Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gagalnya Upaya Adu Domba Bikinan Seorang Oknum Mandor

27 Agustus 2019   23:07 Diperbarui: 28 Agustus 2019   08:07 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalian percaya siapa? Atau, suruh Demun kemari, deh, biar kita selesaikan bersama."

Mereka tidak menanggapi "tantangan" saya, tetapi malah menanyakan, apakah ada pekerjaan untuk mereka. Saya tidak berani menjawab sekenanya, karena soal ada-tidaknya pekerjaan itu tergantung pada mandor mana, bukannya pada saya dan tim saya. Saya sarankan mereka menemui mandor lainnya.

"Soal omongan Demun sebenarnya bukan lagi urusan saya dan kantor. Saya sendiri tidak pernah menahan-nahan hak pekerja jika bobot pekerjaannya memang layak. Saya tidak mau mengisap keringat dan darah orang dengan cara menahan hak orang. Saya juga tidak mau kalau bos saya menahan atau mengurangi gaji saya."

Dan seterusnya saya mengungkapkan integritas saya yang berkaitan dengan tanggung jawab dan tugas saya. Paling tidak, dengan lembaran bukti pembayaran itu, saya tidak menambah atau mengurangi kebenaran dari angka-angka pembayaran.

Apabila masih belum percaya juga, saya menyarankan mereka kembali jika bos kami datang ke lokasi. Toh setiap hari saya pun berada di lokasi sampai semua pekerjaan selesai dengan serah-terima kunci rumah dengan tim pengembang (developer).

Setelah pembicaraan itu, tidak sampai satu jam saya ditelepon si mandor.

"Pak, pekerja fondasi mau membacok saya, nih, gara-gara Bapak. Kenapa Bapak memberi tahu bukti pembayaran..."

"Hei!" Seketika saya memotongnya dengan agak nyaring. "Kamu bikin fitnah apa soal bayaran mereka dan kantor, hah? Apa kamu maunya mereka membacok saya di lokasi gara-gara fitnahmu itu?"

Cerita Kedua
Demun belum puas, rupanya. Entahlah, apa yang sebenarnya merasukinya, atau, mungkin memang sudah wataknya.

Pada suatu Jumat sore saya dihubunginya. Kali ini persoalannya adalah penghitungan bobot atau persentase pekerjaan yang, lagi-lagi, berujung pada "upah". Hanya saja, sebabnya Demun tidak bisa menerima perhitungan anak buahnya sendiri---sebut saja Odang---dalam pekerjaan pelesteran dan pengacian.

"Besok jam berapa, Pak Demun?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun