"Kalian percaya siapa? Atau, suruh Demun kemari, deh, biar kita selesaikan bersama."
Mereka tidak menanggapi "tantangan" saya, tetapi malah menanyakan, apakah ada pekerjaan untuk mereka. Saya tidak berani menjawab sekenanya, karena soal ada-tidaknya pekerjaan itu tergantung pada mandor mana, bukannya pada saya dan tim saya. Saya sarankan mereka menemui mandor lainnya.
"Soal omongan Demun sebenarnya bukan lagi urusan saya dan kantor. Saya sendiri tidak pernah menahan-nahan hak pekerja jika bobot pekerjaannya memang layak. Saya tidak mau mengisap keringat dan darah orang dengan cara menahan hak orang. Saya juga tidak mau kalau bos saya menahan atau mengurangi gaji saya."
Dan seterusnya saya mengungkapkan integritas saya yang berkaitan dengan tanggung jawab dan tugas saya. Paling tidak, dengan lembaran bukti pembayaran itu, saya tidak menambah atau mengurangi kebenaran dari angka-angka pembayaran.
Apabila masih belum percaya juga, saya menyarankan mereka kembali jika bos kami datang ke lokasi. Toh setiap hari saya pun berada di lokasi sampai semua pekerjaan selesai dengan serah-terima kunci rumah dengan tim pengembang (developer).
Setelah pembicaraan itu, tidak sampai satu jam saya ditelepon si mandor.
"Pak, pekerja fondasi mau membacok saya, nih, gara-gara Bapak. Kenapa Bapak memberi tahu bukti pembayaran..."
"Hei!" Seketika saya memotongnya dengan agak nyaring. "Kamu bikin fitnah apa soal bayaran mereka dan kantor, hah? Apa kamu maunya mereka membacok saya di lokasi gara-gara fitnahmu itu?"
Cerita Kedua
Demun belum puas, rupanya. Entahlah, apa yang sebenarnya merasukinya, atau, mungkin memang sudah wataknya.
Pada suatu Jumat sore saya dihubunginya. Kali ini persoalannya adalah penghitungan bobot atau persentase pekerjaan yang, lagi-lagi, berujung pada "upah". Hanya saja, sebabnya Demun tidak bisa menerima perhitungan anak buahnya sendiri---sebut saja Odang---dalam pekerjaan pelesteran dan pengacian.
"Besok jam berapa, Pak Demun?"