Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Tukang Cukur, dari Pisau Batu hingga Gaya Modern

16 Oktober 2024   18:45 Diperbarui: 16 Oktober 2024   19:04 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah Tukang Cukur Rambut di Abad 19

Pada pergantian abad ke-19 di Amerika Serikat, bisnis pangkas rambut menjadi salah satu industri yang berpengaruh, terutama di kalangan komunitas Afrika-Amerika. Tempat pangkas rambut menjadi tidak hanya tempat bagi pria untuk merapikan rambut, tetapi juga salah satu bisnis utama yang membantu mengembangkan budaya dan ekonomi Afrika-Amerika. Bagi banyak pengusaha kulit hitam, bisnis pangkas rambut adalah cara untuk mencapai kesuksesan finansial, memberikan layanan profesional, dan pada saat yang sama, membangun fondasi bagi komunitas mereka.

Awalnya, banyak tempat potong rambut yang dimiliki oleh orang Afrika-Amerika melayani pelanggan kulit putih kaya, terutama di wilayah selatan dan tengah kota Amerika. Tempat cukur ini terkenal karena layanan mereka yang berkualitas tinggi, sehingga menarik pelanggan dari kalangan elit kulit putih. Namun, pada akhir abad ke-19, banyak tukang cukur kulit hitam mulai membuka tempat cukur di komunitas mereka sendiri untuk melayani pelanggan kulit hitam. Ini menjadi tonggak penting dalam membangun ekonomi komunitas kulit hitam, di mana tempat pangkas rambut berfungsi sebagai pusat sosial dan budaya bagi pria kulit hitam.

Pada tahun 1880-an, memulai bisnis pangkas rambut memerlukan modal yang relatif kecil, dengan rata-rata hanya membutuhkan sekitar $20 untuk membuka usaha. Ruangan yang digunakan untuk tempat pangkas rambut biasanya berukuran sederhana, sekitar sepuluh kali dua belas kaki. Tarif potong rambut pada masa itu pun sangat terjangkau, berkisar antara lima hingga sepuluh sen untuk potong rambut, dan sekitar tiga sen untuk mencukur jenggot. Meski tarifnya murah, tempat cukur berhasil menjadi salah satu bentuk wirausaha yang stabil dan menguntungkan.

Bagi banyak pria kulit hitam, tempat pangkas rambut tidak hanya menjadi tempat untuk merapikan penampilan, tetapi juga berfungsi sebagai ruang sosial dan politik. Di sini, mereka bisa berdiskusi tentang isu-isu penting, berbagi informasi, dan membangun hubungan antar anggota komunitas. Dengan demikian, tempat pangkas rambut Afrika-Amerika pada akhir abad ke-19 memainkan peran penting dalam perkembangan budaya, ekonomi, dan kohesi sosial di komunitas kulit hitam Amerika.

Sejarah Tukang Cukur Rambut di Indonesia

Dalam budaya Asia Tenggara, rambut sering dianggap sebagai bagian tubuh yang memiliki makna spiritual dan simbolik yang mendalam. Khususnya dalam budaya Melayu, rambut dianggap suci, dan memotongnya dilakukan pada momen-momen penting yang sarat dengan makna, seperti saat berduka atas kehilangan anggota keluarga atau pada saat kematian seorang raja. Hal ini menunjukkan bahwa rambut, dalam konteks budaya tersebut, lebih dari sekadar bagian fisik tubuh; ia merupakan simbol kedewasaan, kehormatan, dan hubungan dengan tradisi leluhur. Memotong rambut di saat-saat penting seperti ini adalah bagian dari ritual budaya yang bertujuan untuk menandai transisi atau perubahan besar dalam kehidupan seseorang.

Namun, ketika bangsa Eropa mulai datang ke Asia Tenggara, kebiasaan dan pandangan tentang rambut mulai berubah. Bagi orang Eropa pada masa itu, terutama pada abad ke-18 dan 19, pria terhormat harus berambut pendek dan mampu menata rambutnya dengan rapi. Rambut pendek dianggap sebagai tanda kehormatan, disiplin, dan kesopanan. Ini sangat berbeda dari beberapa budaya lokal yang mungkin lebih menghargai rambut panjang sebagai simbol kebangsawanan atau spiritualitas. Kedatangan orang Eropa juga mengurangi popularitas penggunaan wig, yang sebelumnya menjadi simbol status sosial di kalangan bangsawan Eropa. Wig mulai dianggap ketinggalan zaman, dan tren beralih ke gaya rambut pendek yang lebih praktis.

Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, khususnya di Batavia (sekarang Jakarta), tukang cukur menjadi profesi yang banyak ditemui di pasar-pasar dan jalanan. Kebanyakan tukang cukur ini adalah keturunan Tionghoa, yang terkenal dengan keterampilan dan kecepatan mereka dalam mencukur rambut. Hal ini tercatat dalam catatan H.C.C. Clockener Brousson, seorang serdadu KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), yang pada awal abad ke-20 menceritakan pengalamannya saat mengunjungi Pasar Senen di Batavia. Ia mencatat bagaimana para tukang cukur Tionghoa sibuk memangkas rambut para perwira militer Belanda dan pembantu rumah tangga dengan keterampilan dan kecepatan yang luar biasa.

Tukang cukur Tionghoa di Batavia pada masa itu memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam menjaga penampilan para pria Belanda dan juga penduduk lokal. Keterampilan mereka tidak hanya diakui oleh masyarakat lokal, tetapi juga oleh para perwira militer yang membutuhkan layanan cukur yang cepat dan rapi. Profesi ini menjadi salah satu bentuk usaha yang mendukung kehidupan ekonomi dan sosial keturunan Tionghoa di Batavia pada masa penjajahan, memperlihatkan pentingnya peran mereka dalam menyediakan layanan bagi masyarakat kolonial.

Perubahan dalam gaya dan praktik mencukur rambut yang diperkenalkan oleh orang Eropa membawa pengaruh signifikan pada kebiasaan lokal, yang pada akhirnya membantu menciptakan perpaduan antara tradisi lokal dan pengaruh Barat dalam hal penampilan dan tata rambut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun