Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gagalnya Upaya Adu Domba Bikinan Seorang Oknum Mandor

27 Agustus 2019   23:07 Diperbarui: 28 Agustus 2019   08:07 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Adu domba adalah bagian yang bisa saja "dimainkan" oleh siapa pun asalkan memiliki sebuah posisi tertentu, terutama strategis, dalam suatu kegiatan atau pekerjaan. Seorang oknum mandor/kepala tukang juga tidak terkecuali, apalagi berkaitan dengan "kepentingan".  

Saya pernah mengalami situasi semacam itu, bahkan dua kali, ketika mendapat tugas dan tanggung jawab sebagai manajer projek dari bos untuk menangani pembangunan beberapa unit rumah yang relatif mewah. Membayar upah mandor merupakan salah satu tanggung jawab saya.

Sementara si mandor---sebut saja Demun---tergolong mandor "berpengalaman" sebagai "aktor intelektual"-nya. Paling tidak, dua kali upaya mandor bermobil sedan bagus itu cukup layak saya juluki "aktor intelektual".

Dalam keseharian di lokasi projek saya jarang melihat keberadaan Demun. Kalaupun berada di lokasi, Demun tidak benar-benar memperhatikan hasil pekerjaan anak buahnya. Duduk di warung, makan-minum, dan ngobrol dengan seorang anak buahnya. Dan, kalau muncul di lokasi, seringkali hanya pada hari bayaran alias Sabtu.

Saya tidak heran, karena di projek lainnya saya pernah terlibat suatu pekerjaan dengan mandor yang seperti Demun. Berbeda dengan mandor lainnya ---sebut saja Kang Akang--- yang ikut melakukan pekerjaan sebagai tukang, karena telah melewati proses sebagai pekerja bangunan sejak masih "belajar" sebagai tenaga pembantu (helper).  

Cerita Pertama
Pada suatu pagi tiga pekerja bangunan mendatangi saya di direksi keet. Sebagai PM, sebenarnya saya tidak perlu melayani mereka, karena secara struktural posisi mereka berada di bawah mandor/kepala tukang, dan tidak memiliki garis koordinasi pada struktur organisasi dengan saya.

Ya, mereka berada di bawah mandor, mandor berada di bawah supervisor, supervisor berada di bawah manajer lokasi (site manager/SM), manajer lokasi berada di bawah PM. Akan tetapi, keterkaitan antara saya dan mandor adalah urusan pembayaran upah mingguan.

Maka saya pun melayani mereka, meskipun lebih dua bulan saya tidak pernah melihat mereka di beberapa unit rumah yang belum selesai.

"Pak, kata Pak Demun, bayaran untuk kami belum diberikan oleh kantor."

"Kalian mengerjakan apa?"

"Kami mengerjakan fondasi. Dari menggali sampai fondasi jadi."

"Lho, pekerjaan itu, 'kan, sudah selesai tiga bulan lalu?"

"Iya, tetapi, kata Pak Demun, kantor belum bayar."

Waduh, mandor fitnah macam apa ini, kok menyusup ke projek, pikir saya sambil mencari salinan bukti pembayaran mingguan untuk Demun yang terekam dalam selembar kertas.

Sebentar saja saya sudah menemukannya, lalu saya bentangkan di meja tripleks.

"Coba lihat ini," ajak saya sambil menunjuk urutan pembayaran untuk mandor mereka. Mereka mengikuti arah telunjuk saya.

Pada lembaran itu tertera nomor urut pengambilan upah mingguan sejak minggu pertama yang dilengkapi dengan tanggal dan tanda tangan Demun. Deretan angka sekian juta sampai pada minggu ke-13.

Kemudian saya lengkapi dengan lembaran kurva "S" berupa kemajuan dan bobot pekerjaan. Untuk pekerjaan galian dan fondasi, angka 100% sudah berada pada minggu pertama.

Artinya, dari urutan pertama sampai urutan ketiga saja sudah ada pembayaran. Artinya juga, pekerjaan awal berupa galian dan fondasi sudah terbayarkan.

Demi melihat data yang saya bentangkan, ketiganya saling memandang dengan air muka entah bagaimanalah. Berikutnya mereka memandang saya.

"Apakah kantor belum melaksanakan kewajiban untuk membayar hak kalian?"

"Sudah, ya, Pak? Tetapi kata Pak Demun..."

"Kalian percaya siapa? Atau, suruh Demun kemari, deh, biar kita selesaikan bersama."

Mereka tidak menanggapi "tantangan" saya, tetapi malah menanyakan, apakah ada pekerjaan untuk mereka. Saya tidak berani menjawab sekenanya, karena soal ada-tidaknya pekerjaan itu tergantung pada mandor mana, bukannya pada saya dan tim saya. Saya sarankan mereka menemui mandor lainnya.

"Soal omongan Demun sebenarnya bukan lagi urusan saya dan kantor. Saya sendiri tidak pernah menahan-nahan hak pekerja jika bobot pekerjaannya memang layak. Saya tidak mau mengisap keringat dan darah orang dengan cara menahan hak orang. Saya juga tidak mau kalau bos saya menahan atau mengurangi gaji saya."

Dan seterusnya saya mengungkapkan integritas saya yang berkaitan dengan tanggung jawab dan tugas saya. Paling tidak, dengan lembaran bukti pembayaran itu, saya tidak menambah atau mengurangi kebenaran dari angka-angka pembayaran.

Apabila masih belum percaya juga, saya menyarankan mereka kembali jika bos kami datang ke lokasi. Toh setiap hari saya pun berada di lokasi sampai semua pekerjaan selesai dengan serah-terima kunci rumah dengan tim pengembang (developer).

Setelah pembicaraan itu, tidak sampai satu jam saya ditelepon si mandor.

"Pak, pekerja fondasi mau membacok saya, nih, gara-gara Bapak. Kenapa Bapak memberi tahu bukti pembayaran..."

"Hei!" Seketika saya memotongnya dengan agak nyaring. "Kamu bikin fitnah apa soal bayaran mereka dan kantor, hah? Apa kamu maunya mereka membacok saya di lokasi gara-gara fitnahmu itu?"

Cerita Kedua
Demun belum puas, rupanya. Entahlah, apa yang sebenarnya merasukinya, atau, mungkin memang sudah wataknya.

Pada suatu Jumat sore saya dihubunginya. Kali ini persoalannya adalah penghitungan bobot atau persentase pekerjaan yang, lagi-lagi, berujung pada "upah". Hanya saja, sebabnya Demun tidak bisa menerima perhitungan anak buahnya sendiri---sebut saja Odang---dalam pekerjaan pelesteran dan pengacian.

"Besok jam berapa, Pak Demun?"

"Pagi. Jam delapan!"

"Baik. Saya tunggu Bapak di lokasi."

Maka keesokan paginya saya dan Demun mendatangi beberapa unit bangunan yang dimandorinya. Karena pekerjaan yang dihitung adalah pelesteran dan pengacian, tentu saja, Odang ikut bersama kami.

"Pantasnya berapa persen, Pak Demun," tanya saya seusai kami mengamati hasil pekerjaan itu dan membandingkannya dengan lembaran berisi bobot pekerjaan mandor.

"Enam puluh persen," jawabnya.

"Tidak bisa begitu, Pak," sela Odang. "Tinggal merapikan di beberapa sudut, masak, sih, hasil pekerjaan saya cuma enam puluh persen?"

"Saya beri delapan puluh persen, kok Pak Demun menolak? Aneh. Padahal Odang juga bisa menghitungnya."

Lantas terjadi "pertengkaran" di antara Demun dan Odang. Demun tidak mau membayar Odang sesuai dengan bobot atau persentase pekerjaan Odang. Sementara Odang menuntut hak-nya.

Saya tidak mau terlibat, selain membayar upah mandor pada sorenya. Setelah membayar, saya tidak peduli, seberapa rupiah Demun akan membayar Odang, dan seberapa nyaring pertengkaran selanjutnya. Yang penting, tanggung jawab saya selesai untuk pekerjaan selama satu minggu, dan saya ingin menikmati akhir pekan dengan tenang.

Antara Pemberani dan Pengecut
Mandor semacam Demun, menurut saya, sangat berani melakukan upaya adu domba. Selain faktor "pengalaman", entah apa latar dari keberanian itu.

Mungkin melebihi keberanian biasa alias nekat. Dan, kenekatan itu, entah pula "mengapa" sampai diupayakannya pada saya.

Sebaliknya, saya berpikir, Demun hanya seorang pengecut. Lho, iya. Pasalnya ia tidak berani memikul tanggung jawabnya sendiri sebagai mandor/kepala tukang dalam segi rasionalitas di hadapan anak buahnya sendiri, bukannya "makelar" pekerja bangunan belaka.

Apa pun itu, bagi saya, beginilah sebagian realitas kehidupan, dan seakan suatu tantangan tersendiri untuk menguji keberanian saya menjalani hidup. Saya harus selalu berhati-hati dalam bekerja sama dengan mandor, meskipun tidak perlu pula harus selalu curiga.

*******
Kupang, 26 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun