Kaidah "An-Nahyu Lil Wujubi" merupakan bukti kekayaan metodologis dalam ilmu Ushul Fiqh. Melalui kaidah ini, kita dapat memahami bahwa syariat Islam tidak sekadar sistem larangan, melainkan panduan komprehensif yang memadukan aspek preventif dan konstruktif dalam membimbing kehidupan manusia.Â
Dalam dimensi etika Islam, kaidah " " (an-nahyu lil wujubi) tidak sekadar berbicara tentang aspek legal-formal, tetapi menyentuh lapisan terdalam dari konstruksi moral dan etika manusia. Paradigma ini meniscayakan sebuah pemahaman bahwa setiap larangan (nahi) membawa konsekuensi etis yang menuntut tanggung jawab moral dalam bentuk kewajiban (wujub) yang bersifat kontradiktif terhadap larangan tersebut.
Fondasi Etis dalam Konstruksi Kaidah
1. Dimensi Moralitas Intrinsik.
Imam Al-Ghazali dalam "Ihya Ulumuddin" menguraikan bahwa setiap perintah dan larangan dalam syariat memiliki dimensi batin yang berkaitan dengan pembentukan karakter (tahdzib al-akhlaq). Ketika syariat melarang suatu perbuatan, secara intrinsik mengandung pembentukan nilai moral yang berlawanan dengan perbuatan tersebut. Misalnya:
- Larangan berbohong Pembentukan kejujuran
- Larangan kikir Kultivasi kedermawanan
- Larangan zalim Pengembangan keadilan
2. Aspek Pertanggungjawaban Moral.
Menurut Imam Al-Qusyairi dalam "Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah", setiap larangan syariat membawa konsekuensi ganda:
a) Pertanggungjawaban lahiriah ( )
  - Meninggalkan perbuatan yang dilarang