Sinopsis
Fajar, 14 Februari 2024. Hari penentuan bagi rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin baru. Di balik gegap gempita coblosan, bayang-bayang politik uang menghantui. Serangan fajar, seperti virus, meracuni demokrasi yang seharusnya suci. Di sebuah desa terpencil di Jawa Barat, Naya, seorang gadis muda idealis, bertekad melawan praktik tercela ini. Di tengah tekanan keluarga dan godaan uang, dia teguh pada pendiriannya. Bersama sekelompok pemuda desa, Naya berusaha membuka mata masyarakat tentang bahaya politik uang.Â
Di Jakarta, Bara, seorang jurnalis investigasi, mengendus aroma busuk di balik kampanye salah satu kandidat presiden. Dia nekat mengikuti jejak para pemburu suara, membongkar jaringan politik uang yang terstruktur dan rapi. Di luar negeri, Rani, seorang diaspora Indonesia di London, tergerak untuk membantu rakyatnya memilih dengan suara hati. Dia meluncurkan kampanye edukasi online, menyadarkan para WNI di luar negeri tentang bahaya politik uang.
Ketiga individu ini, dengan latar belakang yang berbeda, terhubung oleh tekad yang sama: menyelamatkan demokrasi Indonesia dari cengkeraman politik uang. Perjuangan mereka penuh rintangan dan bahaya. Ancaman, intimidasi, dan suap berusaha menghentikan mereka. Namun, mereka tak gentar. Semangat mereka terpatri pada keyakinan bahwa demokrasi yang sehat hanya bisa tercipta dengan suara rakyat yang murni. Fajar Berlumuran Uang bukan hanya sebuah novel tentang politik uang, tapi juga tentang harapan dan perlawanan. Ini adalah kisah tentang sekelompok orang yang berani melawan arus, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Bab 1: Fajar Menipu
Embun pagi masih menggelayut di dedaunan saat Naya keluar dari gubuk kayu sederhana miliknya. Udara dingin khas pegunungan menusuk kulitnya, tapi tak setajam rasa gusar yang menggerogoti batinnya. Hari ini, 14 Februari 2024, hari pemilihan umum (Pemilu) serentak di Indonesia. Harusnya menjadi hari penuh harap, tapi bagi Naya, ia dibayangi awan mendung bernama "serangan fajar".
"Nay, sarapan dulu," suara Mak Inah, tetangga sekaligus orang tua pengganti Naya, terdengar lembut dari dalam gubuk.
Naya melangkah gontai, duduk di kursi bambu reyot. Matahari mulai mengintip malu-malu di sela pegunungan, namun tak mampu menerangi gurat kekhawatiran di wajah Naya.
"Nay, kamu kenapa murung? Hari ini hari pesta demokrasi, lho," celetuk Mak Inah sambil meletakkan sepiring nasi dan tempe goreng di hadapan Naya.
Naya mengaduk nasi tanpa semangat. "Miris, Mak. Semalam ada orang bagi-bagi amplop berisi uang, katanya buat coblos orang tertentu."