"Pagi. Jam delapan!"
"Baik. Saya tunggu Bapak di lokasi."
Maka keesokan paginya saya dan Demun mendatangi beberapa unit bangunan yang dimandorinya. Karena pekerjaan yang dihitung adalah pelesteran dan pengacian, tentu saja, Odang ikut bersama kami.
"Pantasnya berapa persen, Pak Demun," tanya saya seusai kami mengamati hasil pekerjaan itu dan membandingkannya dengan lembaran berisi bobot pekerjaan mandor.
"Enam puluh persen," jawabnya.
"Tidak bisa begitu, Pak," sela Odang. "Tinggal merapikan di beberapa sudut, masak, sih, hasil pekerjaan saya cuma enam puluh persen?"
"Saya beri delapan puluh persen, kok Pak Demun menolak? Aneh. Padahal Odang juga bisa menghitungnya."
Lantas terjadi "pertengkaran" di antara Demun dan Odang. Demun tidak mau membayar Odang sesuai dengan bobot atau persentase pekerjaan Odang. Sementara Odang menuntut hak-nya.
Saya tidak mau terlibat, selain membayar upah mandor pada sorenya. Setelah membayar, saya tidak peduli, seberapa rupiah Demun akan membayar Odang, dan seberapa nyaring pertengkaran selanjutnya. Yang penting, tanggung jawab saya selesai untuk pekerjaan selama satu minggu, dan saya ingin menikmati akhir pekan dengan tenang.
Antara Pemberani dan Pengecut
Mandor semacam Demun, menurut saya, sangat berani melakukan upaya adu domba. Selain faktor "pengalaman", entah apa latar dari keberanian itu.
Mungkin melebihi keberanian biasa alias nekat. Dan, kenekatan itu, entah pula "mengapa" sampai diupayakannya pada saya.