"Aduh kenapa akun FB saya. Berulang kali posting gak ada yang nge-like. Gak ada yang komen."
Keluhan itu meluncur dari mulut Diah Arfianti. Perempuan pelaku usaha yang sukses jualan kue kering. Dia mengaku stres. Sebab, akibat akun Facebook-nya bermasalah, omzet penjualan turun. Lebih separo. Â Â
Belakangan, dia baru tahu Facebook memberi "punishment". Karena dia berjualan dan berpromosi di akun pribadi. Bukan di fanpage.
"Dulu gak masalah. Saya juga gak terang-terangan. Pakai soft selling, gitu."
"Bukankah akun lain juga banyak. Bahkan lebih terang-terangan dengan mencantumkan harga?"
"Ya, dulu. Sekarang seberapa besar impresinya? Seberapa gede traffic-nya? Berapa banyak yang merespons postingan Anda?" ujar saya.
Diah terdiam. Dia menyadari jika tak bisa membuat perbandingan dulu dan sekarang. Sebagai bukti, tahun 2018, dia terpilih bersama Choirul Mahpuduah (Pawon Kue) menjadi endorser Facebook untuk program #SheMeansBusiness. Beruntung pula, akunnya tidak di-banned.  Sepekan kemudian, akun pribadi Diah aktif kembali. Diah memilih berhati-hati menggunakan media sosial.
Selama ini, Diah sangat terbantu dengan instrumen digital. 70 persen penjualan kue kering dengan brand Diah Cookies dari online. 30 persen sisanya via penjualan offline seperti di bazar dan pameran.
Diah serius menggnakan media sosial tahun 2015. Di mana ia yang bergabung dengan di Pahlawan Ekonomi yang menjalin kerja sama dengan Facebook. Melalui tim trainer Facebook. Diah belajar banyak hal. Seperti target pasar, membuat konten, segmentasi, unique selling point (USP), dan masih banyak lagi.
Setelah dicoba, barang yang diposting di Facebook direspons. Kalau kuenya laku, dia unggah foto ketika cash on delivery (COD) dan komentar pembeli.