Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Tukang Cukur, dari Pisau Batu hingga Gaya Modern

16 Oktober 2024   18:45 Diperbarui: 16 Oktober 2024   19:04 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tukang cukur memiliki peran yang lebih dari sekadar memotong dan menata rambut. Mereka adalah bagian penting dari kehidupan sosial, terutama bagi pria. Tempat pangkas rambut bukan hanya tempat untuk memperbaiki penampilan, tetapi juga ruang interaksi sosial yang hidup. Dalam lingkungan ini, pelanggan tidak hanya datang untuk merapikan rambut, tetapi juga untuk bersosialisasi, berbagi cerita, dan berdiskusi tentang berbagai topik, mulai dari hal-hal sepele hingga isu-isu besar yang terjadi di sekitar mereka.

Tempat pangkas rambut sering kali menjadi pusat komunitas informal, di mana para pria berkumpul untuk membahas politik, olahraga, kehidupan sehari-hari, dan berbagai topik hangat lainnya. Di beberapa daerah, peran ini hampir menyerupai forum publik, di mana tukang cukur dan pelanggannya saling bertukar pandangan dan informasi. Tempat ini juga menawarkan kenyamanan dan kebersamaan, memberikan kesempatan bagi orang-orang untuk beristirahat dari rutinitas sehari-hari sambil menikmati percakapan ringan atau mendalam.

Oleh karena itu, tempat pangkas rambut tidak hanya berfungsi sebagai tempat bekerja bagi tukang cukur, tetapi juga sebagai ruang sosial yang dinamis dan penting dalam kehidupan masyarakat.

Pada masa lalu, khususnya di abad pertengahan Eropa, tukang cukur memiliki peran yang jauh lebih luas daripada sekadar merapikan rambut. Mereka dikenal sebagai "ahli bedah tukang cukur" dan sering melakukan berbagai praktik medis seperti operasi kecil, pengobatan luka, dan pencabutan gigi. Profesi ini tumbuh karena pada waktu itu dokter bedah belum berkembang secara luas dan kebanyakan orang lebih sering mengandalkan tukang cukur untuk perawatan kesehatan dasar. Tukang cukur memiliki alat yang tajam, seperti pisau dan pisau bedah, yang tidak hanya digunakan untuk mencukur tetapi juga untuk prosedur medis.

Selain operasi kecil, tukang cukur juga melakukan pengobatan seperti "bloodletting" atau pembekaman, sebuah praktik pengeluaran darah yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Simbol dari profesi ini, yang masih dikenal hingga sekarang, adalah tiang berputar berwarna merah, putih, dan biru (barber pole), yang melambangkan kain perban (putih) dan darah (merah) yang digunakan dalam praktik tersebut.

Namun, seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran dan munculnya profesionalisasi dalam bidang kesehatan, peran tukang cukur dalam bidang medis berangsur-angsur menurun. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, penggunaan pisau cukur aman (safety razor) semakin populer, terutama di kalangan pria Anglofonik (dari negara-negara berbahasa Inggris). Hal ini mengurangi ketergantungan masyarakat pada tukang cukur untuk mencukur janggut. Pada saat yang sama, tren memelihara janggut juga menurun, mengubah fokus para tukang cukur.

Sebagian besar tukang cukur mulai mengkhususkan diri pada penataan dan pemotongan rambut di kepala pria, mengalihkan perhatian dari rambut wajah. Meski demikian, profesi ini tetap penting, dengan tempat pangkas rambut menjadi salah satu elemen budaya yang bertahan dari masa ke masa, khususnya dalam komunitas pria.

Sejarah Tukang Cukur Rambut

Komersialisasi tukang cukur telah menjadi bagian dari peradaban manusia sejak zaman kuno. Bahkan pada Zaman Perunggu, sekitar 3500 SM, pisau cukur sudah ditemukan di Mesir. Namun, jejak praktik cukur rambut berbayar atau dengan imbalan jasa kemungkinan besar pertama kali dilakukan oleh orang Mesir kuno sekitar 5000 SM. Mereka menggunakan peralatan sederhana seperti cangkang tiram atau batu yang diasah untuk memotong rambut dan mencukur wajah. Tukang cukur dalam masyarakat Mesir kuno bukan sekadar profesi biasa---mereka sangat dihormati dan dianggap penting dalam kehidupan religius dan sosial.

Dalam budaya Mesir kuno, tukang cukur sering kali memiliki peran ganda sebagai pendeta atau ahli pengobatan. Status mereka yang tinggi tercatat dalam sejarah sebagai salah satu profesi paling awal. Ritual pencukuran, yang sering kali berhubungan dengan kebersihan dan kesucian, menjadikan tukang cukur sebagai figur penting, terutama di kalangan kelas elit dan religius. Rambut, janggut, dan bulu di wajah sering kali dipangkas sebagai tanda kebersihan dan status sosial.

Selain di Mesir, seni pangkas rambut juga memainkan peran yang signifikan di berbagai belahan dunia, menjadi simbol status sosial, peran, dan identitas. Misalnya, budaya Maya, Aztek, Iroquois, Viking, dan Mongolia menggunakan seni cukur dan penataan rambut untuk membedakan kedudukan sosial dalam masyarakat, serta sebagai tanda identitas dan simbol keberanian dalam perang. Gaya rambut, baik dalam bentuk potongan maupun cara merawatnya, menjadi alat komunikasi visual yang menunjukkan kekuasaan, kekayaan, atau posisi dalam hierarki sosial.

Di Yunani Kuno, tukang cukur, yang disebut (cureus), memainkan peran penting dalam kehidupan sosial pria. Mereka tidak hanya memangkas rambut dan janggut, tetapi juga berperan dalam tata rias pria secara keseluruhan. Agora, pasar terbuka yang menjadi pusat ekonomi dan sosial di Yunani, juga menjadi tempat di mana para pria berkumpul untuk dicukur dan bersosialisasi. Tempat cukur di Yunani tidak hanya tempat merapikan penampilan, tetapi juga forum bagi interaksi sosial, percakapan intelektual, dan diskusi tentang isu-isu penting.

Secara keseluruhan, dari Mesir hingga Yunani, seni pangkas rambut memiliki sejarah panjang yang kaya akan nilai sosial, budaya, dan bahkan religius, yang terus berkembang seiring berjalannya waktu.

Budaya mencukur rambut pria masuk ke Roma sekitar tahun 296 SM, dibawa oleh koloni Yunani di Sisilia. Sejak itu, praktik mencukur rambut dan merapikan janggut menjadi bagian penting dari kehidupan sosial di Roma. Tempat cukur berkembang menjadi pusat interaksi sosial yang sangat populer, tidak hanya sebagai tempat merapikan penampilan, tetapi juga sebagai tempat untuk berbagi berita dan gosip harian. Kunjungan pagi ke tonsor (tukang cukur) menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari bagi para pria Romawi, setara dengan kunjungan ke pemandian umum, yang juga merupakan institusi sosial penting pada masa itu.

Ritual cukur pertama seorang pemuda, atau yang dikenal sebagai tonsura, dianggap sebagai bagian penting dari upacara kedewasaan di Roma. Momen ini menandakan peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa dan sering kali dilakukan dalam upacara yang dihadiri keluarga dan teman-teman. Dengan demikian, tonsura tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik, tetapi juga aspek sosial dan budaya, mengukuhkan posisi seorang pria dalam masyarakat Romawi.

Beberapa tukang cukur di Roma berhasil menjadi kaya dan berpengaruh, terutama mereka yang melayani kelas atas atau bangsawan. Tukang cukur yang sukses sering kali memiliki salon atau tempat pangkas rambut yang menjadi favorit masyarakat elit, membuat bisnis mereka berkembang pesat. Mereka bukan sekadar penyedia jasa, tetapi juga sosok penting dalam kehidupan sosial kelas atas, tempat di mana percakapan penting sering terjadi.

Namun, di luar kelompok elit ini, sebagian besar tukang cukur adalah pengusaha kecil. Mereka bekerja di toko-toko kecil atau bahkan di pinggir jalan, melayani warga dengan tarif yang lebih murah. Tukang cukur jalanan ini menawarkan jasa kepada orang biasa yang tidak memiliki akses atau dana untuk mengunjungi tempat cukur yang lebih mewah. Meski lebih sederhana, peran mereka tetap penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Romawi, karena merapikan rambut dan janggut merupakan bagian dari norma sosial yang diharapkan untuk dipenuhi oleh pria dewasa.

Dengan demikian, tukang cukur pada masa Romawi tidak hanya menjalankan bisnis fisik, tetapi juga memainkan peran sentral dalam interaksi sosial dan kebudayaan masyarakat Romawi, dari kelas bawah hingga kalangan elit.

Pada Abad Pertengahan, tukang cukur tidak hanya berperan dalam memotong dan menata rambut, tetapi juga merangkap sebagai tenaga medis, dikenal sebagai "ahli bedah tukang cukur." Mereka menangani berbagai praktik medis yang saat ini dilakukan oleh dokter dan ahli bedah profesional. Selain memberikan layanan pencukuran, tukang cukur juga melakukan operasi sederhana seperti pengeluaran darah (bloodletting), bekam api, pembersihan kotoran, enema, hingga pencabutan gigi. Peran mereka menjadi vital karena pada masa itu, dokter bedah masih langka dan kurang terjangkau oleh masyarakat umum.

"Ahli bedah tukang cukur" memainkan peran penting dalam kesehatan masyarakat, meskipun keterampilan mereka sering kali tidak setara dengan standar bedah modern. Tukang cukur ini menangani berbagai keluhan kesehatan sehari-hari, seperti mengeringkan bisul, mengeluarkan fistula (pembengkakan), dan menusuk kista atau bisul dengan jarum untuk mengempiskannya. Mereka juga dipercaya untuk membersihkan kotoran telinga dan kulit kepala, serta merawat luka kecil di leher. Banyak dari prosedur ini sangat berisiko karena minimnya pengetahuan medis pada waktu itu, tetapi mereka tetap dihormati sebagai praktisi medis yang bisa diandalkan oleh masyarakat.

Seiring waktu, tukang cukur mulai membentuk serikat pekerja yang kuat, seperti Worshipful Company of Barbers di London, untuk melindungi hak dan kepentingan mereka. Serikat ini memberikan legitimasi kepada profesi tukang cukur dan menetapkan standar dalam praktik mereka. Pada periode tertentu, tukang cukur bahkan mendapatkan gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan ahli bedah yang sesungguhnya, karena mereka lebih mudah diakses oleh masyarakat dan memiliki peran yang lebih luas dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, status tukang cukur mulai berubah ketika ahli bedah mulai dimasukkan ke dalam kapal perang Inggris selama perang angkatan laut. Ahli bedah yang profesional mulai mendapatkan pengakuan lebih tinggi, dan peran medis tukang cukur berangsur-angsur tergeser oleh tenaga medis yang lebih terlatih. Meski begitu, selama beberapa abad, tukang cukur memegang posisi penting dalam sistem kesehatan masyarakat Eropa, memberikan layanan yang meliputi perawatan estetika sekaligus pengobatan dasar.

Sejarah Tukang Cukur Rambut di Abad 19

Pada pergantian abad ke-19 di Amerika Serikat, bisnis pangkas rambut menjadi salah satu industri yang berpengaruh, terutama di kalangan komunitas Afrika-Amerika. Tempat pangkas rambut menjadi tidak hanya tempat bagi pria untuk merapikan rambut, tetapi juga salah satu bisnis utama yang membantu mengembangkan budaya dan ekonomi Afrika-Amerika. Bagi banyak pengusaha kulit hitam, bisnis pangkas rambut adalah cara untuk mencapai kesuksesan finansial, memberikan layanan profesional, dan pada saat yang sama, membangun fondasi bagi komunitas mereka.

Awalnya, banyak tempat potong rambut yang dimiliki oleh orang Afrika-Amerika melayani pelanggan kulit putih kaya, terutama di wilayah selatan dan tengah kota Amerika. Tempat cukur ini terkenal karena layanan mereka yang berkualitas tinggi, sehingga menarik pelanggan dari kalangan elit kulit putih. Namun, pada akhir abad ke-19, banyak tukang cukur kulit hitam mulai membuka tempat cukur di komunitas mereka sendiri untuk melayani pelanggan kulit hitam. Ini menjadi tonggak penting dalam membangun ekonomi komunitas kulit hitam, di mana tempat pangkas rambut berfungsi sebagai pusat sosial dan budaya bagi pria kulit hitam.

Pada tahun 1880-an, memulai bisnis pangkas rambut memerlukan modal yang relatif kecil, dengan rata-rata hanya membutuhkan sekitar $20 untuk membuka usaha. Ruangan yang digunakan untuk tempat pangkas rambut biasanya berukuran sederhana, sekitar sepuluh kali dua belas kaki. Tarif potong rambut pada masa itu pun sangat terjangkau, berkisar antara lima hingga sepuluh sen untuk potong rambut, dan sekitar tiga sen untuk mencukur jenggot. Meski tarifnya murah, tempat cukur berhasil menjadi salah satu bentuk wirausaha yang stabil dan menguntungkan.

Bagi banyak pria kulit hitam, tempat pangkas rambut tidak hanya menjadi tempat untuk merapikan penampilan, tetapi juga berfungsi sebagai ruang sosial dan politik. Di sini, mereka bisa berdiskusi tentang isu-isu penting, berbagi informasi, dan membangun hubungan antar anggota komunitas. Dengan demikian, tempat pangkas rambut Afrika-Amerika pada akhir abad ke-19 memainkan peran penting dalam perkembangan budaya, ekonomi, dan kohesi sosial di komunitas kulit hitam Amerika.

Sejarah Tukang Cukur Rambut di Indonesia

Dalam budaya Asia Tenggara, rambut sering dianggap sebagai bagian tubuh yang memiliki makna spiritual dan simbolik yang mendalam. Khususnya dalam budaya Melayu, rambut dianggap suci, dan memotongnya dilakukan pada momen-momen penting yang sarat dengan makna, seperti saat berduka atas kehilangan anggota keluarga atau pada saat kematian seorang raja. Hal ini menunjukkan bahwa rambut, dalam konteks budaya tersebut, lebih dari sekadar bagian fisik tubuh; ia merupakan simbol kedewasaan, kehormatan, dan hubungan dengan tradisi leluhur. Memotong rambut di saat-saat penting seperti ini adalah bagian dari ritual budaya yang bertujuan untuk menandai transisi atau perubahan besar dalam kehidupan seseorang.

Namun, ketika bangsa Eropa mulai datang ke Asia Tenggara, kebiasaan dan pandangan tentang rambut mulai berubah. Bagi orang Eropa pada masa itu, terutama pada abad ke-18 dan 19, pria terhormat harus berambut pendek dan mampu menata rambutnya dengan rapi. Rambut pendek dianggap sebagai tanda kehormatan, disiplin, dan kesopanan. Ini sangat berbeda dari beberapa budaya lokal yang mungkin lebih menghargai rambut panjang sebagai simbol kebangsawanan atau spiritualitas. Kedatangan orang Eropa juga mengurangi popularitas penggunaan wig, yang sebelumnya menjadi simbol status sosial di kalangan bangsawan Eropa. Wig mulai dianggap ketinggalan zaman, dan tren beralih ke gaya rambut pendek yang lebih praktis.

Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, khususnya di Batavia (sekarang Jakarta), tukang cukur menjadi profesi yang banyak ditemui di pasar-pasar dan jalanan. Kebanyakan tukang cukur ini adalah keturunan Tionghoa, yang terkenal dengan keterampilan dan kecepatan mereka dalam mencukur rambut. Hal ini tercatat dalam catatan H.C.C. Clockener Brousson, seorang serdadu KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), yang pada awal abad ke-20 menceritakan pengalamannya saat mengunjungi Pasar Senen di Batavia. Ia mencatat bagaimana para tukang cukur Tionghoa sibuk memangkas rambut para perwira militer Belanda dan pembantu rumah tangga dengan keterampilan dan kecepatan yang luar biasa.

Tukang cukur Tionghoa di Batavia pada masa itu memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam menjaga penampilan para pria Belanda dan juga penduduk lokal. Keterampilan mereka tidak hanya diakui oleh masyarakat lokal, tetapi juga oleh para perwira militer yang membutuhkan layanan cukur yang cepat dan rapi. Profesi ini menjadi salah satu bentuk usaha yang mendukung kehidupan ekonomi dan sosial keturunan Tionghoa di Batavia pada masa penjajahan, memperlihatkan pentingnya peran mereka dalam menyediakan layanan bagi masyarakat kolonial.

Perubahan dalam gaya dan praktik mencukur rambut yang diperkenalkan oleh orang Eropa membawa pengaruh signifikan pada kebiasaan lokal, yang pada akhirnya membantu menciptakan perpaduan antara tradisi lokal dan pengaruh Barat dalam hal penampilan dan tata rambut.

Perilaku Hewan

Istilah "mencukur" dalam konteks tikus laboratorium merujuk pada perilaku sosial di mana seekor tikus menggunakan giginya untuk mencabut bulu dari wajah atau kepala rekannya selama proses saling merawat. Perilaku ini sering disebut sebagai barbering atau "grooming agresif." Biasanya, tikus yang melakukan tindakan ini (disebut sebagai "tukang cukur") akan mencabut bulu atau vibrissae (kumis sensorik) rekannya, terutama di area wajah, kepala, atau leher.

Perilaku ini dapat terjadi baik pada tikus jantan maupun betina, tanpa memandang jenis kelamin. Namun, perilaku ini lebih sering diamati dalam kelompok tikus yang hidup dalam lingkungan terkurung atau laboratorium, di mana hierarki sosial lebih kuat terbentuk. Barbering sering dianggap sebagai salah satu tanda dominasi sosial dalam kelompok tikus. Tikus yang mencukur bulu rekannya biasanya lebih dominan, sedangkan tikus yang bulunya dicukur dianggap berada dalam posisi sosial yang lebih rendah dalam hierarki tersebut.

Meski demikian, perilaku ini tidak selalu dianggap sebagai bentuk agresi fisik. Dalam beberapa kasus, tikus yang melakukan grooming atau mencukur bulu rekannya mungkin melakukannya sebagai bagian dari perawatan sosial yang intensif. Namun, ketika aktivitas ini berlebihan, menyebabkan kehilangan bulu secara signifikan, maka dapat menunjukkan adanya tekanan atau ketidakstabilan dalam dinamika kelompok, seperti kurangnya ruang, sumber daya, atau stimulasi.

Perilaku mencukur ini menarik perhatian peneliti karena dapat mempengaruhi interpretasi hasil penelitian pada tikus laboratorium. Hilangnya bulu atau kerusakan pada kulit akibat grooming yang berlebihan bisa mengaburkan data terkait percobaan perilaku atau kesehatan kulit, sehingga penting bagi peneliti untuk mengamati dan memahami dinamika sosial kelompok tikus yang sedang mereka pelajari.

Secara keseluruhan, "mencukur" pada tikus adalah perilaku kompleks yang terkait erat dengan interaksi sosial dan hierarki dominasi, serta dapat memberikan wawasan tentang kesejahteraan hewan dalam lingkungan laboratorium.

Kesimpulan

Sejarah tukang cukur rambut mencerminkan perkembangan budaya, sosial, dan ekonomi yang signifikan di berbagai peradaban. Dari peran penting tukang cukur dalam budaya Mesir kuno, di mana mereka dihormati sebagai bagian dari ritual keagamaan dan sosial, hingga zaman Romawi ketika tempat cukur menjadi pusat interaksi sosial, menunjukkan bahwa profesi ini lebih dari sekadar layanan fisik. Tukang cukur juga berfungsi sebagai simbol transisi dan kedewasaan, khususnya di kalangan pria Romawi, yang menganggap kunjungan ke tonsor sebagai bagian penting dari rutinitas sosial mereka.

Pada Abad Pertengahan, tukang cukur juga memainkan peran ganda sebagai ahli bedah dan dokter gigi, dengan melakukan berbagai prosedur medis yang sekarang dianggap berisiko. Mereka bahkan membentuk serikat pekerja yang kuat seperti Worshipful Company of Barbers di London, yang memberikan mereka status dan legitimasi dalam masyarakat. Meskipun tukang cukur pada akhirnya mengalami pergeseran peran ketika bedah menjadi lebih terpisah dari cukur, peran mereka dalam kesehatan dan estetika pada zaman tersebut sangat berpengaruh.

Dalam konteks Amerika Serikat pada pergantian abad ke-19, tukang cukur memainkan peran penting dalam pengembangan ekonomi dan budaya Afrika-Amerika. Tempat pangkas rambut Afrika-Amerika, yang awalnya melayani pelanggan kulit putih kaya, kemudian berkembang menjadi pusat komunitas di kalangan kulit hitam, menawarkan lebih dari sekadar layanan potong rambut, melainkan juga ruang untuk interaksi sosial dan diskusi politik.

Di Asia Tenggara, kebiasaan mencukur rambut dipengaruhi oleh kepercayaan tradisional, di mana rambut dianggap suci dan hanya dipotong pada momen-momen penting. Namun, kedatangan bangsa Eropa membawa perubahan dalam gaya rambut, mempromosikan penampilan yang lebih rapi dan pendek, serta menurunkan popularitas penggunaan wig. Profesi tukang cukur di Batavia pada masa penjajahan didominasi oleh keturunan Tionghoa, yang terkenal dengan keahlian mereka dalam mencukur rambut, melayani baik orang lokal maupun perwira kolonial Belanda.

Sementara itu, di ranah perilaku hewan, istilah "mencukur" dalam konteks tikus laboratorium menggambarkan perilaku sosial yang terkait dengan dominasi, di mana tikus mencabut bulu rekannya sebagai bentuk perawatan yang intens atau dominasi sosial. Fenomena ini mengilustrasikan bahwa perilaku grooming dapat memiliki makna sosial yang lebih dalam, tidak hanya pada manusia tetapi juga pada hewan.

Secara keseluruhan, peran tukang cukur dan tradisi mencukur rambut terus berevolusi dari waktu ke waktu, terpengaruh oleh perubahan sosial, budaya, dan ekonomi di berbagai tempat dan zaman. Baik dalam konteks manusia maupun hewan, tindakan mencukur memiliki makna yang beragam, mencerminkan dinamika sosial, hierarki, dan nilai budaya dalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun