Mohon tunggu...
El Sabath
El Sabath Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

"Akar sosial adalah masyarakat dan kajemukan, dan "Fenomena Sosial Di dasarkan pada gambaran nilai normatif Individu, terhadap ruang interaktif relasi sosial, hal yang mendasar adalah sosial sebagai fenomena individu yang tidak terlepas dari sumberdaya, yang relatif dan filosofis, dan apakah ranah sosial adalah sesuatu yang sesuai makna filosofis, atau justru gambaran dari kehampaan semata, yang tidak dapat di ukur sikap atau ruang lingkup sosialkah, yang berarti suatu ilutrasi pamplet kekacauan revolusi massa, atau komunisme historis dalam sejarah pergerakan politik?"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Asas Konsekuensi dalam Philosofy of Etics, Menyoal Paradigma Ushul 'Annahyu Lil, Wujubi' sebagai Presfektif Mendasar Hukum Islam

10 November 2024   03:11 Diperbarui: 10 November 2024   04:16 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imam Al-Ghazali - Islami.co

Persoalan, pertama dalam dimensi pembahasan ini adalah, terkait, "Etika Lingkungan" dimana, larangan merusak alam mengandung konsekuensi etis, semisal dalam perkara berikut yakni, kewajiban konservasi aktif, atau, pengembangan kesadaran ekologis, dan, pembangunan berkelanjutan.

Baik, pun pada dimensi "Etika Profesional" bahwa, larangan praktik tidak etis dalam profesi meniscayakan, akan pengembangan kode etik komprehensif, dalam, implementasi standar profesional tinggi, dan, kultivasi integritas profesional. Serta, dalam kategori klasifikasi, "Etika Digital" yang, di dalam era digital, paradigma ini relevan untuk, sebagai, pengembangan etika bermedia sosial, perlindungan privasi digital, dan, pembangunan literasi digital beretika. 

Tinjauan etis terhadap kaidah "An-Nahyu Lil Wujubi" menunjukkan bahwa paradigma ini bukan sekadar rumusan hukum, melainkan konstruksi moral yang komprehensif. Ia menyediakan kerangka konseptual untuk memahami dan mengimplementasikan tanggung jawab etis dalam berbagai konteks kehidupan.


Menelusuri Dimensi Etis: Perjalanan Makna dalam Kaidah An-Nahyu Lil Wujubi.

Dalam hamparan pemikiran Islam, kita menemukan jejak-jejak kebijaksanaan yang tersirat dalam setiap kaidah ushul fiqh. Salah satu yang menarik untuk ditelusuri adalah kaidah "An-Nahyu Lil Wujubi" - sebuah prinsip yang mengajarkan bahwa di balik setiap larangan, tersembunyi sebuah kewajiban yang harus ditunaikan.

Membuka Tirai Makna.

Bayangkan sejenak ketika seorang ibu melarang anaknya bermain api. Larangan ini bukanlah sekadar kata "jangan", melainkan mengandung pesan mendalam tentang kewajiban menjaga keselamatan diri dan orang lain. Demikianlah, dalam setiap larangan syariat, kita menemukan lapisan-lapisan makna yang lebih dalam dari sekadar "tidak boleh".

Imam Al-Ghazali, dalam renungan spiritualnya, mengajak kita memahami bahwa setiap larangan adalah pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kehendak Ilahi. Ketika Allah melarang kebohongan, sesungguhnya Dia sedang membimbing kita menuju kewajiban menegakkan kejujuran. Ketika syariat melarang kezaliman, ia sebenarnya sedang mengajarkan kewajiban menegakkan keadilan.

Merajut Benang Etika.

Dalam tenunan kehidupan sehari-hari, kaidah ini mewujud dalam berbagai bentuk. Seorang pedagang yang memahami larangan menipu pembeli, tidak hanya berhenti pada "tidak menipu", tetapi melangkah lebih jauh dengan membangun kejujuran dalam setiap transaksi. Seorang guru yang menyadari larangan berlaku kasar kepada murid, mengembangkan kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik.

Imam Al-Qusyairi menganalogikan proses ini seperti seorang pematung. Ketika ia memahat batu, setiap bagian yang dibuang (larangan) sebenarnya sedang membentuk keindahan yang diinginkan (kewajiban). Setiap "tidak" dalam syariat adalah langkah menuju "ya" yang lebih bermakna.

Dimensi Personal dan Sosial.

Dalam ruang personal, kaidah ini mengajarkan bahwa transformasi diri tidak cukup hanya dengan menghindari keburukan. Seseorang yang berhenti dari kebiasaan buruk harus mengisinya dengan kebiasaan baik. Layaknya ruang kosong yang harus diisi, jiwa yang ditinggalkan keburukan harus diisi dengan kebaikan.

Ibn 'Atha'illah As-Sakandari dalam Hikam-nya menggambarkan:
"Jika engkau tinggalkan maksiat karena takut hukuman, itu adalah taubatnya orang awam. Namun jika engkau tinggalkan maksiat dan menggantinya dengan ketaatan karena malu kepada Allah, itulah taubatnya orang khawas (special)."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun