatkan betapa fatal serangan itu.

Serangan kedua dilancarkan, begitu juga yang ketiga, dan seterusnya. Seraya bertumpu pada bagian kanan tubuhnya, robot harimau itu terus melancarkan serangan bertubi-tubi dengan kedua kaki depannya.

Meskipun bergerak agak pincang, tetapi robot ini berhasil mengungguli Purwanti. Tidak ada satupun pukulan yang mendarat pada tubuh baja robot ini. Malahan superhero wanita ini hanya mengelak setiap serangan yang mengarah kepadanya.

"Bodoh sekali kau ini! Ayo lawan robot itu. Masa kau hanya mengelak terus?" cerca seorang pria dari kejauhan.

"Jangan bilang kalau robot ini kawanmu, ya? Pantas dari tadi kau tidak melawannya dengan serius," ledek seorang wanita yang kemudian menghasut orang-orang disekitarnya untuk ikut menghujat Purwanti.

Mulut orang-orang ini tidak bisa berhenti berucap. Beragam kata negatif terus membuncah dari mulut mereka. Dengan bahan bakar kemarahan dan rasa jijik, kata-kata itu melesat dengan kencangnya menghantam Purwanti.

Dari segala penjuru Purwanti diserang. Kata yang tajam itu menghunus tepat pada hati. Perih rasanya ketika kata itu mengoyak semakin dalam.

Purwanti hanya bisa menerima hinaan orang-orang ini. Tiap kata dan emosi yang mengarah padanya mampu memgubah rasa. Pahit yang awalnya seperti obat berubah menjadi bertambah dua kali lipat.

Ia menjadi tidak fokus untuk melawan musuh. Rasa pahit ini semakin menjadi-jadi. Lidahnya seperti ingin putus. Serangan robot semakin menyudutkan Purwanti. Ketika lengah, robot pun coba terkam dengan kedua kaki depannya.

Dengan bertumpu pada dua kaki belakang, robot harimau ini mengangkat tinggi-tinggi kaki depannya. Meskipun agak kurang seimbang, tetapi dengan kecepatan penuh ia antamkan kedua kaki depannya ke arah Purwanti.

Melihat manuver yang tiba-tiba itu, Purwanti tahan kedua kaki robot yang mengarah padanya. Kekuatan yang disalurkan robot terssbut tidak merata mengingat tubuh bagian kirinya cedera oleh serangan Purwanti.

Purwanti melihat ini sebagai kesempatan. Ia kurangi kekuatan pada lengan bagian kanannya. Hal ini membuat robot ini menjadi tidak seimbang dan akhirnya jatuh. Sebelum robot ini menyentuh tanah, Purwanti meraih kaki depan robot itu. Dengan cepat ia lemparkan mesin hidup itu ke udara dan mendarat tepat pada sebuah warung di belakangnya.

***

"Hei, apa yang kau lakukan?" tanya seorang pria kesal, "dasar siluman, kau ini memang berniat mencelakakan kita orang, ya?"

Kerumunan mulai marah ketika Purwanti tidak sengaja menghancurkan warung tersebut. Mereka mulai mendekat untuk melakukan penghakiman. Dengan ini dugaan mereka atas Purwanti dapat dibenarkan. Ini semua rancangan dan akal-akalan Purwanti semata.

Purwanti mencoba tenangkan keadaan, tetapi dirinya terlalu takut. Orang-orang yang membawa senjata api hanya menodong dan memberi ancaman dan gertakan. Mereka juga bingung memilih menembak atau tidak.

Orang-orang ini akhirnya memilih untuk bergerak memutar.  Mereka seperti melakukan tarian api unggun. Bergerak memutari Purwanti hanya untuk mencari celah. Hingga mereka lupa akan robot harimau di belakang yang diam-diam bangkit.

Robot itu masih memproses kembali pemindainya. Akibat benturan yang cukup keras, pemindai robot ini mengalami gangguan. Dalam layar hijau dan buram itu tampaklah sesosok hitam berdiri di depan. Posturnya jauh lebih pendek ketimbang sebelumnya. Pemindainya langsung menyimpulkan bahwa sosok di depan adalah target.

Robot itu mendekati target baru yang ternyata adalah seorang gadis berbaju biru yang terpisah dari orang tuanya. Ia tampak kebingungan mencari orang tuanya yang terbawa emosi dan bergabung untuk mengepung orang yang dianggapnya siluman itu.

Menyadari ada sesuatu yang mendekat, gadis kecil ini membalikkan badannya. Keringat dingin mulai bercucuran. Tubuhnya membeku. Gadis ini berteriak ketakutan ketika melihat robot harimau itu sudah siap menyerangnya. Suaranya yang melengking itu memecah kebuntuan orang-orang.

Kerumunan tersebut terkejut. Mereka mulai panik. Tidak tahu harus melakukan apa. Melihat itu, Purwanti mengambil ancang-ancang lalu melesat melewati formasi manusia yang mengepungnya seperti ban.

***

Purwanti melesat begitu kencang di udara. Dengan kekuatan dan cakarnya itu ia berhasil menerkam balik robot itu. Menjauhkannya dari gadis kecil yang hampir dicincang oleh keganasan mesin hidup itu.

Purwanti coba mengunci kepala robot tersebut agar tidak terlepas.  Cakarnya berhasil menembus bagian leher robot itu. Mereka berguling-guling di aspal panas dan berdebu.  Robot harimau itu terus memberontak untuk meloloskan diri. Tubuhnya yang tidak seimbang itu mempersulit dirinya untuk melepas kuncian.

Purwanti alirkan tenaga yang cukup besar pada kedua lengannya. Perlahan tapi pasti. Purwanti coba tarik kepala robot tersebut. Satu per satu kabel mulai putus. Suara deratan baja yang mengiris telinga mulai terdengar. Percikan api menciprati kulitnya seperti gigitan semut.

Kraaak.

Potongan kabel dan baja berpencar ke segala arah. Kepala robot tersebut melayang di udara dan mengempas dengan cukup kerasnya ke tanah pinggir jalan.

Ini biasanya menjadi kemenangan bagi Purwanti. Namun, kerumunan orang-orang ini tidak merestuk kemenangan tersebut. Mereka mendekat kembali dengan menjepit posisi Purwanti. Dari kiri ke kanan. Orang-orang ini dengan tatapan benci dan jijik sudah siap membantainya dengan senjata masing-masing.

Purwanti gelisah. Rasa pahit itu kemudian menjadi getir. Ia tidak bisa menyerang balik. Tidak mungkin ia dengan tega melukai orang-orang yang harus dilindunginya ini.

Dari kerumunan yang marah ini tiba-tiba seseorang mendesak keluar. Orang-orang sempat menghalanginya agar tidak mendekat. Namun, tetap saja gadis kecil ini mampu menerabas keluar dari himpitan tubuh manusia yang sesak itu.

Gadis itu berlari mendekat dan kemudian memeluk Purwanti.

"Terima kasih," ucap si gadis kecil.

Purwanti terhenyak ketika gadis itu merebahkan tubuhnya dengan pelukan hangat. Jantungnya berdebar kencang. Dengan sedikit gemetar ia coba merangkul tubuh gadis kecil itu. Getaran semakin hebat ketika Purwanti hampir memeluknya.

"Ka- kau tidak takut padaku?" tanya Purwanti ragu.

Gadis ini menengadahkan wajahnya. Ia pun melempar senyum manis ke arah Purwanti.

"Tidak," jawab si gadis, "kenapa aku harus takut denganmu? Kau sudah menyelamatkan aku dari serangan robot itu, kan? Jadi kau sekarang pahlawanku?"

Hati Purwanti pun luluh. Ia kemudian memeluk gadis itu erat. Air matanya berlinang. Meluncur dari pipinya yang berduri.

Rasa getir yang semula memenuhi lidah mulai lenyap. Manis madu mulai tercecap. Begitu juga kehangatan dan kenyamanan. Semua berpadu menjadi satu saat kedua insan itu saling menerima.

Rasa ini sudah kembali. Namun ini jauh lebih baik. Kenyamanan ini ketika orang lain mau menerimanya. Kehangatan ini ketika orang lain tidak perlu takut pada dirinya. Semua berpadu menjadi satu rasa. Rasa yang di lidah itu mamis dan hangat di hati. Itu adalah rasa kemanusiaan.

Pria bertopi hitam mendekat. Ia lalu dengan sembrononya menarik paksa gadis kecilnya dari pelukan Purwanti. Gadis itu meronta namun segera pria itu meminta rekannya untuk menggendongnya pergi menjauh.

"Jangan coba-coba kau bawa anakku pergi!" ujar pria tersebut sambil menodongkan senapan.

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun